Deretan Mig-21 AURI
“Walau tidak sempat mempertunjukkan
kebolehannya, harus diakui, daya gertak pesawat Rusia satu ini, memang
hebat. Amerika, konon, sampai menghimbau Belanda untuk membatalkan
niatnya perang terbuka dengan Indonesia.”
Jahman bergaya di depan MiG-21 Begini
ceritanya. Ketika Presiden Soekarno menyatakan perang terbuka dengan
Belanda awal tahun 1960, semua unsur kekuatan disiagakan. AURI sampai
detik itu sudah memiliki 49 MiG-17 Fresco. Setengah dari kekuatan sudah
bercokol di Morotai, Amahai, dan Letfuan. Ada juga P-51 Mustang, Il-28
Beagle, B-25 Mitchell, B-26 Invader, C-47 Dakota serta C-130 Hercules.
Belanda masih garang sampai detik ini. Boleh jadi, karena kapal induk
Karel Doorman sudah membuang jangkar di Biak sejak tanggal 6 Agustus
1960. Hingga suatu hari, sebuah pesawat intai
AU AS Lockheed U-2 Dragon Lady melayang di atas Madiun. Selama
konfrontasi, sering pesawat ini sengaja diterbangkan dari Darwin ke
Filipina untuk misi-misi intelijen. Dari ketinggian 70.000 kaki,
teridentifikasi oleh pilot beserta kru deretan jet tempur dan pembom.
Ditiliknya dengan cermat. Tak salah lagi, sang pilot yakin bahwa pesawat
yang dilihatnya adalah pembom Tu-16 Badger dan MiG-21F Fishbed C
(sebutan yang diberikan NATO), jet tempur penghadang (intercept) paling
ditakuti barat kala itu. Sebelumnya, intelijen AS sudah mengendus
kedatangan MiG-21 di Indonesia.
Hasil pengintaian ini bergegas
disampaikan Amerika kepada Belanda. “Percuma melawan Indonesia, mereka
punya ini.” Begitu kira-kira laporan intel AS kepada pihak Belanda
sambil menyodorkan foto hasil jepretan pesawat U-2. Amerika pun
sebenarnya masih gamang, mengingat F-4E Phantom yang baru dimodifikasi,
masih meragukan untuk diadu berlaga melawan MiG-21. Seriusnya ancaman
MiG-21 terhadap pesawat tempur AS, sampai membuat AL AS mendirikan
sekolah elit tempur Top Gun.
Begitu cerita Marsda (Pur) Jahman,
penerbang MiG-21 AURI. Menurut Jahman (65), Indonesia membeli MiG-21
sebagai tindakan bela diri andaikata Belanda mendatangkan
pesawat-pesawat yang lebih modern. Ketika kampanye Trikora dicanangkan,
AU Belanda memiliki satu skadron pesawat Hawker Hunter F.6 buatan
Inggris tahun 1954. Disejajarkan dengan MiG-21, pesawat ini jelas bukan
tandingan. Kecepatan maksimumnya hanya 1.117 km/jam, daya capai
ketinggian 14.325 meter dengan jangkauan 690 kilometer. Kalau terbang
rendah, pemakaian bahan bakarnya akan bertambah boros. Sementara MiG-21,
dengan kecepatan Mach-2,1 mampu mencegat pembom pada ketinggian 20
kilometer pada jarak 1.800 kilometer.
“MiG-21 begitu luar biasa”, ujar Rusman
Sebagai persiapan menyambut kedatangan si “pencegat”, AURI telah
menyiapkan dua jalur pembentukan penerbang MiG-21. Yang pertama, dengan
cara mengirimkan langsung empat penerbangnya ke Uni Soviet. Yaitu Kapten
Udara Sukardi, Letnan Udara I Jahman, Letnan Udara II Igon Suganda, dan
Letnan Udara II Mundung dua penerbang terakhir di-grounded setibanya di
Rusia. Mundung didera sakit, sedangkan Suganda terlalu kecil. Pressure
suit nomor kecilpun, masih terlalu besar untuknya. Karena itu kemudian
diganti dengan Letnan Udara I Sobirin Misbach dan Letnan Udara I
Saputro.
Langkah kedua, sebaliknya, di dalam
negeri. Mayor Udara Rusman ditunjuk Komodor Udara Leo Wattimena untuk
mendapatkan pelatihan langsung dari instruktur yang sengaja didatangkan
dari Rusia. “Jadi kita dilatih hampir bersamaan. Hanya beda tempat,”
tutur Marsda (Pur) Rusman.
Tim kecil yang dikirim ke Uni Soviet,
persisnya di Lugowaya, sebuah kota kecil yang berbatasan langsung dengan
India di mana sebuah pangkalan AU Uni Soviet bercokol, pun tidak
berlama-lama di negeri tirai besi itu. Hanya empat bulan, “Sekadar just
to know how to fly,” jelas Jahman. “Bukan berarti tidak terbang, tetap
terbang, kita solo,” tambahnya.
Ketika mendapat perintah berangkat ke
Rusia, Jahman baru beberapa bulan standby di Letfuan, setelah sebelumnya
siaga di Morotai dalam mendukung kampanye Trikora. Menurut Jahman,
kepindahannya ke Letfuan menyusul gugurnya Kapten Udara Gunadi setelah
pesawat MiG-17 yang diterbangkannya gagal take off karena
afterburner-nya tidak maksimal. Tragedi itu terjadi tanggal 29 Juni
1962. Komandan skadron MiG-17 saat itu dijabat Mayor Rusman.
Bagi yang berangkat ke Rusia mungkin
tidak terlalu kesulitan, karena langsung ke asalnya. Lain halnya Rusman.
“Saya harus melabeli dulu dengan bahasa Inggris semua panel-panel di
kokpit, yang sebelumnya berbahasa Rusia,” aku Rusman. Setibanya di
Indonesia, pesawat MiG-21 langsung dirakit. Para teknisi Rusia segera
membimbing teknisi Indonesia. Rusman pun mulai mempersiapkan diri.
Perang yang tidak ketahuan kapan akan berkecamuk di Papua Barat,
terpaksa ditinggalkannya. Rencananya, tentu Rusman akan dikembalikan ke
medan perang seandainya Belanda benar-benar serius untuk perang.
Disamping perwira senior di skadron
fighter, Rusman juga menjabat perwira operasi Skadron Udara 11 DH-115
Vampire, jet latih pertama Indonesia. Tak salah, melihat keseniorannya,
Leo mempercayainya sebagai orang pertama yang menerbangkan MiG-21 di
dalam negeri. Kebetulan, Leo juga harus ke luar negeri. Rusman tidak
terlalu kesulitan untuk mengakrabkan diri dengan MiG-21, mengingat
ratusan jam terbang sudah dikantonginya dari MiG-15 dan MiG-17. “Pada
dasarnya tidak jauh beda dengan MiG-17,” kata Rusman perihal pesawat
bersayap delta ini.
Program kilat dimulai. Buku manual MiG-21
dilahapnya, para instruktur Rusia dengan tekun menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan. Pesawat rampung dirakit teknisi dan dinyatakan
ready to fly. Tibalah Rusman pada saat yang menentukan, yaitu
menerbangkan pesawat yang disebut sebagai roket terbang di hadapan
beberapa pejabat penting yang, katanya, mau hadir. “Secara teoritis saya
sudah paham,” aku Rusman.
Pagi itu, Juli 1962, segala persiapan
dilakukan di Bandara Kemayoran. Sebagian dari MiG-17 dan MiG-15 yang
berpangkalan di Kemayoran, terlihat berjejer di pelataran parkir. Benar
saja, KSAU Laksamana Suryadarma dan beberapa pejabat teras AURI sudah
terlihat hadir. Di hanggar, sebuah mesin turbojet Tumansky R-11-F2-300
mulai memekakkan telinga. Pesawat siap bergerak ke landasan pacu. Tidak
ada perasaan janggal bagi Rusman, sama seperti menerbangkan pesawat
Rusia terdahulu. Di ujung landasan, gemuruh mesin jet berdaya dorong
5.950 kilogram meninggi. Itulah tenaga penuh karya spektakuler biro
disain Mikoyan-Gurevich (OKB).
Rusman mencelat meninggalkan tanah,
menanjak, meninggalkan hadirin dengan tepuk tangannya yang riuh rendah.
Menurut rute yang di-plot, pesawat akan belok ke kiri. Rusman
menyentakkan tangkai kemudi (handle) ke kiri. Astaga, dia kaget, pesawat
melintir kencang. Tak dikiranya akan begitu sensitif. Tapi kesadarannya
cepat muncul. “Ya sudah, saya putar saja sekalian sampai empat kali,”
katanya tertawa. Setelah mendarat, didapatinya ucapan selamat dan decak
kagum. Hadirin takjub melihat Rusman yang sanggup membuat roll sampai
beberapa kali. “Mereka nggak tahu kagetnya saya.”
Beberapa hari kemudian, jelas Rusman,
Skadron 14 berkekuatan 20 MiG-21 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi,
Madiun, diresmikan KSAU di Bandara Kemayoran. Rusman langsung ditunjuk
sebagai komandan. Sebelumnya sudah diresmikan Skadron 11 MiG-15/17.
Sedangkan Skadron 12 MiG-19, justru dibentuk belakangan. Kemudian
dibentuk pula Wing 300, induk skadron-skadron tempur yang bermarkas di
Kemayoran. Rusman ditunjuk sebagai komandan Wing 300 dari tahun 1963
sampai 1966.
Penerbangan pertama diikuti beberapa
penerbang berikutnya. Menyusul transisi penerbang. Nun, ribuan kilometer
di utara, Jahman beserta ketiga rekannya juga mulai menerbangkan
pesawat yang sama. Nantinya, setelah kembali dari Lugowaya (1963),
keempat penerbang ini bersama Rusman menjadi instruktur pesawat yang
mulai dipakai Uni Soviet tahun 1959 dan dipertahankan di garis terdepan
pertahanan selama 30 tahun. Target utama AURI yaitu, mempercepat alih
teknologi dari penerbang Rusia ke Indonesia.
Seruduk hutan jati
Seorang komandan harus lebih dulu tahu
segalanya dari anak buah. Filosofi ini dipegang Rusman sebagai komandan
skadron. Penguasaan menerbangkan MiG-21 terus dilakukannya baik melalui
petunjuk buku manual maupun dari instruktur. Satu hari, sebulan setelah
terbang perdana, Rusman terbang seorang diri dalam sebuah misi untuk
menguji kemampuan high speed pesawat. Pagi itu, 29 Agustus 1962, pemilik
1.500 jam terbang MiG-21 ini bertolak dari Madiun dengan rute seputaran
Jawa Timur (baca: Rusman Tembus Mach-2).
“Yang mengejutkan saya saat harus terbang
high speed adalah, bahwa pesawat ini ternyata lebih cepat dari pikiran
saya,” kata si “Hell Cat”, panggilan Rusman di udara. Persis seperti
yang dirasakan Rusman, kehebatan inilah yang diunggulkan Soviet untuk
menahan laju pembom B-52 Stratofortress AU AS yang kecepatan mendekati
Mach-1. Bagi Indonesia hampir serupa. Menahan ancaman pembom
negara-negara musuh menjadi tugas utama MiG-21. “Kita harus sanggup
mengintersep pada titik dimana mereka bisa merilis bom,” jelas Jahman,
mantan Danlanud Iswahyudi itu.
Untuk mendukung akselerasinya secepat
mungkin mencegat pembom, MiG-21 dilengkapi afterburner. Malasalahnya,
kadangkala afterburnernya tidak berfungsi dengan baik saat pesawat
tengah menggandul sebuah bom konvensional “jatuh bebas” seberat 500
kilogram. Kesalahan teknis ini sempat merenggut nyawa beberapa penerbang
MiG-21. Seperti pada satu ketika, tepatnya hari Kamis, saat
dilangsungkan latihan terbang tinggi di Madiun.
Seorang penerbang, ingat Rusman, gagal
lepas landas, karena tenaga tambahannya tidak bekerja sempurna.
Pesawatnya terus merambat cepat di permukaan landasan, baru hidung yang
terangkat. Anak muda ini terus berusaha, dihidupkannya lagi. Dia sadar,
ujung landasan sekian detik lagi habis. Tanpa pikir panjang, ditariknya
kursi pelontar (ejection seat) bermaksud bail out. Pesawat tercebur
masuk sungai di ujung landasan.
Sulit berpikir jernih kala terjepit.
Mungkin itu yang dialami anak muda ini. Dalam kepanikkannya, ditariknya
kursi pelontar yang jelas tidak menerapkan teknologi zero ejection seat
baru aktif pada ketinggian 1.000 kaki. Pemuda berkemauan besar itu
menghembuskan napas terakhir. “Padahal dia sudah minta izin pada saya,
usai terbang akan ke Yogya untuk melangsungkan pertunanganan pada hari
Sabtu,” kenang Rusman. Sebelumnya, di hari Selasa, kecelakaan juga
menimpa seorang penerbang. Sebuah pesawat jatuh di hutan jati, daerah
Cepu, dalam sebuah latihan terbang malam. Pesawat menyambar pohon jati
sepanjang satu kilometer.
Seorang penerbang lainnya juga membuat
kekeliruan saat akan mendarat. Padahal, aku Rusman, dia sudah
memberitahu kalau mengurangi kecepatan dari high speed, intake-nya akan
membuka. Proses ini akan menimbulkan getaran. Celakanya, karena kaget,
dia langsung eject. Penerbangnya sih, selamat, tapi pesawatnya hancur.
Rusman sendiri juga nyaris celaka
gara-gara afterburner, ketika berangkat dari Kemayoran ke Madiun.
Ketenangan serta segudang pengalaman, menjadi sangat mahal dalam kondisi
ini. Rusman sangat sadar, kecepatan pesawat saat itu hanya pas untuk
melayang. Salah handling sedikit saja, fatal. Sayapnya yang teramat
tipis, hampir tidak bisa diharapkan memberikan daya angkat besar.
Pesawat melayang persis di atas atap rumah penduduk.
Kegagahannya berakhir mengharukan Walau
sangat cepat, pesawat pencegat MiG-21 tidak bisa diharapkan mengerjakan
tugas-tugas strategis. Kemampuannya hanya untuk mengangkasa dengan
cepat, terbang cepat, kombat, dan pulang! Endurance-nya kecil.
Menyadari keterbatasan pesawat, sementara
wilayah Indonesia teramat luas untuk dipertahankan dan dijangkau
MiG-21. Namun rasa bela negara, terlalu besar untuk dikalahkan oleh
keterbatasan pesawat. Sebagai uji coba, Rusman terbang keliling Jawa
Timur. Ternyata pesawatnya hanya mampu terbang 1 jam 40 menit. “Itupun
sudah dengan drop tank dan teknik terbang yang irit,” katanya.
Satu jam 40 menit. Apa yang bisa
dijangkau dari Jakarta? Mulailah mereka menghitung. Medan bisa! “Tapi
tidak bisa pulang,” jawab Rusman. Bagaimana kalau cuaca buruk, tiba-tiba
engine trouble, atau ada gangguan di landasan? Padahal terbangnya harus
lurus, tidak ada toleransi “belok kiri-kanan”. Waktu tempuh
Kemayoran-Medan sekitar 1 jam 30 menit. Artinya, hanya tersisa 10 menit
untuk keadaan darurat. Berbagai pertanyaan bergalau dibenak Rusman.
Namun dia sudah memutuskan, pulau-pulau besar di luar Jawa harus
didarati.
Medan akhirnya dikunjungi. Kurang puas,
Rusman, Sukardi, dan Ibnu Subroto, melakukan terbang cross country
melintas Sumatera pada tahun 1963. Dengan mengambil rute
Kemayoran-Palembang-Medan-Padang-Kemayoran, ketiga pencegat
menyambar-nyambar di setiap daerah yang disinggahi. Mereka juga menginap
di ketiga kota yang didarati. Sambutan masyarakat begitu antusias.
Sukses rupanya. Karena itu, perjalanan
dilanjutkan ke Indonesia bagian timur setahun kemudian. Kali ini lebih
banyak, melibatkan enam pesawat. Rute yang diambil :
Madiun-Makasar-Morotai-Biak. Dalam jumlah besar, MiG-21 pernah melakukan
formasi sembilan pesawat. Cross country ini dilakukan bukan untuk unjuk
kekuatan AURI, “Tapi untuk meningkatkan skill, dan orientasi daerah
bagi penerbang,” jelas Rusman lagi.
Ketika konfrontasi dengan Malaysia yang
dikenal dengan kampanye Dwikora, Indonesia menyiagakan pembom Tu-16 dan
MiG-21. Karena jangkauannya yang kecil, pesawat harus ditempatkan di
Palembang dan Medan. Selama pengabdiannya di AURI, memang tidak ada
pengalaman perang udara hebat yang ditinggalkan MiG-21 bagi generasi
berikutnya. Selama Dwikorapun, hanya beberapa kali berpapasan dengan
pesawat Hawker Hunter atau HS Buccaneer Inggris saat mengawal Tu-16.
Leo Wattimena sendiri memang tidak
menghendaki adanya duel udara di antara kedua belah pihak. “Kecuali
ditembak,” perintah Leo. Namun begitu, dua rudal K-13A atau NATO
menyebutnya AA-2 Atoll dan kanon 30 mm, tetap disiagakan. Biarpun
dilarang bertindak provokasi, ada saja beberapa penerbang yang berbuat
iseng. Maksudnya hanya ingin melihat kesiapan radar lawan.
Dengan airborne dari Medan, pesawat
terbang low level menyusuri selat Malaka. Begitu menjelang perbatasan,
tower akan berteriak memberitahu ada pesawat naik dari Butterworth.
“Kita langsung pull up, kabur,” jelas Jahman yang menjabat komandan
Skadron 14 setelah Rusman. Saat pesawat Inggris tiba di perbatasan,
MiG-21 AURI sudah terbang jauh. “Kita (MiG-21) memang tidak pernah
perang. Sebagai pencegat, kita hanya menunggu lawan yang tidak pernah
jelas. Itulah tugas kita, menunggu dan menunggu,” tutur Jahman yang
menerbangkan MiG-21 nomor 2164.
Bagi Rusman maupun Jahman, agak kelam
nasib MiG-21 pasca “pemberontakan yang gagal” oleh komunis Indonesia.
Kedua penerbang MiG generasi pertama ini, kurang begitu tahu apakah
betul MiG-21 di jual. Lain halnya dengan MiG-19. “Saya sendiri yang
mengantarkan ke Pakistan, sekalian melatih penerbangnya,” aku Rusman.
Soal pembelian MiG-19, ditambahkan Jahman, terpaksa dibeli Indonesia
ulah politik dagang Rusia. Soalnya, sepengetahuan Jahman, Rusia hanya
bersedia melepas MiG-21 asalkan MiG-19-nya juga dibeli.
Menurut polemik yang beredar saat itu,
Indonesia memberikan MiG-19 kepada Pakistan karena merasa dikerjain.
Gosip yang beredar seperti diceritakan Jahman, satu ketika Pakistan
memberi pesawat angkut yang ternyata bobrok. Ketahuannya, sejak mendarat
pesawat sumbangan ini tidak pernah diterbangkan lagi. Dari
karakteristik pesawat yang diceritakan Jahman, sepertinya pesawat
dimaksud adalah Lockheed Constellation. Itulah sebabnya, MiG-19
diberikan kepada Pakistan. Kondisi MiG-19 sebenarnya tidak terlalu baik.
Pesawatnya selalu tidak siap untuk diterbangkan. “Padahal teknisi sudah
menyatakan bagus. Begitu kita hidupkan, selalu ada saja yang tidak
benar,” aku Jahman.
Namun yang jelas, bagi Pakistan yang
tengah terlibat perang dengan India, jelas berharga. Selain Indonesia,
Cina juga menyumbangkan pesawat yang sama. Niat hatinya, Pakistan
sebenarnya ingin meminjam pembom Tu-16 AURI yang dipersenjatai rudal AS 1
Kennel, tapi ditolak Men/Pangau Omar Dhani.
“Saya tidak tahu apakah betul dijual dan
kemana. Kalau benar, palingan itu urusan orang-orang gede,” kilah Rusman
yang selalu menerbangkan pesawat MiG-21 bernomor 2160 dan 2170
tersenyum kecut. “Pesawat itu hebat sekali,” tutur Rusman berkali-kali,
seperti tidak puas memuji kehebatan sang pencegat. MiG-21 AURI
mengakhiri zaman keemasannya setelah farewell flight sebulan penuh, pada
tahun 1967.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar