“Doorr!”. Suara itu mengagetkan Asman, penjaga Masjid Bani Umar, di malam naas itu. Mulanya dia mengira suara mercon. Letusan itu terdengar olehnya dua kali. Asman pun keluar rumah. Tapi Jalan Graha Raya, Parigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan itu sepi pada Kamis malam, 16 Agustus 2013.
Ia tersentak saat melihat ada sepeda motor tergeletak. Rupanya tak cukup cahaya di tepi jalan itu. Asman lalu merogoh telepon seluler di sakunya. Dengan benda itu ia menyorot sekitar motor. Dan, dia terkesiap: satu jasad lelaki terbujur dengan kepala bersimbah darah. “Saya kaget bukan kepalang," kata Asman kepada VIVAnews.
Belakangan, sebagai saksi yang diperiksa polisi, ia baru tahu kalau lelaki malang itu adalah Aiptu Koes Hendratna, seorang anggota polisi di Polsek Pondok Aren. Polisi itu tewas diterjang peluru orang tak dikenal. Ia ditembak dari jarak dekat, dari beberapa meter di belakangnya.
Kata polisi, saat itu Aiptu Koes Hendratna hendak pergi ke Mapolsek Pondok Aren untuk apel pukul 22.00. Tatkala mau masuk ke markas Polsek, Aiptu Koes dipepet dua orang bermotor Mio hitam. Seseorang di motor itu lalu menembaknya persis di belakang kepala. Koes roboh. Ia meninggal di tempat.
Melihat aksi itu, empat polisi lain pun bertindak. Mereka adalah tim buru sergap. Dengan mobil Avanza, pelaku penembak Koes dikejar. Motor itu akhirnya terkejar. Saat mobil persis di belakang motor, karena pelaku tak mau berhenti, polisi itu lalu menabrakkan mobil mereka ke motor itu. Benturan terjadi. Tapi mobil polisi ikut terperosok ke got tanggul jalan.
Bripka Maulana yang mengemudikan mobil itu pun sigap keluar dari mobil yang remuk. Tapi naas baginya. Satu dari dua lelaki itu rupanya sudah turun dari motor mereka. Seorang lelaki menembak Bripka Maulana, yang baru keluar dari pintu mobil. Polisi muda itu terjengkang. Ia juga meninggal di tempat.
Teror beruntun
Sudah tiga bulan ini, tiga polisi tewas ditembak orang tak dikenal di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sementara di daerah, aksi teror terhadap polisi juga banyak terjadi. Polisi sepertinya jadi target untuk dihabisi.
Misalnya, seorang polisi lalu lintas Aipda Patah Saktiyono, ditembak orang tak dikenal di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, pada subuh hari di tanggal 27 Juli 2013. Peluru itu menembus dada Patah, dari belakang hingga depan. Syukurlah, nyawanya bisa diselamatkan.
Di Cilandak, insiden serupa menimpa Aiptu Dwiyatna, 7 Agustus lalu. Dwiyatna ditembak di Jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul lima pagi. Dia tewas setelah peluru menembus helm, dan bersarang di kepalanya. (Baca: Kopi Terakhir Aiptu Dwiyatna).
Pada 13 Agustus, ada teror lain lagi. Rumah anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Tulam, di Perum Banjar Wijaya, Cipete Pinang, Kota Tangerang, ditembaki orang tak dikenal.
Aksi teror itu juga melebar ke Jawa Barat. Di Tasikmalaya, ada dua teror bom rakitan yang di lempar ke kantor polisi. Pertama, di Pos Polisi Jalan Mitrabatik, Kota Tasikmalaya, 13 Mei 2013. Satu orang pelaku berhasil dikejar usai melempar pos polisi itu. Ia tewas ditembak anggota Satuan Polisi Lalu Lintas di sana.
Dua bulan kemudian, seorang pengendara motor melempar bom rakitan ke halaman kantor Polsek Rajapolah. Bom itu mirip panci presto, yang berisi kabel ponsel berdaya ledak kecil, timah, dan paku. Polisi juga menemukan telepon genggam, remote control, dan bubuk mesiu. Barang-barang bukti itu, termasuk mesiu ditemukan dari bekas ledakan di pojok halaman kantor Polsek.
Siapa mereka?
Polisi tampaknya mulai bisa membaca aksi mereka. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Pol. Rikwanto mengatakan, penembak para polisi ini diduga orang-orang terlatih. "Dilihat dari cara dia melakukan, memilih waktu, memilih sasaran," ujarnya.
Para pelaku juga paham cara menembak jitu: mereka menembak korban dari jarak 2-2,5 meter.
Modusnya selalu pakai sepeda motor, dan berboncengan dua orang. Waktu operasi: malam atau dini hari, saat situasi sepi. "Sasarannya selalu anggota polisi," katanya (Lihat Infografik: Mengapa Penembakan Polisi Marak?).
Tapi polisi dibuat geram. Hingga Jumat, 23 Agustus, belum ada titik terang atas serangan berseri ini. Polisi sudah menyebar sketsa wajah pelaku, tapi tak seorang pun tertangkap.
Spekulasi pelakunya dari kelompok teroris juga mencuat. Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Polisi lewat Detasemen Khusus 88 rajin mengejar para teroris di Solo, dan Poso. Besar kemungkinan ada aksi balas dendam. “Teroris sekarang makin berani,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris Ansyaad Mbai.
Polisi juga yakin tindakan ini bukan aksi kriminal semata. Ada motif di belakangnya. "Anggota Binmas yang ditembak itu orang baik semua," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie.
Aiptu Dwiyatna ditembak justru saat berangkat ke tempat pengajian. Sedangkan Aiptu Kus dikenal sebagai dermawan yang kerap membantu anak cacat di Yayasan Sayap Ibu. "Apa mungkin ini murni karena kecemburuan? Kalau begitu siapa yang cemburu?" kata Ronny.
Itu sebabnya polisi makin yakin ini salah satu aksi teror yang ingin menciutkan nyali. “Kami tahu dari modus mereka,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Polisi Boy Rafli Amar menyebutkan ada kesamaan peluru penembak dua polisi di Pondok Aren, dengan sejumlah kasus serupa di Sulawesi dan Jawa.
Dalam penembakan di Pondok Aren, polisi menemukan selongsong dan proyektil peluru berkaliber 9,9 milimeter. Persis dengan yang digunakan para teroris di Poso dan Solo. “Amunisi ini kami duga dari penyelundupan senjata Filipina,” kata Boy.
Sebelum ini Abu Umar menyelundupkan senjata dari Filipina ke wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Senjata dan amunisi itu lalu digunakan oleh kelompok Abu Roban di Poso, dan juga pada sejumlah kasus di Pulau Jawa. “Seperti penembakan yang dilakukan Farhan cs di Solo, amunisinya juga sama,” ujar Boy.
Polisi sedang mengembangkan hasil uji balistik ini. “Kami masih belum tahu ini senjata rakitan atau senjata pabrikan. Kami masih mendalami,” kata Boy.
Hingga saat ini, kata Boy, banyak anggota teroris Poso pimpinan Abu Roban memakai senjata tua sisa konflik di Filipina ini. Laras-laras itu cocok dengan kaliber yang digunakan dalam berbagai penembakan, termasuk serangan atas dua polisi di Pondok Aren.
Dari dua proyektil di dua lokasi penembakan itu sama dengan ciri di Poso, polisi yakin ada keterkaitan dengan kelompok teroris. Apalagi Tangerang adalah daerah rawan. Ada beberapa teroris ditangkap di wilayah ini, salah satunya Dulmatin.
Seorang sumber, yang intensif menelisik jejaring kelompok teror ini, mengatakan kepada VIVAnews, model serangan kepada polisi itu disebut igtiyalat, atau pembunuhan diam-diam. Lalu kenapa polisi? Menurut sumber ini lagi, ada kemungkinan aksi balas dendam. Pada 2010-2013 lebih dari 300 teroris ditangkap, lebih dari 60 orang mati ditembak. “Jadi ini aksi qisas, atau balas dendam,” ujarnya.
Gerilya kota?
Soal dugaan keterlibatan jaringan Abu Umar, seperti sempat disinggung oleh Jubir Mabes Polri Brigjen Boy Rafli, sumber VIVAnews mengatakan Abu Umar memang aktif mengirim anggotanya ke Mindanao, Filipina Selatan pada tahun 1990-an. “Di sana anggotanya berlatih militer dengan kelompok Abu Sayaf,” kata sumber itu lagi.
Yang menarik, katanya, ada kesamaan peluru antara aksi teror di Tangerang Selatan dengan yang biasa digunakan kelompok Abu Sayaf di Filipina Selatan. Sementara, yang bisa memasok amunisi dan senjata dari Filipina Selatan ke Indonesia hanya ada dua, yakni kelompok Jemaah Islamiah (JI) dan Darul Islam (DI).
Menurutnya, sekarang kelompok JI lebih memilih jalan dakwah. Tapi kelompok DI faksi Abu Umar masih memilih jalan kekerasan. Ini bisa dilihat dari jejak rekam kelompok DI yang banyak terlibat dalam konflik horizontal di Ambon dan Poso. Selain itu, kawasan Tangerang, Pamulang, Depok dan Bojong Gede adalah basis dari kelompok DI-faksi Abu Umar.
Daerah ini sangat dipahami oleh kelompok Abu Umar. Selain itu, kelompok Abu Umar memang sudah sejak tahun 2010 akan melakukan perang dengan polisi sebelum dia ditangkap polisi tanggal 4 Juli 2011.
Siapa Abu Umar? Dari Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) penangkapan Abu Umar yang dicatat VIVAnews, dia ditangkap 4 Juli 2011 di Bojong, Bogor dengan tuduhan kepemilikan senjata gelap. Turut disita barang bukti sejumlah senjata laras panjang dan pistol. Salah satu yang disita adalah senjata api dan peluru kaliber 9,9 milimeter.
Abu Umar lahir dengan nama Muchamad Ichwan di Jakarta, 30 Mei 1970. Dia bergabung ke DI tahun 1988 saat duduk di kelas II SMA 24, Senayan, Jakarta. Saat itu dia aktif di Bimbingan Rohani Islam (Rohis). Pada 1997, dia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan dan bergabung dengan kelompok Abu Sayaf. Di sana pula dia mempelajari taktik perang dan persenjataan.
Dia pulang ke Indonesia tahun 1998. Dalam BAP-nya itu, Abu Umar mengaku sempat menjadi otak pembacokan Menteri Pertahanan pada era Presiden Gus Dur yaitu Matori Abdul Jalil pada tahun 2000. Alasannya, dia melihat Matori seorang komunis yang menyusup ke Islam sehingga harus dibunuh. Namun eksekutornya saat itu, Sutarno, gagal membunuh Matori. Sutarno malah tewas setelah dikeroyok massa yang menangkapnya. Sejak itu Abu Umar buron.
Anak lelaki Sutarno, Farhan Mujahid, lalu diangkatnya sebagai anak tiri. Farhan sendiri terlibat pada teror di hari perayaan Lebaran 2012 lalu di Solo. Saat itu Solo diserang oleh aksi teroris. Pada 17 Agustus 2012, pos pengamanan mudik di Gemblekan diberondong orang tak dikenal. Serangan kedua, 18 Agustus 2012, pos pengamanan mudik di Gladak dilempar granat nanas. Ketiga, pada 30 Agustus 2012, sekelompok teroris menembaki pos polisi pasar Singosaren, Solo.
Akibat tiga serangan itu, dua polisi luka dan seorang tewas. Belakangan, dalang teror itu terungkap. Ia adalah Farhan Mujahid, seorang anak 19 tahun, memimpin sel belia itu.
Farhan adalah anak tiri Abu Umar. Farhan sendiri tewas dalam penangkapan. Dua anggotanya, Bayu dan Firman ditangkap hidup, dan sekarang sedang menjalani proses sidang. Abu Umar sendiri akhirnya divonis 10 tahun pada 14 Mei 2012 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Tapi, dugaan itu tentu mesti dibuktikan lebih jauh oleh polisi. Pengamat terorisme, yang juga direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones mengatakan, aksi penembakan polisi baru-baru ini mungkin tak sekadar bermotif aksi balas dendam, atau qisas. “Tapi bisa juga lebih dari itu,” katanya.
Kemungkinan lain itu, kata Sidney, para teroris yang tersisa ini telah mengubah strategi operasi mereka. Aksi penembakan beruntun para polisi, misalnya, mengingatkan orang pada model “gerilya kota”. Gaya serangan itu pernah dipakai oleh kelompok teror Carlos Marighella di Brasil, beberapa dekade lalu. (np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar