Senin, 30 September 2013

Analisa Intelijen Terkait Penembakan Polisi yang Misterius


Belum lagi tuntas pengusutan kasus penembakan-penembakan polisi yang sebelumnya, Selasa malam (10/9/2013) kembali kita dikejutkan dengan dengan peristiwa penembakan seorang anggota polisi, tepat di depan gedung KPK. Berbagai reaksi muncul baik dari masyarakat awam maupun pihak kepilisian dan juga para pengamat politik tanah air. Beredar juga isu yang mengaitkan kasus penembakan ini dengan kelompok jaringan terorisme. Saya sebagai orang awam coba berandai-andai menganalisa dari sudut pandang yang sedikit banyak sulit untuk dipertanggung jawabkan validitasnya, hanya untuk sekedar mengisi waktu sambil ngopi. *senyum
Analisa saya yang pertama dari sudut pandang intelijen, kita coba berfantasi seperti dalam film-film spionase yang penuh dengan trik dan strategi intelijen. Kasus penembakan aparat penegak hukum ini sebenarnya bukan baru terjadi dan beruntun menimpa anggota polisi seperti kasus terakhir ini. Penembakan terhadap aparat beberapa kali terjadi di daerah konflik, seperti Aceh atau Papua. Korbannya sebenarnya sama, aparat penegak hukum. Akan tetapi kalau kita cermati terdapat perbedaan mencolok terlihat dari dua kasus ini. Penembakan di daerah konflik jelas sekali siapa yang bertanggung jawab, dalam arti kata musuh bisa diidentifikasi. Sedangkan kasus penembakan polisi yang terjadi belum lama ini masih gelap siapa musuh yang sebenarnya. Jadi cukup pas kalau kita sebut sebagai Petrus (Penembak Misterius).
Kalau melihat bahwa korban adalah para polisi yang tentunya sudah cukup terlatih, para pelaku tentunya juga “bukan orang biasa”. Analisa secara intelijen ada dua kemungkinan siapa pelaku penembakan ini. Kemungkinan pertama orang “luar biasa” ini berasal dari kelompok  yang cukup terlatih urusan strategi teror, sehingga mungkin sekali merupakan bagian dari kelompok jaringan terorisme. Jika bukti-bukti cukup kuat mengarah ke situ, aparat kepolisian yang tentunya sudah mengantongi daftar jaringan terorisme ini bisa mudah dan segera bertindak cepat untuk meringkusnya.
Kemungkinan kedua jika melihat bahwa pelaku cukup terlatih dan aparat kepolisian belum menemukan titik terang tentang pelaku sampai saat ini, bisa jadi kasus-kasus penembakan ini merupakan bagian dari suatu misi rahasia intelijen. Kalau melihat dari banyak cerita film spionase, kita bisa lihat bahwa antara satu agen rahasia dengan agen rahasia yang lain tidak saling kenal, bahkan bisa jadi tidak kenal dengan siapa “pemberi komando” atas misi yang mereka emban. Dan sangat mungkin ada “special agent” di antara agen-agen rahasia dengan misi yang ada di dalamnya. Jika analisa ini kita kembangkan lebih jauh, tidak menutup kemungkinan “pemberi komando” adalah orang yang memegang peranan cukup tinggi dalam politik dan pemerintahan. Jadi kasus-kasus penembakan yang terjadi merupakan sebuah scenario yang dijalankan untuk memuluskan misi dari sang “pemberi komando” atau bertujuan membuat isu untuk mengaburkan kasus yang terkait dengan sang “pemberi komando” atau bahkan lebih jauh lagi stabilitas negara. Kalau hal ini yang terjadi, sudah bisa dipastikan aparat kepolisian akan sangat sulit untuk bisa membongkarnya. Bisa jadi tahu tapi tidak punya “kuasa” untuk akses lebih jauh, sehingga salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memunculkan “kambing hitam” sebagai finalisasi dari misi setelah misi dari sang “pemberi komando” selesai, mission accomplished. Korban dari aparat kepolisian merupakan collateral damage dari misi rahasia yang sudah di-scenario. Turut berduka dan prihatin terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Analisa kedua dari sudut pandang psikologis. Dibandingkan dengan TNI yang sama-sam terlatih dengan urusan hankam, Polisi mempunyai hubungan psikologis yang lebih dengan masyarakat. Aparat kepolisian dalam tugasnya akan bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti misalnya Polisi lalu lintas. Jadi apa kaitannya dengan kasus penembakan ini?
Citra Polisi bisa kita katakan “paling jelek” di mata masyarakat dengan berbagai pengalaman yang terjadi di lapangan. Oknum Polisi yang dengan terang-terangan bertindak sebagai “preman berseragam” dalam menegakkan disiplin berlalu lintas seringkali kita jumpai. Uang damai atas pelanggaran yang disengaja maupun karena “dijebak” oleh sang oknum Polisi sudah menjadi hal wajar di masyarakat umum. Kasus-kasus ini lah yang membekas secara psikologis di mata masyarakat umum.
Kalau jaman dahulu kita kenal istilah Petrus sebagai tukang jagal misterius terhadap para preman yang meresahkan masyarakat, bisa jadi para pelaku penembakan polisi ini kita merupakan Petrus masa kini. Korban sama-sama merupakan “preman” di mata masyarakat, yang kemudian dijadikan ajang balas dendam dari orang-orang yang pernah “terluka” oleh ulah oknum Polisi. Dan bisa jadi korbannya adalah para Polisi yang tidak bersalah dan hanya terbawa sebagai korban karena citra korps mereka. Sekali lagi turut berduka dan prihatin terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Dengan munculnya “preman berseragam” yang menjadi momok bagi masyarakat, bisa jadi muncul “Robin Hood” sebagai tokoh pembela rakyat yang menggunakan cara-cara sendiri untuk memberikan shock therapy terhadap oknum aparat agar membenahi korps mereka dan benar-benar menjalankan fungsi yang sebenarnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Mari kita tunggu hasil investigasi dari aparat kepolisian untuk memecahkan kasus ini. Semoga segera menemukan titik terang dan tuntas sampai akarnya. Analisa di atas tidak ada tendensi apa pun, hanya sebuah imajinasi dari seseorang yang sedang mengalami kontroversi hati untuk menggali sebuah konspirasi demi statusisasi kemakmuran agar tidak labil ekonomi. *nyengir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar