Belum lagi tuntas pengusutan kasus penembakan-penembakan polisi yang
sebelumnya, Selasa malam (10/9/2013) kembali kita dikejutkan dengan
dengan peristiwa penembakan seorang anggota polisi, tepat di depan
gedung KPK. Berbagai reaksi muncul baik dari masyarakat awam maupun
pihak kepilisian dan juga para pengamat politik tanah air. Beredar juga
isu yang mengaitkan kasus penembakan ini dengan kelompok jaringan
terorisme. Saya sebagai orang awam coba berandai-andai menganalisa dari
sudut pandang yang sedikit banyak sulit untuk dipertanggung jawabkan
validitasnya, hanya untuk sekedar mengisi waktu sambil ngopi. *senyum
Analisa saya yang pertama dari sudut pandang intelijen, kita coba
berfantasi seperti dalam film-film spionase yang penuh dengan trik dan
strategi intelijen. Kasus penembakan aparat penegak hukum ini sebenarnya
bukan baru terjadi dan beruntun menimpa anggota polisi seperti kasus
terakhir ini. Penembakan terhadap aparat beberapa kali terjadi di daerah
konflik, seperti Aceh atau Papua. Korbannya sebenarnya sama, aparat
penegak hukum. Akan tetapi kalau kita cermati terdapat perbedaan
mencolok terlihat dari dua kasus ini. Penembakan di daerah konflik jelas
sekali siapa yang bertanggung jawab, dalam arti kata musuh bisa
diidentifikasi. Sedangkan kasus penembakan polisi yang terjadi belum
lama ini masih gelap siapa musuh yang sebenarnya. Jadi cukup pas kalau
kita sebut sebagai Petrus (Penembak Misterius).
Kalau melihat bahwa korban adalah para polisi yang tentunya sudah cukup
terlatih, para pelaku tentunya juga “bukan orang biasa”. Analisa secara
intelijen ada dua kemungkinan siapa pelaku penembakan ini. Kemungkinan
pertama orang “luar biasa” ini berasal dari kelompok yang cukup
terlatih urusan strategi teror, sehingga mungkin sekali merupakan bagian
dari kelompok jaringan terorisme. Jika bukti-bukti cukup kuat mengarah
ke situ, aparat kepolisian yang tentunya sudah mengantongi daftar
jaringan terorisme ini bisa mudah dan segera bertindak cepat untuk
meringkusnya.
Kemungkinan kedua jika melihat bahwa pelaku cukup terlatih dan aparat
kepolisian belum menemukan titik terang tentang pelaku sampai saat ini,
bisa jadi kasus-kasus penembakan ini merupakan bagian dari suatu misi
rahasia intelijen. Kalau melihat dari banyak cerita film spionase, kita
bisa lihat bahwa antara satu agen rahasia dengan agen rahasia yang lain
tidak saling kenal, bahkan bisa jadi tidak kenal dengan siapa “pemberi
komando” atas misi yang mereka emban. Dan sangat mungkin ada “special
agent” di antara agen-agen rahasia dengan misi yang ada di dalamnya.
Jika analisa ini kita kembangkan lebih jauh, tidak menutup kemungkinan
“pemberi komando” adalah orang yang memegang peranan cukup tinggi dalam
politik dan pemerintahan. Jadi kasus-kasus penembakan yang terjadi
merupakan sebuah scenario yang dijalankan untuk memuluskan misi dari
sang “pemberi komando” atau bertujuan membuat isu untuk mengaburkan
kasus yang terkait dengan sang “pemberi komando” atau bahkan lebih jauh
lagi stabilitas negara. Kalau hal ini yang terjadi, sudah bisa
dipastikan aparat kepolisian akan sangat sulit untuk bisa membongkarnya.
Bisa jadi tahu tapi tidak punya “kuasa” untuk akses lebih jauh,
sehingga salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memunculkan
“kambing hitam” sebagai finalisasi dari misi setelah misi dari sang
“pemberi komando” selesai, mission accomplished. Korban dari aparat
kepolisian merupakan collateral damage dari misi rahasia yang sudah
di-scenario. Turut berduka dan prihatin terhadap korban dan keluarga
yang ditinggalkan.
Analisa kedua dari sudut pandang psikologis. Dibandingkan dengan TNI
yang sama-sam terlatih dengan urusan hankam, Polisi mempunyai hubungan
psikologis yang lebih dengan masyarakat. Aparat kepolisian dalam
tugasnya akan bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti misalnya
Polisi lalu lintas. Jadi apa kaitannya dengan kasus penembakan ini?
Citra Polisi bisa kita katakan “paling jelek” di mata masyarakat dengan
berbagai pengalaman yang terjadi di lapangan. Oknum Polisi yang dengan
terang-terangan bertindak sebagai “preman berseragam” dalam menegakkan
disiplin berlalu lintas seringkali kita jumpai. Uang damai atas
pelanggaran yang disengaja maupun karena “dijebak” oleh sang oknum
Polisi sudah menjadi hal wajar di masyarakat umum. Kasus-kasus ini lah
yang membekas secara psikologis di mata masyarakat umum.
Kalau jaman dahulu kita kenal istilah Petrus sebagai tukang jagal
misterius terhadap para preman yang meresahkan masyarakat, bisa jadi
para pelaku penembakan polisi ini kita merupakan Petrus masa kini.
Korban sama-sama merupakan “preman” di mata masyarakat, yang kemudian
dijadikan ajang balas dendam dari orang-orang yang pernah “terluka” oleh
ulah oknum Polisi. Dan bisa jadi korbannya adalah para Polisi yang
tidak bersalah dan hanya terbawa sebagai korban karena citra korps
mereka. Sekali lagi turut berduka dan prihatin terhadap korban dan
keluarga yang ditinggalkan.
Dengan munculnya “preman berseragam” yang menjadi momok bagi masyarakat,
bisa jadi muncul “Robin Hood” sebagai tokoh pembela rakyat yang
menggunakan cara-cara sendiri untuk memberikan shock therapy terhadap
oknum aparat agar membenahi korps mereka dan benar-benar menjalankan
fungsi yang sebenarnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Mari kita tunggu hasil investigasi dari aparat kepolisian untuk
memecahkan kasus ini. Semoga segera menemukan titik terang dan tuntas
sampai akarnya. Analisa di atas tidak ada tendensi apa pun, hanya sebuah
imajinasi dari seseorang yang sedang mengalami kontroversi hati untuk
menggali sebuah konspirasi demi statusisasi kemakmuran agar tidak labil
ekonomi. *nyengir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar