Minggu, 29 September 2013

Thomson TRS-2215/TRS-2230: Radar Andalan Pertahanan Udara RI Era 80-an

F-5E tiger dan Radar Thomson TRS-2215

Pasca pecah kongsi antara Indonesia dan Uni Soviet di tahun 1966, membawa implikasi pelik bagi konfigurasi alutsista di Tanah Air. Khususnya di lingkungan TNI AU, hampir semua alutsista asal Uni Soviet dan Eropa Timur harus di grounded lantaran ketiadaan pasokan suku cadang. Kalaupun ada yang masih bertahan hingga tahun 70-an, seperti jet tempur MiG-21 dan pembom Tu-16, tak lain hanya mengandalkan pola kanibalisasi suku cadang.
Di periode transisi haluan alutsista tersebut, tantangan dalam aspek militer nyatanya juga tak surut, bahkan di sekitar tahun 1975 dan 1976, TNI punya kesibukan yang sangat besar dalam operasi Seroja. Sebagai aktualisasi dari strategi perubahan, mulai berdatanganlah pesawat tempur dari AS dan sekutunya, sebut saja seperti pengadaan A-4E Skyhawk, F-5E/F Tiger, hibah F-86 Sabre dari Australia, pembelian jet latih Hawk MK-53, dan pesawat tempur anti gerilya OV-10F Bronco yang dibeli dari AS pada tahun 1976. Boleh dibilang dalam waktu singkat, TNI berusaha memenuhi MEF (minimum essential force) dalam waktu singkat. Maklum, sejak pergantian haluan sistem senjata, kekuatan sista TNI AU sempat tertinggal dari Malaysia dan Singapura.
Yang disebutkan diatas baru sebatas urusan pesawat tempur, dalam konsep Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), elemen yang terlibat bukan hanya jet tempur, untuk mengamankan kedaulatan Nasional di udara juga diperlukan hadirnya kekuatan sistem radar pertahanan udara dan Arhanud. Tapi sistem radar-lah yang justru memegang peran utama, karena dapat melakukan deteksi dini yang selanjutnya menyalurkan informasi penting tersebut pada komando atas.
Berangkat dari kondisi wilayah udara nasional yang begitu luas, TNI pun sejak awal sudah mempersiapkan elemen radar sebagai bagian dari hanudnas. Meski dari kuantitas sangat terbatas, secara kualitas dan jenis radar TNI AU sudah memiliki roadmap yang bisa diperhitungkan.
Pada dasawarsa 60-an dan 70-an, wilayah udara RI dipantau menggunakan radar-radar generasi pertama yang menggunakan teknologi tabung, antara lain radar Nysa (Polandia), Decca, dan Plessey (AWS II-Inggris). Meskipun teknologi yang dimiliki masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan range pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 NM sampai dengan 180 NM, keberadaan radar-radar tersebut cukup mampu memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara Indonesia, khususnya pulau Jawa.

Thomson TRS-2215

Kemudian pada dasawarsa 80 sampai dengan 90-an sistem pertahanan udara dikembangkan dengan adanya pembangunan radar-radar Thomson di beberapa tempat, baik tipe TRS 2230 (Plannar) ataupun TRS 2215 (Hyperbolic). Berbeda dengan generasi terdahulu, radar-radar generasi ini sudah lebih modern. Walau masih menggunakan teknologi tabung, penunjukan sasaran sudah dalam 3 (tiga) dimensi (3D ; bearing, range, altitute). Keunggulan radar ini sudah dapat di gelar ditempat yang berpindah-pindah (mobile). Penambahan sistem komunikasi ground to air, sangat memudahkan pengendalian dan pemberian informasi adanya pesawat asing di sekitarnya. Penyampaian informasi posisi dan pergerakan lawan yang cepat dan akurat sangat membantu para penerbang melaksanakan misinya.
Memasuki era 90-an dan 2000, penambahan sista radar jatuh pada pilihan Plessey Commander, yaitu AR-325 dan AR-327, yang di gelar di Kosek II. Radar-radar ini merupakan generasi lanjutan dari Radar Plessey terdahulu. Dengan menggunakan teknologi layar datar dan TID (Touch Input Devices), penampilan console terlihat lebih simple. Pembangunan MROC (Multi Role Operation Centre) ada dalam satu paket dengan Radar Plessey generasi tersebut. Diharapkan MROC mampu berfungsi sebagai pengganti SOC (Posek), apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Pada era 2000-an penggelaran radar lebih memilih jenis Master T untuk melengkapi kesiapan radar di tanah air dalam rangka memperkuat sistem pertahanan udara dan menutup seluruh wilayah udara NKRI.
Popunas
Untuk dapat mengcover seluruh wilayah udara nasional memerlukan dana yang tidak kecil maka dibangunlah beberapa MCC (Military and Civil Coordination) yang berfungsi untuk mengintegrsikan Radar-Radar Hanud dengan Radar sipil. Dalam hal ini peranan TDAS (Trasmission Data Air Situation) juga sangat membantu proses integrasi tersebut. Dengan adanya TDAS ini situasi wilayah udara dapat di kirim ke Posek (Pusat Operasi Sektor) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) secara real time. Sistem Komando Kendali Komputerisasi dan Informasi atau K3I, dibangun dan dikembangkan dengan sistem SBM.
Aktivitas di Popunas


 C-MOV TNI AU



Bicara soal Popunas, perannya bisa diibaratkan sebagai ‘jantung’ dari aktivitas monitoring Kohanudnas. Popunas merupakan obyek vital yang ditempatkan di area Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta. Selain punya home base, Popunas juga punya kepanjangan mata, keberadaan C-MOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) yang dilengkapi sistem transmission data air situation (TDAS). Perannya seperti miniatur Popunas, namum C-MOV punya keunggulan dalam mobilitas, pasalnya C-MOV dibangun dalam platform mini truk Mercedes Benz MB800.

Radar TRS-2215 dan TRS-2230
Kembali ke judul tulisan ini, dari beragam jenis radar yang dimiliki Satuan Radar (Satrad) TNI AU, radar kekuaran Thomson CSF ini mungkin yang populasinya paling banyak saat ini. Jenis radar buatan Perancis ini ada tiga varian yang digunakan TNI AU, yaitu Thomson TRS-2215 R digunakan mulai tahun 1981 dan dtempatkan di Ranai, Kupang, Dumai, dan Lhokseumawe. Lalu ada Thomson TRS-2215 D mulai digunakan tahun 1986, ditempatkan di Cibalimbing, Sabang, dan Sibolga. Kemudian ada Thomson TRS-2230, mulai digunakan tahun 1987, ditempatkan di Tanjungkait. Situs armyrecognition.com menyebutkan, TNI AU memiliki 2 unit radar Thomson TRS-2215 dan 12 unit radar Thomson TRS-2230.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar