Senin, 30 September 2013

Sulitnya Meraih Baret Intai Amfibi, Pasukan Elite Marinir..Dengan Kaki dan Tangan Terikat, Dibuang ke Laut

Sniper Marinir AL dari kesatuan Intai Ampibi
 
 
SUUD RUSLI, mantan anggota Marinir yang kabur dari sel Lantamal II Jakarta merupakan salah seorang penyandang baret Taifib. Karena itu, untuk meringkus pembunuh bos PT Asaba tersebut, jajaran pimpinan TNI Angkatan Laut mengerahkan hampir satu peleton tim gabungan.
TNI-AL sadar bahwa Suud adalah salah seorang prajurit Marinir yang mempunyai kemampuan luar biasa. Jago tembak. Sebagai anggota Taifib, dia mempunyai pengalaman dalam berbagai operasi khusus. Untuk melukiskan kemampuan Taifib itu, ada yang menganggap kemampuan satu pasukan Taifib setara dengan sepuluh pasukan biasa.
Para pemburu Suud tak mau gegabah, meski sasarannya sudah diketahui pasti. Dikhawatirkan Suud yang dikenal sebagai penembak jitu tersebut bereaksi. Tapi, untungnya, ketelatenan tim pemburu yang sebagian juga anggota Taifib tersebut berhasil meringkus Suud di Jalan Sumbersari, Desa Sumbersari, Kota Malang. ”Menghadapi Suud bukanlah hal yang mudah karena dia mantan pasukan khsusus yang mempunyai kemampuan lebih daripada prajurit Marinir biasa,” jelas salah seorang perwira TNI-AL.
Itulah gambaran bahwa lulusan pendidikan Taifib disegani sekaligus ditakuti. Mereka adalah pasukan inti di Kesatuan Marinir yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tersebut diraih setelah ditempa melalui pendidikan yang sangat ketat serta melewati ujian yang sangat berat selama sepuluh bulan.
Tidak heran, di antara ratusan prajurit yang mengikuti seleksi pendidikan Taifib, hanya 54 orang yang diterima pada tahun ini. Mereka itulah yang sedang digodok di kawah candradimuka di Situbondo itu. Tahun-tahun sebelumnya, sering hanya belasan prajurit yang memenuhi syarat. Mereka yang tak lulus dikembalikan ke kesatuannya semula di Marinir.
Tidak semua yang mengikuti pendidikan tersebut lolos. ”Saya mendapat laporan, dua di antara mereka (di antara 54 yang sedang pendidikan, Red) dimungkinkan dikembalikan ke kesatuannya karena tidak mampu mengikuti pendidikan,” jelas Letkol Laut (KH) Tony Saiful, perwira penerangan Kodikal, kepada koran ini tadi malam.
Selain fisik prima, calon Taifib juga dituntut memiliki IQ tinggi. Sebab, pasukan elite yang sering digunakan untuk penyusupan di daerah operasi itu harus mampu menghadapi berbagai masalah, baik secara individu mapun kelompok.
Selama pendidikan, teori di kelas hanya 20 persen. Selebihnya di lapangan, seperti hutan, laut, bahkan udara. Mereka harus mempunyai kemampuan terbaik di darat, laut, dan udara. Mereka dituntut mampu melaksanakan tugas rahasia secara sempurna di ketiga medan tersebut.
Untuk mencapai semua itu, diperlukan pendidikan yang sangat keras dan ketat. Mereka harus mampu menyusup dengan terjun payung, bergerak lincah di laut dengan daya tahan tinggi, serta survive di darat.
Itulah gambaran bahwa lulusan pendidikan Taifib disegani sekaligus ditakuti. Mereka adalah pasukan inti di Kesatuan Marinir yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tersebut diraih setelah ditempa melalui pendidikan yang sangat ketat serta melewati ujian yang sangat berat selama sepuluh bulan.

Tidak heran, di antara ratusan prajurit yang mengikuti seleksi pendidikan Taifib, hanya 54 orang yang diterima pada tahun ini. Mereka itulah yang sedang digodok di kawah candradimuka di Situbondo itu. Tahun-tahun sebelumnya, sering hanya belasan prajurit yang memenuhi syarat. Mereka yang tak lulus dikembalikan ke kesatuannya semula di Marinir.
Tidak semua yang mengikuti pendidikan tersebut lolos. ”Saya mendapat laporan, dua di antara mereka (di antara 54 yang sedang pendidikan, Red) dimungkinkan dikembalikan ke kesatuannya karena tidak mampu mengikuti pendidikan,” jelas Letkol Laut (KH) Tony Saiful, perwira penerangan Kodikal, kepada koran ini tadi malam.
Selain fisik prima, calon Taifib juga dituntut memiliki IQ tinggi. Sebab, pasukan elite yang sering digunakan untuk penyusupan di daerah operasi itu harus mampu menghadapi berbagai masalah, baik secara individu mapun kelompok.
Selama pendidikan, teori di kelas hanya 20 persen. Selebihnya di lapangan, seperti hutan, laut, bahkan udara. Mereka harus mempunyai kemampuan terbaik di darat, laut, dan udara. Mereka dituntut mampu melaksanakan tugas rahasia secara sempurna di ketiga medan tersebut.
Untuk mencapai semua itu, diperlukan pendidikan yang sangat keras dan ketat. Mereka harus mampu menyusup dengan terjun payung, bergerak lincah di laut dengan daya tahan tinggi, serta survive di darat.

Mereka ditempa di tengah ombak ganas di Laut Banyuwangi, yang biasanya menghanyutkan perahu nelayan. Dengan tangan dan kaki diikat, para prajurit tersebut dibuang ke laut ganas itu. Mereka harus mampu bertahan sekaligus menyelamatkan diri. “Latihan mereka cukup berat. Kaki dan tangan diikat pun bisa hidup. Coba kalau saya, yah tenggelam,” jelas Tony Saiful sembari tertawa.
Kenapa sampai demikian? Bila sewaktu-waktu prajurit trimedia (menguasai medan darat, laut, dan udara) itu dibuang ke laut dalam keadaan tangan dan kaki terikat oleh musuh, mereka akan mampu menyelamatkan diri.
Setelah melawan ombak besar di laut, mereka juga dituntut bertahan hidup di hutan tanpa perbekalan sedikit pun. Untuk menguji daya tahannya itu, para prajurit terpilih tersebut dilepas di tengah hutan dengan hanya bermodalkan garam. Air minum pun tidak diperkenankan dibawa. Selebihnya, cari sendiri di hutan. Latihan itu dilakukan di Alas Purwo. Di sana, mereka dilepas untuk melatih ketahanan fisik dan kemampuan perorangan.
Di tengah hutan, mereka harus bertahan berhari-hari. Mereka tak jarang hanya makan binatang buas, seperti ular. Bila mampu menangkap monyet, hewan itu pulalah yang disantap. Selama tiga hari tiga malam, mereka tidur di tengah hutan rimba tersebut. Kadang-kadang, juga lebih,
“Saya pernah minum air untuk tambal ban di pinggir jalan Alas Purwo,” cerita mantan Direktur Sekolah Khusus (Dirsus) Marinir Kol (Mar) Buyung Lalana. “Meski air itu siang harinya digunakan untuk mengetes ban mobil dan sepeda motor yang pecah, rasanya nikmat sekali karena begitu haus,” kenang Buyung lagi.
Itu semua belum cukup. Soal pukul-memukul oleh instruktur untuk melatih mental bukanlah hal aneh di kalangan mereka. Wartawan koran ini pernah menyaksikan betapa kerasnya pelonco dari kakak angkatan untuk prajurit yang mengawali pendidikan. Mereka benar-benar harus siap mental dan fisik. Begitu kerasnya, tidaklah heran kalau di awal pendidikan itu, ada yang mengundurkan diri.
Untuk latihan udara, mereka bukan lagi dilatih terjun tempur seperti prajurit biasa. Kalau terjun tempur, begitu keluar dari pintu pesawat, payung sudah terbuka. Tapi, Taifib dilatih terjun bebas.
Yang menarik, terjun bebas itu tidak saja dilakukan siang, tapi juga tengah malam. Dengan begitu, bila sewaktu-waktu masuk ke sasaran musuh, mereka tidak harus lewat darat atau laut yang mudah dideteksi lawan. Para Taifib juga bisa diturunkan dari pesawat dengan ketinggian yang sulit terdeteksi musuh.
Wartawan koran ini pernah menyaksikan latihan terjun malam di pengeboran gas Pulau Pagerungan, sebuah pulau kecil masuk wilayah Sumenep dekat Selat Lombok. Mereka diterjunkan di keheningan malam. Prajurit tersebut bisa mendarat dengan tepat di celah-celah pohon mangga dan kelapa pinggir pantai.
Untuk menghindari pendeteksian musuh, mereka harus piawai menyelam. Dengan menggunakan kompas, sambil menghitung derajat daerah sasaran, para Taifib harus bisa muncul di titik yang tepat.
Itu baru tahap latihan. Bila pelantikan atau dikenal dengan pembaretan, mereka harus jalan kaki siang malam. Itu sering dilakukan Banyuwangi-Surabaya. Mereka dilepas di Banyuwangi dan diperintahkan kumpul di Surabaya dalam waktu yang ditentukan. Bila naik kendaraan dan ketahuan instruktur, hukuman berat bakal dirasakan. Baretnya pun bakal tak hinggap di kepala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar