Lahir di Jakarta 23 Pebruari 1920.
Jabatan terakhir dalam pemerintahan resmi adalah Atase Militer di KBRI
Washington (1957). Setelah tahun itu namanya lebih sering
dihubung-hubungkan dengan angkatan perang PRRI/Permesta (1959). Dalam
lingkungan teman-temannya ia dikenal sebagai seorang yang berdarah
daging militer.
Ayahnya seorang perwira KNIL yang pada tahun 1910 sudah mendapat pendidikan sekolah perwira di Jatinegara. Alex sendiri setelah menyelesaikan sekolah menengahnya di Bandung masuk CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren =Korps Pendidikan Perwira Cadangan) dari situ pada tahun 1941, ia masuk Koninklijk Militair Academia=Akademi Militer Kerajaan (KMA), yang dipindahkan dari Breda (Belanda) ke Hindia setelah serbua Jerman atas Belanda (1940). Karena dinililai sangat cakap Alex ditunjuk menjadi instruktur pada akademi militer tersebut dan ikut bertempur melawan Jepang, dimana pada saat itu ia merasakan siksaan tawanan Jepang.
Pada awal revolusi Kawilarang bersama sejumlah rekannya di CORO dan KMA ikut menyusun tentara keamanan rakyat di wilayah Jawa Barat. Pada awal 1946 ia diangkat sebagai Komandan Brigade II untuk wilayah yang mencakup Cianjur, Bogor dan Sukabumi dengan pangkat Letnan Kolonel. Dalam Agresi Belanda pertama - pertengahan 1947 - ia mendapat ultimatum dari Belanda untuk menyerah, akan tetapi melalui kawat ia menjawab bahwa ia bersama rekan berjuang dengan cita-cita lebih suka mati dari pada menyerah. Kota Sukanegara yang menjadi markas Brigade II direbut Belanda, namun Kawilarang telah membumihanguskan terlebih dahulu. Seiring dengan berlakunya Perjanjian Renvile ia ikut pindah ke Yogyakarta.
Pada bulan Agustus 1948 Kawilarang dikirim ke Sumatera untuk ikut mengadakan reorganisasi ketentaraan di sana. Ketika ia dikukuhkan sebagai Dan Subter VII/ Tapanuli, Sumatera Timur. Selanjutnya ia kemudian melakukan gerilya selama perang kemerdekaan ke-2 di wilayah kekuasaaannya hingga gencatan senjata tercapai.
Setelah penyerahan kedaulatan ia diangkat sebagai Panglima Teritorium Sumatera Utara dan berkedudukan sebagai Gubernur Militer (1950). Ia kemudian ditugaskan untuk menumpas pemberontakan militer Andi Azis di Sulawesi Selatan. Dalam operasi tersebut ia diangkat sebagai Panglima dari semua satuan (darat, laut dan udara) yang bertugas menjalankan operasi di wilayah Indonesia Timur. Setelah pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, ia kembali ditugaskan untuk mengatasi pemberontakan RMS di Maluku dan Kahar Muzakar.
Pada bulan Nopember 1951, ia diangkat sebagai Komandan Teritorium III Jawa Barat dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada saat inilah ia memprakarsai dibentuknya Kesatuan Komando yang terlatih bertempur dalam satuan-satuan kecil yang serba bisa dan dapat diandalkan. Sebagai Panglima Divisi Siliwangi ia terjun langsung dalam penumpasan gerombolan Darul Islam pimpinan Karto Suwiryo.
Kawilarang diangkat sebagai Atase Militer di KBRI Washington hingga tahun 1957. Ia selanjutnya mengajukan pengunduran diri karena tidak setuju dengan kebijaksanaan pemerintah pusat dalam menangani kasus Permesta. Sejak saat itu namanya sering dicantumkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang PRRI/Permesta.
Ayahnya seorang perwira KNIL yang pada tahun 1910 sudah mendapat pendidikan sekolah perwira di Jatinegara. Alex sendiri setelah menyelesaikan sekolah menengahnya di Bandung masuk CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren =Korps Pendidikan Perwira Cadangan) dari situ pada tahun 1941, ia masuk Koninklijk Militair Academia=Akademi Militer Kerajaan (KMA), yang dipindahkan dari Breda (Belanda) ke Hindia setelah serbua Jerman atas Belanda (1940). Karena dinililai sangat cakap Alex ditunjuk menjadi instruktur pada akademi militer tersebut dan ikut bertempur melawan Jepang, dimana pada saat itu ia merasakan siksaan tawanan Jepang.
Pada awal revolusi Kawilarang bersama sejumlah rekannya di CORO dan KMA ikut menyusun tentara keamanan rakyat di wilayah Jawa Barat. Pada awal 1946 ia diangkat sebagai Komandan Brigade II untuk wilayah yang mencakup Cianjur, Bogor dan Sukabumi dengan pangkat Letnan Kolonel. Dalam Agresi Belanda pertama - pertengahan 1947 - ia mendapat ultimatum dari Belanda untuk menyerah, akan tetapi melalui kawat ia menjawab bahwa ia bersama rekan berjuang dengan cita-cita lebih suka mati dari pada menyerah. Kota Sukanegara yang menjadi markas Brigade II direbut Belanda, namun Kawilarang telah membumihanguskan terlebih dahulu. Seiring dengan berlakunya Perjanjian Renvile ia ikut pindah ke Yogyakarta.
Pada bulan Agustus 1948 Kawilarang dikirim ke Sumatera untuk ikut mengadakan reorganisasi ketentaraan di sana. Ketika ia dikukuhkan sebagai Dan Subter VII/ Tapanuli, Sumatera Timur. Selanjutnya ia kemudian melakukan gerilya selama perang kemerdekaan ke-2 di wilayah kekuasaaannya hingga gencatan senjata tercapai.
Setelah penyerahan kedaulatan ia diangkat sebagai Panglima Teritorium Sumatera Utara dan berkedudukan sebagai Gubernur Militer (1950). Ia kemudian ditugaskan untuk menumpas pemberontakan militer Andi Azis di Sulawesi Selatan. Dalam operasi tersebut ia diangkat sebagai Panglima dari semua satuan (darat, laut dan udara) yang bertugas menjalankan operasi di wilayah Indonesia Timur. Setelah pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, ia kembali ditugaskan untuk mengatasi pemberontakan RMS di Maluku dan Kahar Muzakar.
Pada bulan Nopember 1951, ia diangkat sebagai Komandan Teritorium III Jawa Barat dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada saat inilah ia memprakarsai dibentuknya Kesatuan Komando yang terlatih bertempur dalam satuan-satuan kecil yang serba bisa dan dapat diandalkan. Sebagai Panglima Divisi Siliwangi ia terjun langsung dalam penumpasan gerombolan Darul Islam pimpinan Karto Suwiryo.
Kawilarang diangkat sebagai Atase Militer di KBRI Washington hingga tahun 1957. Ia selanjutnya mengajukan pengunduran diri karena tidak setuju dengan kebijaksanaan pemerintah pusat dalam menangani kasus Permesta. Sejak saat itu namanya sering dicantumkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang PRRI/Permesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar