Sebelum hadirnya F-16 A/B Fighting Falcon pada tahun 1989/1990, tahukah Anda, apa jet tempur lapis pertama yang jadi andalan TNI AU? Jawabannya tak lain F-5E/F Tiger II buatan Northrop, AS. Tepatnya mulai 21 April 1980 berdatanganlah secara bertahap jet tempur supersonic yang memperkuat skadron 14 di Lanud Iswahjudi, Madiun. Lewat program FMS (Foreign Military Sales), Indonesia mendapat komposisi 12 unit F-5E (kursi tunggal) dan 4 unit F-5F (kursi ganda/latih).
Dan kini, setelah 33 tahun mengabdi mengawal kedaulatan udara NKRI, muncul kembali berita yang ‘hangat’ seputar eksistensi si Macan Madiun ini. Berita pertama adalah soal hibah F-5 dari Korea Selatan dan masuknya F-5 sebagai koleksi museum Dirgantara di Yogyakarta. Mengenai kabar ‘lengsernya’ F-5 ke arsenal museum kami bahas secara khusus pada sub di akhir tulisan. Sementara untuk hibah F-5 memang ada perjalanannya sendiri. Yang paling baru adalah penolakan dari pihak TNI AU atas hibah tersebut (16/9). Alasannya bukan karena TNI AU tidak butuh F-5, melainkan karena spesifikasi F-5 Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia. Pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan atau avioniknya. Sedang pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. Soal perbedaan spesifikasi, menurut pihak TNI AU justru menjadi beban di biaya perawatan.
Mengingat armada F-5E/F TNI AU yang serviceable terbatas, bisa karena sebagian masuk tahap perbaikan, dan sebagian lagi ada yang jatuh (crash). Maka TNI AU memang sempat mengharapkan tambahan jumlah armada F-5. Melenggang sedikit ke tahun 2005, TNI AU sempat dikabarkan akan menerima hibah dari AU Yordania, tapi kemudian gagal. Salah satu sebabnya adalah belum keluarnya izin dari AS, maklum Yordania adalah sekutu AS di Timur Tengah. Kemudian di bulan Maret 2012, KSAU saat itu, Marsekal TNI Imam Sufaat pernah mengungkapkan rencana TNI AU untuk menerima hibah satu skadron F-5E/F dari Taiwan. Tapi bukannya ada kelanjutan yang positif, justru Kadispen TNI AU Marsma TNI Ahmad Yunus membantah adanya rencana tersebut.
Lepas dari polemik yang ada, satu hal yang bisa dipetik adalah sosok F-5E/F masih dibutuhkan oleh TNI AU. Usia pesawat yang semakin tua memang tidak bisa ditutupi, tapi lewat program modernisasi, kecanggihan F-5 dapat ditingkatkan. Bahkan modernisasi F-5 seolah telah menjadi agenda wajib bagi sebagian besar operator F-5 di dunia. Untuk F-5E/F TNI AU usianya telah 33 tahun, tapi jet yang dibeli baru (gress) ini baru mengantungi 6.000 jam terbang, padahal total batas jam terbangnya hingga 10.000 jam. Dengan rata-rata 200 jam terbang setahun, maka F-5E/F TNI AU masih akan bertahan hingga tahun 2010. Inilah kemudian yang menjadi dasar dari modernisasi Si Macan .
Dibalik Rencana Modernisasi
Pada pertengahan dekade 90-an, TNI AU memulai rencana untuk memodernisasi jet tempur F-5E/F, tujuannya agar memiliki sistem avionik dan senjata yang lebih baik. Alasan utama dari modernisasi ini lantaran kondisi F-5 yang dimiliki TNI AU masih dalam kondisi baik dan mampu bersaing dengan pesawat-pesawat tempur baru. Hanya saja, kemampuannya harus ditingkatkan dengan sistem avionik dan sistem senjata baru. Merespon rencana tersebut, Komandan Skadron 14 kala itu, LetKol Pnb. Eris Haryanto, membuat telaah mengenai modernisasi F-5.
F-5E Tiger TNI AU dalam proses modernisasi oleh SABCA di Belgia
Awalnya, F-5 E/F Tiger II TNI AU hanya dilengkapi dengan peralatan navigasi Automatic Direction Finder (ADF) dan Tactical Air Navigation (TACAN). Sedangkan untuk misi tempur, F-5E dibekali dengan Lead Computed Optical Sight system (LCOSS) yang diintegrasikan dengan radar APQ-159 versi 3. Teknologi ini tidak memungkinkan lagi bagi pesawat untuk melakukan operasi penyerangan dengan presisi yang optimal, baik rute maupun penembakannya. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan penemuan baru, F-5 perlu memiliki beberapa sistem tambahan.
Awal dari program modernisasi F-5 adalah saat KSAU, Marsekal TNI Rilo Pambudi, mengunjungi pameran kedirgantaraan di LeBourget tahun 1993. KSAU menyatakan TNI AUsedang mempertimbangkan untuk memordenisasi armada F-5 E/F Tiger II. Kemudian respon pun bermunculan dari beberpa perusahaan penerbangan, seperti dari British Aerospace, Fokker, Alinea. Northrop Grumman, Singapore Airspace, dan Smiths Industries, semuanya berkompetisi untuk berebut tender.
Ready to Scramble
Kompetisi dalam modernisasi F-5 memang peluang yang menggiurkan, pasalnya di dunia terdapat 1.600 F-5 yang masih dioperasikan oleh 26 negara. Dan, dari jumlah tersebut, 270 pesawat dari 10 negara pengguna F-5E telah melakukan modernisasi. Tapi sayang justru negara dengan populasi terbesar F-5 belum melakukan modernisasi, seperti Suadi Arabia (80 pesawat), Korea Selatan (150 pesawat), dm Taiwan (250 pesawat).
Melalu seleksi, akhirnya kontrak dimenangkan oleh SABCA, perusahaan penerbangan asal Belgia yang telah berdiri sejak 1920. Total kontrak yang digulirkan adalah US$ 40 juta. Selain paket upgrade yang dipancang menarik, dipilihnya SABCA karena harga yang ditawarkan cukup bersaing. Tapi disisi lain, terjadi kontroversi, kontrak US$40 juta hanya dilakukan untuk 9 unit pesawat tanpa program perpanjangan usia operasional. Jelas pihak SABCA sangat diuntungkan, sedang yang didapat TNI AU terbilang minim. Bandingkan, harga F-16 A Fighting Falcon bekas pakai USAF hanya ditawarkan US$6 juta per unit.
Program upgrade alias modernisasi itu kemudian dinamakan MACAN (Modernization of Avionics Capabilities for Armament and Navigation). Sesuai namanya, proyek ini akan memordenisasi sistem navigasi dan senjata pada F-5 TNI AU.Proses pun kemudian bergulir, modernisasi dimulai dua pesawat sekaligus, yaitu TS-0501 (F-5E) dan TS-01516 (F-5F). Di kemudian hari, program modernisasi ini sempat mengalami kendala yang lumayan serius, seperti kurang capable-nya pihak SABCA dalam menjalankan modernisasi, hingga ke masalah politik, dimana Indonesia sempat terkena embargo suku cadang dari AS, yang berimbas pada proyek ini. Belgia adalah sekutu dekat AS dalam NATO.
Reborn Tiger – Tandingi Kecanggihan F-16 C/D Fighting Falcon
Lepas dari permasalahan yang ada, nyatanya sembilan F-5E/F milik TNI AU kini sudah ‘lahir kembali’ dengan desain lama tapi jeroan baru. Bahkan setelah dimodernisasi, kecanggihan F-5E/F Tiger II setara dengan F-16 C/D Fighting Falcon, bahkan TNI AU telah memproyeksikan masa pengabdian jet tempur ini hingga tahun 2020. Beberapa kecanggihan tersebut bisa dilihat dari hasil modernisasi, yakni:
Hudwac , yakni HUD (Head Up Display) yang diintegrasikan dengan Weapon Aiming Computer, sehingga disebut Hudwac. Sebagai pengganti LCOSS (computer untuk penembakkan). Hudwac terdiri PDU (Pilot’s Display Unit) buatan GEC Marconi Avioniks dan WDIP (Weapon Data Input Panel). PDU menggantikan tugas gun sight sebagai alat bidik, sekaligus akan menampilkan informasi dari instrumen lain. Sementara WDIP adalah sistem penyimpanan data yang akan dikirimkan ke electronic unit, tentang senjata yang dipasang di pesawat.
Perangkat PDU
Inertial Navigation system (INS). INS merupakan peralatan navigasi modern. Dengan INS tipe LN-93, pesawat dapat diterbangkan dari satu titik ke titik lain dengan tepat karena penerbang cukup memasukan koordinat titik tersebut ke dalam INS. Selain posisi, fungsi keluaran dari sistem INS termasuk kecepatan dan akselerasi, perhitungan penyimpangan rute, jarum penunjuk arah, dan informasi arah.
Video System, sistem video di F-5 TNI AU dibuat oleh Vinten. Sistem ini berguna untuk merekam misi penerbangan yang telah dilaksanakan dan digunakan untuk pengembangan analisis taktik dan latihan. Komponen ini terdiri dari video camera (VCA), airborne cassette recorder, cockpit control unit dan rear seat monitor.
RWR (Radar Warning Receiver). RWR yang digunakan adalah ALR-91 (V)3 buatan Litton Co. Peralatan ini gunakanya untuk mendeksi datangnya ancaman musuh (pesawat/rudal) dengan menangkap sinyal radar yang dipancarkan.
HOTAS (Hans On Throttles And Stick). Perangkat yang sangat penting dalam misi operasi, ditempatkan pada stick (control kemudi) dan throttle (control power), dan F-5 memiliki dua mesin, sehingga punya dua throttle. Selama misi penerbangan, pilot harus bertumpu pada kedua instrumen ini.
FFMSDC (Fuel Flow Monitor Signal Data Converter), mengubah informasi jumlah bahan bakar yang tadinya analog menjadi informasi digital yang ditampilkan pada PDU.
Tampilan kokpit F-5E Tiger sebelum di upgrade
Kokpit F-5E Tiger AU Brazil setelah di upgrade
Tanpa Modifikasi di Jenis Senjata
Meski Macan Tempur Skadron 14 sudah bertambah sangar, tapi sayangnya modifikasi pada jenis senjata yang bisa digotong belum mengalami perubahan. Setelah program MACAN tuntas, sista pada F-5E/F Tiger II TNI AU masih bertumpu pada kombinasi kanon internal dua laras M39-A3 kaliber 20mm dan rudal udara ke udara lawas AIM-9 P2 Sidewinder, itu untuk misi CAP (combat air patrol). Sementara untuk misi ground attack, masih bersandar pada jenis roket FFAR dan varian bom konvensional MK-81 dan MK-82.
F-5E Tiger AU Maroko dengan kemampuan isi bahan bakar di udara
F-5E Tiger AU Singapura, selain punya kemampuan isi bahan bakar di udara, jet ini bisa meluncurkan rudal AMRAAM dan Maverick
Sebagai perbandingan, modifikasi F-5E/F Tiger II milik AU Singapura terbilang cukup membetot perhatian, tidak hanya sista jadul yang bisa dibawa, F-5E/F dari Negeri Pulau ini bahkan bisa meluncurkan rudal AGM-65 Maverick untuk target lapis baja di permukaan. Lebih sangar lagi, F-5E Singapura juga mampu meluncurkan rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM, jenis rudal udara jarak menengah battle proven yang lumrah diluncurkan oleh jet-jet tempur kelas wahid, macam F-16 dan F-15.
Ditambah lagi, F-5E milik Singapura dibekali dengan kemampuan air refueling (pengisian bahan bakar di udara), menjadikan daya jelajahnya meningkat dua kali lipat. Selain Singapura, upgrade air refueling untuk F-5 juga telah dilakukan AU Maroko, Kanada, Chile dan Brazil. Bicara soal ideal, justru F-5E TNI AU harusnya dibekali kemampuan air refueling, mengingat luasnya wilayah udara yang harus di cover.
Masuk Museum
Merujuk informasi dari Bagian Penerangan Lanud Adisutjipto (22/2/2013), disebutkan bahwa di Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala, (Muspusdirla) terletak di Pangkalan Udara Adisutjipto telah dipersiapkan shelter seluas 20 x 11 M, dengan lantai cor dan tahan gempa. Shelter ini berada di halaman museum Dirgantara Mandala bersebelahan dengan pesawat jenis TU 16 buatan Uni Soviet. Shelter ini diperuntukkan bagi pesawat jenis F-5 yang akan mengisi koleksi pesawat Museum. Pesawat F5 ini telah bersama mengudara selama 33 tahun yang lalu.
Shelter F-5 yang tengah dipersiapkan di museum Dirgantara Yogyakarta
Meski penulis belum melihat secara langsung, boleh jadi F-5E yang akan dimuseumkan adalah versi yang tidak dilakukan modernisasi. Mengingat awalnya pada tahun 1980, skadron 14 memiliki 16 unit F-5E/F Tiger, terdiri dari 12t ipeF-5E dan 4 tipe F-5F. Seiring waktu berjalan, dua unit pesawat telah mengalami crash saat latihan. Dan dari sisa 14 unit, Sembilan diantaranya telah dimodernisasi oleh SABCA. Bisa jadi, sisa dari armada F-5 yang belum dimordenisasi-lah yang didaulat masuk museum. Mohon sekiranya, bila ada pembaca Indomiliter yang dapat meralat atau mengkonfimasi hal ini. Dirunut dari usia operasional jet-jet F-5E/F Tiger TNI AU, ada dikisaran 6000-an jam terbang, dan dari sisi waktu pengabdian sebenarnya baru setengah dari batas maksimum usia pakai pesawat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar