Rabu, 31 Desember 2014

TNI AU Tertarik dengan Rudal dan Radar Ukraina

Rudal  Jarak medium udara ke udara R-27 produksi Ukraina
Rudal Jarak medium udara ke udara R-27 produksi Ukroboronprom, Ukraina

Delegasi Staf Umum dan Angkatan Udara Republik Indonesia mengunjungi perusahaan Ukroboronprom yang akrab dengan produk Aviation, roket dan radar artileri serta sektor industri pertahanan Ukraina.
Ya, orang Indonesia mengunjungi SJSHC “Art”, perisahaan yang mengkhususkan diri dalam memproduksi rudal udara, peralatan pesawat dan peralatan khusus. Perhatian mereka terfokus pada rudal “udara ke udara”, yang dapat diterapkan ke angkatan udara Indonesia.
Mitra potensial Indonesia ini, tertarik dengan pengenalan atas teknologi militer Ukraina, dan ingin membangun fasilitas produksi bersama dalam sebuah perusahaan khusus.
Radar “Kolchuga” dan sistem lain dari jenis radar ini ditunjukkan kepada mereka yang berkunjung ke Perusahaan Ikra. Perusahaan ini merupakan perusahaan milik negara yang fokus pada “Penelitian dan Kompleks Produksi” “di Kiev.
image
The vehicle-mounted passive electronic long range monitoring radar system KOLCHUGA
Indonesia juga mengunjungi “Zaporozhye State Aircraft Repair Plant” MiGremont yang memodernisasi dan perbaikan MiG-25, Su-27, Su-17, Su-25, Su-17 dan semua modifikasinya, komponen dan sistemnya.
“Ukroboronprom” menegaskan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam tender penyediaan peralatan, termasuk radar untuk Angkatan Udara kebutuhan Indonesia.
Selama ini “Ukroboronprom” telah bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Perusahaan ini telah menyelesaikan beberapa kontrak – ke negara-negara Asia untuk memasok peralatan lapis baja dan penerbangan, dan layanan untuk memperbaiki dan meng-upgrade senjata. 

(Ukroboronprom.com.ua).

Robot Burung Flapping Wing Untuk Misi Pengintaian Tersamar

IMG_20141215_134054
Burung besar.

Ada banyak cara untuk melakukan misi pengintaian secara remote dari udara, mulai dari pemanfaatan drone (UAV) hingga quadcopter yang teknologinya secara terbatas telah dikuasai di dalam negeri. Tapi di luar drone ala Wulung UAV dan quadcopter yang dikembangkan Dislitbang TNI AD, ada lagi wahana pengintaian yang jauh lebih unik, pasalnya wahana jenis ini dirancang persis menyerupai burung. Bukan hanya mirip pada desain, cara kerjanya juga mengandalkan kepakan sayap untuk terbang, inilah yang disebut Robot Terbang Flapping Wing (RTFW).
Adopsi robot burung sudah beberapa waktu lalu menjadi program prototipe yang dirancang Dittopad (Direktorat Topografi Angkatan Darat) dengan Universitas Surya. Dengan wujud burung elang, wahana intai ini dapat terbang sembari menyamarkan identitas aslinya. Meski masih berupa prototipe, robot burung ini telah dihadirkan dalam beberapa varian. Seperti diperlihatkan dalam Pameran Alutsista TNI AD 2014, terdapat jenis burung sedang, burung besar, burung mini, dan kumbang. Dimensi dan besarnya burung tentu berpengaruh pada fleksibilitas, jarak jangkau, dan sensor yang dibawanya. (Gilang Perdana)

Burung Sedang
  • Rentang Sayap : 130 cm
  • Panjang torso : 72 cm
  • Bahan frame : carbon fiber
  • Baterai : 2S 1.500 mAh Lithium Polymer
  • Motor : 30 Ampere ESC dengan fasilitas hard break 2X9 gram servo untuk gerakan roll dan pitch ekor.
  • Komunikasi : radio control 2.4 Ghz
  • Kamera : FPV mini DV camera 30 fps (frame per second) – 720×480 pixels.
  • Lama terbang : 10 menit
Burung sedang
Burung sedang
Dilengkapi dengan kamera intai.
Dilengkapi dengan kamera intai.

Burung Besar
  • Rentang Sayap : 188 cm
  • Panjang torso : 80 cm
  • Berat : 650 gram
  • Frekuensi kepakan : 3 – 5 Mhz
  • Bahan frame : carbon fiber dan duralium
  • Sensor : akselerometer, giroskop, dan magnetometer
  • Baterai : 2S 2.200 mAh Lithium Polymer
  • Motor : 30 Ampere ESC dengan fasilitas hard break 2X9 gram servo untuk gerakan roll dan pitch ekor.
  • Komunikasi : radio control 2.4 Ghz
  • Kamera : FPV mini DV camera 30 fps (frame per second) – 720×480 pixels.
  • Lama terbang : 10 menit
    Jarak jelajah : 2 km
Remote control
Remote control
Burung Mini
  • Rentang sayap : 42 cm
  • Panjang torso : 82 cm
  • Frekuensi kepakan : 30 Hz
  • Berat : 23 gram
  • Bahan frame : plastik dan steroform
  • Baterai : lithium polymer 1 cell
Kumbang
  • Dimensi : 13,5 x 5 x 3 cm
  • Berat : 13 gram
    Frekuensi kepakan : 30 Hz

Indomil.

Senin, 29 Desember 2014

Battle of the Amphibs (bag.2)

Dari segi kemampuan, harus diakui bahwa ShinMaywa US-2 adalah rajanya operasi amfibi dengan kemampuan STOL (Short Take Off and Landing) yang mengagumkan, terutama ke dan dari permukaan air. Dengan kemampuan STOL tersebut, ShinMaywa menjadi sangat versatile, dapat memanfaatkan alur dan badan air yang sempit seperti sungai dan danau yang lebih pendek dibandingkan dengan Be-200. Kemampuan angkut airnya untuk operasi pemadaman api juga lebih tinggi, 15 ton air dan retardant, yang artinya dibutuhkan sorti yang lebih sedikit atau kualitas utilitas yang lebih tinggi yang berujung pada efisiensi biaya operasional.


Kemampuan ShinMaywa US-2 untuk beroperasi dari kondisi laut yang diamuk gelombang tinggi menjadi titik kritis, mengingat tipikal lautan di Indonesia Timur yang cenderung bergelombang tinggi pada bulan-bulan tertentu. Ini tentu saja akan menjadi kelemahan bagi Be-200 yang hanya sanggup mendarat pada perairan dengan tinggi gelombang maksimal 1,2 meter, yang tentu berpotensi mengaramkan ide mimpi penggunaan pesawat amfibi untuk penegakan hukum di lautan.

Di sisi lain, walaupun sepintas ShinMaywa US-2 masih menggunakan mesin turboprop, ternyata untuk kecepatan jelajah masih bisa mengimbangi Be-200, dengan selisih hanya 70-80 km/ jam. Itupun dibayar lunas dengan jarak operasi ShinMaywa US-2 yang dapat mencapai 2x lipat dari jarak jelajah yang dapat dicapai oleh Be-200. Terbang lebih jauh, lebih lama, dan endurance tinggi, bukankah ini yang dicari apabila pesawat amfibi hendak dijadikan sebagai pesawat patroli maritim?

Stall speed US-2 yang sangat rendah, hanya 90 km/ jam, sehingga handling dan stabilitas US-2 juga lebih baik. US-2 yang menggunakan empat mesin juga memiliki margin of safety yang lebih baik untuk operasi di lautan, dimana kerusakan satu mesin masih dapat dibackup oleh tiga mesin lainnya dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan operasinya. Bandingkan dengan Be-200 yang hanya memiliki dua mesin. Kehilangan satu mesin berarti hilangnya 50% power, yang berakibat fatal apabila tidak ada pangkalan terdekat untuk recovery.

Jika Be-200 bisa memukul balik, itu ada pada faktor daya angkut yang lebih tinggi, karena US-2 membutuhkan space besar untuk memasang sistem waterjet untuk spray supressor yang mencegah air terhisap oleh mesin. Be-200 dapat membawa komplemen pasukan setara satu kompi, cocok jika TNI AU bercita-cita membawa Paskhas bersenjata lengkap untuk menangkapi kapal penangkap ikan ilegal, walaupun secara teknis Paskhas tidak menguasai ilmu VBSS (Visit Board Search Seizure) yang merupakan keahlian asasi pasukan khusus dari TNI AL seperti Kopaska.

Be-200 juga memiliki banderol harga yang murah. Dalam sistem pengadaan alutsista yang mengutamakan harga yang murah, murah, dan murah sebagai prioritas, Be-200 dapat memenangkan persaingan walaupun secara performa mayoritas lebih inferior dari US-2. Namun patut juga diingat, belajar dari India yang mengakuisisi US-2, Jepang rela membagi kontrak offset nyaris 50% dari nilai kontrak senilai 1,65 miliar USD, plus ditambah seluruh pesawat akan dirakit dalam lini perakitan di India. Ini berarti merupakan transfer of technology yang sangat berarti, bukan yang sekedar memenuhi persyaratan UU Indhan. Apalagi Jepang sebagai negara donor selama ini dikenal kooperatif dan dapat diajak bicara mengenai proyek-proyek yang sifatnya strategis. Bukan tak mungkin tawarannya jauh lebih baik daripada India yang baru-baru ini saja mesra dengan Jepang.

Sementara bercermin dari pengadaan alutsista udara Rusia sebelumnya, kita sebagai negara mendapatkan apa sebagai imbal baliknya? Adakah transfer teknologi ke industri dirgantara dalam negeri yang berarti?


 
ShinMaywa sang Penakluk Samudera

Pembuktian kemampuan ShinMaywa US-2 yang melampaui spesifikasi pabriknya terjadi pada 21 Juni 2013, saat JMSDF (Japan Maritime Self Defense Force) menerima relay sinyal SOS dari yacht Eorasu Issue. Dua penumpangnya yaitu Jiro Shinbo (57) dan Kapten Mitsuhiro Iwamoto (46) menghadapi kondisi darurat ketika yachtnya menabrak karang dan terbalik. Keduanya mencoba menaklukkan rekor perjalanan lintas pasifik, dimana Iwamoto yang tuna netra ingin mencatatkan sebagai penyandang disabilitas yang memecahkan rekor lintas pasifik.

Jiro Shinbo yang bekerja sebagai pembawa berita dan Kapten Iwamoto berhasil mengeluarkan sekoci, namun dengan segera terombang-ambing ombak ganas akibat badai taifun yang mendekat. JMSDF yang menerima relay dari JCG (Japan Coast Guard) segera mengirimkan P-3C Orion ke posisi terakhir yang dilaporkan. Setelah P-3C menemukan sekoci tersebut, barulah ShinMaywa US-2 dikirim dari Atsugi.

Sorti pertama gagal karena kondisi ombak yang sangat ganas. Sorti kedua yang mendekati lokasi juga melaporkan hal yang sama, ombak setinggi empat meter, dengan angin bertiup kencang mencapai 40 knot. Kapal milik JCG bahkan tidak dapat mendekat saking tingginya ombak. Situasinya genting, dimana taifun yang mendekat berpotensi membawa celaka bagi kedua korban di dalam sekoci tersebut.

Kondisi semakin buruk saat hari menjelang sore. Dengan matahari mulai tenggelam di ufuk Barat, angin akan semakin menghebat. Pilot dan awak ShinMaywa US-2 dengan cermat menghitung segala kemungkinan dan peluang yang mereka miliki. Dengan ketelitian dan keberanian menjurus nekat, pesawat disejajarkan dengan sangat hati-hati ke arah gelombang dan didaratkan di tengah amukan gelombang. Badan pesawat bak meloncat ketika lambung pesawat menyentuh permukaan air. Sistem Boundary Layer Control pada US-2 dipaksa bekerja ekstrim pada kecepatan angin yang menggila, merusakkan satu mesinnya. Tak sempat memikirkan mesin yang rusak, awak US-2 dengan segera mengevakuasi sekoci, yang selesai pada pukul 18.15. Di tengah angin kencang, ShinMaywa US-2 berhasil lepas landas dengan kondisi kerusakan pada satu mesin (OEI- One Engine Inoperative) dan mendarat di Atsugi pada pukul 22.30.

ARC. 

Battle of the Amphibs (bag.1)

Rencana menggebu-gebu dari TNI AU yang menawarkan akuisisi pesawat amfibi Be-200 kepada Presiden Jokowi untuk menangkap kapal penangkap ikan ilegal perlu disikapi dengan bijak dari segala sisi.Hal ini wajar, karena sudah lama TNI AU tidak lagi mengoperasikan pesawat amfibi. Banyak hal sudah berubah, baik dari spesifikasi alutsista yang mau dibeli, maupun dari sisi operasi penegakan hukum di laut, yang saat ini baru mulai dibenahi dengan pembentukan Bakamla.
 
ARC sendiri tidak hendak berpolemik, tapi cukup mengajukan satu pertanyaan yang menggelitik: Benarkah Be-200 Altair adalah pesawat amfibi terbaik? Ini mengingat pesawat amfibi belum pernah terdengar dalam rencana pengembangan jangka menengah maupun panjang TNI AU.
Be-200 sendiri cukup ‘mission proven’ setelah disewa untuk operasi pemadaman kebakaran hutan di Kalimantan. Di sisi lain, Be-200 bukan satu-satunya pesawat amfibi yang operasional di dunia. RRC memiliki Harbin SH-5, Jepang pun memiliki ShinMaywa US-1 dan US-2. Jepang secara aktif menawarkan ShinMaywa US-2 dalam gelaran IndoDefence 2012, sementara belum kedengaran niatan RRC menawarkan SH-5.

Baru-baru ini India menyatakan minat dan setuju untuk mengakuisisi 18 ShinMaywa US-2, menjadikannya calon operator pesawat amfibi terbesar di dunia, dengan imbal berupa offset dan lini produksi di India.  ShinMaywa US-2 sukses mengkanvaskan Be-200 yang juga turut dipresentasikan ke India dalam lawatan operasionalnya.
Jadi, Be-200 Altair vs ShinMaywa US-2, siapa yang terbaik? Yuk kita sigi perbandingan spek keduanya!



























ARC>

Nasib Pangkalan Rahasia Belanda di Melak

 
melak-kutai-barat
Salah satu jalan utama di Melak. Kuta Barat, Kaltim (Foto: ceritasonay.wordpress.com)
Balikpapan  – Komandan Pangkalan TNI AU Balikpapan, Kalimantan Timur, Kolonel (Pnb) Zulfahmi berjanji memberikan perhatian prioritas terhadap bekas pangkalan udara rahasia Belanda di Melak, Kutai Barat. “Saya akan meneruskan apa yang sudah dimulai pejabat sebelumnya,” kata Kolonel Zulfahmi, Sabtu. 27/12/2014.
Kolonel Zulfahmi menggantikan pejabat sebelumnya Kolonel (Pnb) Tri Budi yang pindah tugas ke Makassar sebagai Asisten Personel Komando Operasi Angkatan Udara II di Pangkalan Udara Hasanuddin. Adapun serah terima jabatan Danlanud Balikpapan telah dilaksanakan pada Kamis (24/12) lalu.
Dengan pesawat udara jenis T-50, Kolonel Tri Budi sebagai Danlanud Balikpapan beberapa kali mendarat di bekas pangkalan udara rahasia Belanda tersebut dan menggelar pertemuan dengan masyarakat.
Saat ini, pangkalan udara itu menyisakan dua landasan udara yang kondisinya masih cukup bagus. Kondisi itu berbeda dengan sejumlah bangunan yang dulunya perkantoran, barak, hanggar, dan gudang amunisi.
Dalam gudang amunisi juga tersimpan sejumlah bom yang masih aktif, meskikpun kondisinya sudah berkarat dan tampak tua.
Selain lahan yang ditumbuhi semak dan kelihatan tidak terurus, pada lahan bekas pangkalan itu ada masyarakat yang mencoba membangun rumah. Bahkan, menurut Kolonel Tri Budi, ada yang berusaha memperjualbelikan tanah pangkalan itu.
“Masalah itu yang akan kami tertibkan semua,” kata Kolonel Zulfahmi, yang sebelumnya bertugas di Pangkalan Udara Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur, sebagai Kepala Dinas Operasi.
Sejumlah catatan dari Perang Dunia II menyebutkan pangkalan udara rahasia Belanda di Melak tersebut bernama Samarinda II Airfield.
Pangkalan ini dibangun Belanda di antara Melak dan Long Iram, tidak jauh dari tepi Sungai Mahakam pada tahun 1936 dan mulai beroperasi 1938. Melak dan Long Iram sekarang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Kutai Barat.
“Itu pangkalan besar, ada 2 runway (landasan pacu) dan diawaki 500 personel,” ujarnya.
Pada tahun 1936, Belanda menggunakan pangkalan itu sebagai antisipasi bila terjadi perang dan seluruh pangkalan udara lain dihancurkan musuh. (Antara).

Menanti Datangnya K9

Jika Amerika Serikat memiliki artileri howitzer swagerak 155mm andalan M109 Paladin, Korea Selatan punya K9, kendaraan artileri swagerak yang tak kalah bagusnya. Pada K9 lah korps Artileri TNI AD melirik dan mempersiapkan akuisisinya. Masa-masa realisasi pembangunan kekuatan TNI yang mengacu kepada MEF (Minimum Essential Force) Renstra I memang sudah hampir paripurna, dengan sebagian besar alutsista yang dipesan sudah mulai berdatangan. Korps Artileri TNI AD sendiri kebagian 37 unit howitzer berbasis truk CAESAR dari Perancis senilai USD 141 juta dan 36 unit sistem artileri roket ASTROS senilai USD 405 juta dari Brasil. Ini berarti Korps Artileri TNI AD bisa memodernisasi dan membentuk 4 batalyon artileri swagerak, diluar sejumlah meriam tarik 105mm Kh-178 dan 155mm Kh-179 yang dibelinya dari Korea Selatan.


Di luar perkiraan, di tengah masa transisi pemerintahan hasil Pemilu 2014, TNI ternyata tak lantas berhenti dan mengambil napas. MEF Renstra 2 yang sudah di ambang pintu perlahan-lahan mulai mengemuka. Alutsista pilihan dan berkualitas kembali disasar untuk menjaga kedaulatan dan meningkatkan wibawa di antara Negara kawasan. Satu yang dilirik untuk semakin memperkuat Korps Artileri TNI AD adalah sistem artileri swagerak berpenggerak roda rantai (tracked). Sistem semacam ini hanya dimiliki oleh sedikit Negara. Yang paling mendominasi, tentu saja adalah M109 Paladin yang begitu laku dan dipergunakan hampir sebagian besar Negara NATO. Inggris memiliki AS90, dan Jerman Barat menggunakan Panzer Haubitze (PzH) 2000.
Korps Artileri TNI AD memang sangat butuh penyegaran untuk urusan artileri swagerak berbasis roda rantai. Pasalnya, AMX-13 AUF1 105mm yang dimiliki sudah amat terlalu uzur, pabriknya sudah bangkrut, dan suku cadangnya sudah tak lagi tersedia di pasaran. Untuk mendukung manuver gabungan dengan Kavaleri yang sudah dilengkapi MBT Leopard 2A4 dan Infantri mekanis yang sudah menggunakan Marder 1A3 dan Anoa sudah pasti kepayahan. Apalagi jarak jangkau meriamnya semakin terbatas.
Namun begitu, pemilihan kandidat sistem artileri swagerak harus dilakukan dengan sejumlah pertimbangan yang benar-benar matang. Soal pertama, apalagi kalau bukan hantu embargo di medio 1990an dan awal millennium baru. Jangan sampai alutsista berharga mahal harus mangkrak karena kelangkaan suku cadang, atau tidak bisa digunakan karena larangan Negara produsennya. Kedua, sistem yang dibeli tentu saja harus kompatibel dengan segala jenis munisi yang dipergunakan Korps Artileri TNI AD sendiri, mengingat TNI AD menggunakan amunisi yang berbeda-beda Negara produsennya walaupun kalibernya sama.
Yang terakhir, TNI AD tentu mengutamakan keseimbangan. Walaupun pemerintahan lalu percaya pada jargon kosong diplomasi zero enemy thousand friends, kenyataannya situasi geopolitik seringkali memaksa keberpihakan karena keadaan. Apabila kemudian keberpihakan tersebut dapat menimbulkan implikasi negatif bagi postur pertahanan Indonesia, TNI harus siap. Pengadaan alutsista dari multi Negara dianggap mampu menjadi solusi, walaupun berdampak kepada logistik dan suku cadang yang harus disiapkan untuk mendukung penggelaran alutsista.
Nah, dari sejumlah kandidat yang dievaluasi, K9 Thunder buatan Korea Selatan kemudian menyeruak sebagai kandidat yang memiliki kans terbesar untuk dieksekusi pembeliannya. Sistem artileri swagerak terbaru ini menawarkan keganasan meriam 155mm dalam sasis yang sepenuhnya dibuat oleh perusahaan Korea Selatan, Samsung Techwin. Dengan sejarah mesra dimana meriam howitzer TNI AD sebagian besar memang diakuisisi dari Korea Selatan, K9 bak melengkapi kebahagiaan. Apalagi K9 Thunder sudah pula menyandang predikat battle proven. Korps Artileri sendiri menargetkan akuisisi 2 yon tambahan sistem artileri berpenggerak rantai untuk memperkuat batalyon artileri medan TNI AD.

K9 Thunder, sang primadona baru
Korea Selatan sendiri sejak lama merupakan pengguna setia M109 Paladin. Tidak mau membeli mentah-mentah, Korea Selatan melisensi M109A2 sebagai K55 dan K55A1. Namun semakin berkembangnya teknologi, Korea Selatan semakin merasa ketinggalan. M109 Paladin sudah mencapai iterasi A6 dengan jarak jangkauan yang semakin jauh, sementara K55A1 sudah jelas kalah jarak. Rival beratnya Korea Utara sudah diketahui memiliki sistem artileri swagerak berbasis sasis tank Type-59 berkode M-1978 Koksan dengan meriam kaliber 170mm.

Untuk mempersempit selisih tersebut, Korea Selatan menugaskan Samsung Techwin (sebelumnya bernama Samsung Defense Aerospace) untuk mengembangkan sistem artileri swagerak sebagai komplemen, dan kelak pengganti, K55 pada 1989. Purwarupa pertama sudah ditampilkan pada 1994, dan pengujian lanjutan dilakukan sampai akhirnya dapat diterima oleh AD Korea Selatan pada 1998. Dengan kendaraan serial pertama masuk dinas aktif pada 2000an, boleh dikatakan usia K9 masihlah cukup muda.
K9 Thunder sendiri memiliki bobot nyaris dua kali lipat dibandingkan dengan K55. Namun soal mobilitas, boleh saja diadu. Dengan penambahan bobot tersebut, K9 dijanjikan memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh K55. K9 diawaki oleh lima orang kru: komandan, pengemudi, penembak, dan dua pengisi. Tugas pengisi dimudahkan dengan keberadaan sistem pengisi otomatis (autoloader) yang cukup kompleks. Diluar pengemudi yang memiliki palka tersendiri, keempat awak lainnya bisa keluar dari palka di atas kubah. Kalau ini dianggap terlalu tinggi, masih ada pintu rampa belakang, yang dibuka ke arah kanan dengan engsel.
K9 sendiri didesain untuk mampu membawa 48 butir peluru howitzer 155mm dan propelannya. Apabila kendaraan sudah kehabisan peluru, sudah menjadi tugas kendaraan K10 ARV untuk mengisinya. Berbeda dengan K9, K10 tidak dilengkapi dengan laras meriam. Sebagai gantinya, ada ‘belalai’ yang bertugas mengantarkan peluru yang akan diisi ke K9. K10 tinggal melakukan aksi docking dengan lubang pengisian yang ada di belakang kubah K9, dan peluru dihantarkan dari dalam kubah K10 ke dalam kompartemen peluru K9. Saat menerima proyektil isian dari K10, sistem rel pengisian otomatis akan membawa dan menyusun proyektil-proyektil tersebut ke tempatnya.

Soal wahana pengusung, K9 menggunakan sasis dengan penggerak roda rantai, dengan mesin diletakkan di sebelah kanan depan. Kombinasi ini memungkinkan kompartemen tempur sepenuhnya dapat dihuni oleh kubah dengan sistem pengisian amunisinya yang kompleks. K9 menggunakan mesin MTU 881 buatan Jerman, yang dipadukan dengan sistem transmisi otomatis Allison ATDX 1100-5A3 dengan empat gigi maju dan dua gigi mundur. Paduan mesin dan transmisi pada K9 tersebut mampu menyemburkan daya 1.000hp (735kW), yang diterjemahkan menjadi kecepatan 67km/ jam di jalanan mulus. Dengan rasio daya berbanding beban mencapai 21,7 hp/ ton, K9 boleh dikata cukup lincah dalam bergerak melintas medan, tidak kalah dengan Main Battle Tank modern yang harus diikutinya. Sekali isi tangki penuh, K9 dapat menempuh jarak sampai 480km.
Untuk mendukung penggelarannya, K9 dilengkapi dengan suspensi torsion bar dan kombinasi hidropneumatik pada keenam roda lincirnya, sehingga awaknya tidak akan cepat lelah saat bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Keunggulan lainnya, ketinggian kendaraan juga dapat diatur berkat penggunaan suspensi hidropneumatik tersebut, sehingga dapat disesuaikan untuk karakteristik medan yang dilewati. Apabila diperlukan, K9 juga dapat melakukan operasi mengarung (fording) sampai kedalaman 1,5 meter tanpa persiapan khusus.
Meriam howitzer 155mm pada K9 sendiri diletakkan pada struktur kubah tertutup, yang tentu saja merupakan satu keunggulan tersendiri dan tuntutan pada situasi pertempuran yang dinamis. Dibandingkan dengan aset seperti meriam howitzer 155mm CAESAR yang sudah dibeli TNI AD, K9 lebih unggul karena seluruh sekuensial penembakannya dapat dilakukan dari dalam kendaraan, terlindung kubah baja yang mampu menahan impak fragmen artileri model airburst dan hantaman peluru 12,7mm. Meriamnya sendiri dapat didongakkan mulai dari -2,5o sampai 70o, yang diatur secara sistem, dan dapat dibawa berputar 360o bersama kubahnya. Meriam 155m L52 pada K9 dilengkapi dengan muzzle brake tipe slot untuk disipasi asap dan hentakan penembakan.
Satu keunggulan yang ditawarkan K9 soal amunisi adalah kesesuaian dengan standar NATO, karena Samsung Techwin menjamin bahwa meriam K9 sudah disesuaikan dengan JBMOU (Joint Ballistic Memorandum of Understanding). JBMOU merupakan kesepakatan antar Negara NATO yang menjamin kesamaan meriam, propelan, amunisi, dan sumbu munisi artileri yang digunakan sesame Negara NATO. Kompatibel dengan berbagai munisi 155mm buatan pabrikan Negara NATO maupun bukan, K9 mampu melontarkan tembakan sampai jarak 40km dengan munisi base bleed, yang diset propelannya pada setelan enam. Untuk munisi RAP (Rocket Assisted Projectile) dengan setelan propelan lima, jarak tembaknya bisa mencapai jarak 30km. Untuk munisi HE (High Explosive) standar NATO M107, jarak tembaknya adalah 17km Pemilihan amunisi tinggal dilakukan melalui layar LCD oleh penembak, sehingga hanya charges atau propelannya yang masih perlu diatur secara manual oleh pengisi.
Penembak sendiri dimudahkan tugasnya berkat keberadaan sistem kendali penembakan otomatis dan sistem navigasi bernama MAPS (Modular Azimuth Position System), yang berisi peta digital yang dapat menerima pasokan data melalui datalink. Berbagai sensor seperti angin dan suhu udara yang dapat mempengaruhi trayektori juga diperhitungkan. Dengan dukungan komputasi otomatis tersebut, K9 sudah siap digelar dan siap menembak hanya dalam 30 detik setelah kendaraan dalam posisi berhenti, atau 60 detik dihitung dari perintah diberikan saat K9 masih berjalan. Meriam howitzer 155mm pada K9 memiliki kecepatan tembak 3-5 butir peluru setiap jeda 15 detik, atau 5-6 peluru/ menit selama tiga menit terus menerus.
Dengan kemampuannya yang setara atau melebihi M109A6 Paladin, tidak mengherankan apabila K9 banyak dilirik oleh Negara lain. Turki bahkan sudah bergerak cepat, melisensi K9 sebagai T-155 Firtina (Badai). Turki membeli 300an T-155, dengan membuat sendiri sistem kendali penembakan, modifikasi kubah, dan sistem navigasi yang dibuat sendiri oleh perusahaan lokal seperti Aselsan dan Havelsan. Sebanyak 300 unit dari pesanan T-155 tersebut akan dibuat oleh 1st Army Maintenance Center Command di Adazapari, Turki.
In Action: Battle Proven!

Walaupun Korea Selatan dan Utara secara resmi berada dalam status gencatan senjata, bukan berarti K9 Thunder hanya duduk diam dan digunakan pada saat latihan saja. Pada 23 November 2010, Korea Utara melakukan provokasi dengan menembakkan ratusan proyektil artileri berupa roket dan Howitzer ke pulau Yeonpyeong yang ada di Yurisdiksi Korea Selatan. Korea Selatan, yang saat itu sedang melaksanakan latihan bersandi Hoguk di pulau Yeonpyeong dan Baengnyeong dianggap memprovokasi Korea Utara dan menantang perang. Puluhan munisi hidup berdaya ledak tinggi terbang melintasi lautan, memotong garis demarkasi Northern Limit Line dan menuju Yeonpyeong.
Kegilaan Korea Utara berujung pada kehancuran berbagai sarana sipil dan juga korban jiwa. Dua orang sipil dan dua prajurit tewas, puluhan lainnya terluka. Dalam dua gelombang serangan yang dilancarkan dari propinsi Hwanghae, proyektil artileri dan roket 122mm dari Kaemori berjatuhan di kamp militer Korea Selatan, dan lebih banyak lagi menghantam pemukiman, pertokoan, dan kantor pemerintah, menimbulkan kepanikan dan kebakaran hebat.
Korea Selatan sendiri secara organik menggelar satu batalion K9 yang terdiri dari tiga baterai, masing-masing berkekuatan 6 unit K9. Yeonpyeong dijaga oleh satu kompi yang berkekuatan satu baterai K9. Serangan dadakan dan bertubi-tubi dari Korea Utara yang begitu masif berhasil melumpuhkan dua unit K9. Empat yang tersisa dengan segera diperintahkan menembak balik, tetapi satu dengan segera menghadapi kendala karena satu proyektil macet dan berhenti di tengah laras, menyebabkannya tidak mampu beraksi.
Dengan hanya tiga K9, tembakan balasan dilancarkan ke area Mudo, tempat posisi meriam, barak dan markas pasukan Korea Utara berada. Setelah menembakkan puluhan proyektil, sasaran bergeser ke Kaemori, lokasi baterai roket 122mm Korea Utara melancarkan serangannya. Secara total, Korea Selatan menembakkan 80 butir munisi 155mm, dalam adu artileri terhebat dan paling dahsyat setelah gencatan senjata yang menandai berakhirnya Perang Korea pada 1953. Sayangnya, karena sukar melakukan BDA (Battle Damage Assesment), sulit bagi Korea Selatan untuk mengetahui kehancuran yang diderita oleh Korea Utara. Begitupun, Korea Selatan mengklaim 5-10 prajurit Korea Utara tewas dan 30 lainnya terluka, berdasarkan informasi pembelot Korea Utara yang merupakan mantan prajurit artileri di Kaemori.

Yang jelas, pasca balas-membalas artileri di Yeonpyeong tersebut, para kru K9 benar-benar disiagakan untuk menghadapi pertempuran berikutnya. Setiap prajurit artileri dibagi dalam tiga kali giliran jaga di dalam kabin K9 mereka, walaupun barak sebenarnya hanya 100-200 meter jauhnya. Pokoknya begitu proyektil pertama Korut mendarat, K9 sudah harus bisa membalas tembakan. Satu instalasi radar ARTHUR (Artillery Hunting Radar) juga dipasang, untuk mendeteksi sumber dan azimuth datangnya serangan. Sampai serangan berikutnya datang, gelegar K9 akan siap sedia melindungi Yeonpyeong dan seluruh Korea Selatan dari ancaman Korea Utara.

SPEK K9 THUNDER
Awak            : 5
Bobot            : 47 ton
Panjang        : 12 meter
Lebar            : 3,4 meter
Tinggi            : 2,73 meter
Kecepatan tembak    : 3 butir dalam 15 detik, 6-8 peluru/ menit (sustainable)
Mesin            : Diesel MTU MT 881 Ka-500 8 silinder berpendingin air, berdaya 1.000hp
Kecepatan maksimal    : 67 km/ jam


ARC. 

Perang Dua Turret

Kubah bermeriam besar ( 90mm ke atas) merupakan salah satu komponen sistem kesenjataan kendaraan tempur darat  yang menjadi fokus perhatian dewasa ini. Tidak mengherankan, mengingat ceruk pasar dan kebutuhannya besar.Kubah bermeriam besar menjadi fokus di tengah upaya militer banyak Negara untuk merampingkan postur angkatan daratnya untuk menciptakan satuan manuver yang ringan tetapi memiliki daya pukul besar. Alasan yang mendasari bisa banyak, terutama soal dana dan anggaran. Sejak berakhirnya Perang Dingin, Negara-negara Eropa terutama yang ada dalam NATO telah mengurangi budget militernya secara masif. Perawatan alutsista konvensional macam MBT (Main Battle Tank) boleh dikatakan sangat mahal, dan akan lebih mahal lagi biaya yang dibutuhkan untuk menggelarnya ke berbagai trouble spot di luar daratan Eropa yang secara tradisional divisikan sebagai medan pertempuran saat menghadang Uni Soviet. Bayangkan saja, untuk mengirim MBT ke Afghanistan seperti yang dilakukan oleh Kanada dan Denmark, mereka harus menyewa pesawat angkut raksasa An-124 Ruslan, itupun satu sorti hanya dapat menampung maksimal dua unit MBT.


Sebagai akibatnya. angkatan bersenjata Eropa seperti Belanda, Swiss, dan Belgia memensiunkan armada Main Battle Tank dan menggantinya dengan kendaraan tempur yang dilengkapi dengan sistem kubah bermeriam besar. Ada yang memilih platform berpenggerak roda, ada yang masih nyaman dengan penggerak rantai untuk wahana pengusungnya. Tidak ada kategorisasi yang jamak dan baku untuk tipe kendaraan bermeriam tank ini. Ada yang menyebutnya tank destroyer, ada yang memasukkannya dalam Fire Support Vehicle, dan ada pula yang memilih menyebutnya Medium Tank, seperti proyek joint development medium tank yang baru diluncurkan oleh Pindad dan FNSS Turki dalam Pameran Indo Defence 2014. Kesemuanya memanfaatkan hull/ sasis kendaraan tempur yang diperkuat, dengan alasan biaya pengembangannya dapat ditekan dan biaya perawatan untuk kendaraan dalam satu platform tentunya akan jauh lebih murah.

Melihat pasar yang semakin berkembang, pabrikan senjata besar dunia kini tidak lagi memilih untuk menawarkan satu ranpur utuh. Banyak pabrikan kini menawarkan kubah dengan sistem modular, siap didudukkan ke ranpur manapun yang dibuat atau dibeli oleh Negara pengguna, selama spek hull tersebut kompatibel dengan requirement minimum. Alasannya simpel: membuat hull jauh lebih mudah dibandingkan dengan membuat kubah yang dipenuhi sistem canggih termasuk meriam, sensor dan sistem penggerak meriam dan kubah yang tidak sembarang Negara dapat membuatnya. Kalau tidak memiliki basis produksi dengan miniaturisasi dan peralatan presisi, niscaya akan sulit, belum lagi kemampuan meracik bahan baku berkualitas tinggi. Ini adalah merupakan jalan yang ditempuh untuk mewujudkan tank medium untuk TNI AD.

Saat ini tim TNI AD dan Departemen Pertahanan sedang mengkaji pilihan kubah dan meriam terbaik untuk tank medium Indonesia, dan CT-CV 105HP dan OTO Melara santer disebut-sebut sebagai kandidat kuat untuk digunakan sebagai opsi untuk mempercepat pengembangan Medium Tank Indonesia. Maklum saja, dengan target desain dasar sudah harus selesai pada 2016, akan cukup sulit untuk membangun medium tank dari nol. Langkah paling cepat adalah membangun hull bersama, kemudian dikawinkan dengan solusi kubah yang sudah tersedia di pasaran. Penulis tidak hendak menghakimi siapa yang menang dari apa, karena jalannya pertarungan masih akan panjang. yuk sigi bareng fitur, keunggulan, dan kelemahan masing-masing produk!

OTO Melara HITFACT

OTO Melara sudah lama terkenal sebagai pembuat meriam terkenal. Produknya diakui dan digunakan banyak Angkatan Laut dunia. Maka ketika mereka melansir produk kubah OTO HITFACT (Highly Integrated Technology Firing Against Combat Tanks), harapan besar pun disampirkan ke pundaknya. HITFACT merupakan sistem kubah modular yang dipilih untuk pengembangan ranpur penghancur tank Centauro varian 1B, yang mengusung kanon 120mm menggantikan kubah lama dengan kanon 105mm.

Versi pertama dari HITFACT digunakan oleh Centauro yang dibeli oleh AD Oman, juga sudah menggunakan meriam 120mm. Belajar dari pelanggan mereka, OTO Melara menawarkan HITFACT dalam dua varian, 105 dan 120mm. Yang menarik, OTO Melara mengonsepkan HITFACT sebagai sistem yang tumbuh dengan banyak opsi. Kalau mau murah, yang disediakan hanya kubah, sistem penembakan, dan meriam. Kalau mau lebih komprehensif disediakan lagi opsi pemasangan RCWS (Remote Controlled Weapon System) Hitrole sehingga awaknya lebih aman saat harus berhadapan dengan ancaman infantri atau helikopter serang.

Apabila melongok ke dalam kubah HITFACT, pembaca akan melihat layout kubah konvensional. Ya, HITFACT memang masih menggunakan format komandan, juru tembak, dan pengisi peluru, tanpa menggunakan sistem isi otomatis (autoloader). OTO Melara tengah mengembangkan varian kubah dengan sistem pengisian peluru otomatis. Seluruh tubuh kubah dibuat dari bahan alumunium, dan dapat ditingkatkan dengan penggunaan applique armour model bolt on untuk meningkatkan perlindungan kubah sampai STANAG4569 Level 4 atau mampu menahan impak peluru 14,5mm.

Komandan duduk di sebelah kiri meriam, sementara juru tembak dan pengisi duduk di sebelah kanan. Pengisi meriam diposisikan di belakang juru tembak, agar dapat mengakses kompartemen peluru di bagian bustle dan memasukkannya ke dalam kamar peluru. Kompartemen amunisi di bustle dilindungi oleh dinding tahan api, jadi apabila bagian ini tertembak, resiko kebakaran di kompartemen tempur dapat ditekan. Resiko kebakaran lebih dapat ditekan lagi karena HITFACT juga menggunakan sistem elektrik untuk perputaran kubahnya, sehingga lebih halus dan tidak berisik saat diputar.

Walaupun terpisahkan oleh meriam, komandan tetap dapat melihat tampilan yang tersaji di sistem bidik juru tembak berkat display LCD yang terhubung ke sistem bidik juru tembak. Untuk membantunya awas terhadap keadaan sekitar, di sekeliling palka komandan dipasangi sembilan periskop prismatik untuk melihat ke arah luar. Untuk mencari sasarannya, komandan dilengkapi sistem bidik/ kamera panoramik Selex ES Atilla yang distabilisasi dan mampu berputar secara independen dari putaran kubah. Atilla terdiri dari kamera digital dengan pembesaran 10x, kamera termal Erica FF dan sistem laser rangefinder untuk mengukur jarak ke sasaran.

Sementara untuk juru tembak disediakan sistem bidik terstabilisasi Selex ES Lothar-S yang berisi kamera termal generasi ketiga Tilde-A untuk memburu sasaran pada kondisi minim cahaya atau dalam cuaca buruk. Juru tembak juga memiliki akses ke optik bidik konvensional sebagai cadangan apabila sistem elektronik mengalami kerusakan.

Yang menarik, sistem kendali penembakan pada HITFACT dibuat modular dan dengan arsitektur terbuka. Ini memungkinkan HITFACT untuk diupgrade dengan sistem terbaru apabila diinginkan oleh pengguna tanpa harus mengucurkan investasi yang besar. Sistem kendali penembakannya sendiri terdiri dari komputer balistik, sensor meteorologi (cuaca, angin, kelembapan), sensor kemiringan kendaraan dan sudut elevasi meriam, dan yang terpenting, meriamnya juga distabilisasi dalam dua sumbu sehingga memampukan penembakan sambil bergerak. Apabila diinginkan, sistem LWR (Laser Warning Receiver) dapat dipasang sebagai opsi sehingga awak tahu saat kendaraan dibidik oleh ATGM musuh, dan dapat meluncurkan perlindungan berupa tabir asap.

Opsi lainnya yang disediakan untuk HITFACT adalah sistem manajemen informasi dan pertempuran SICCONA (Sistema di Comando, COntrollio e NAvigazione – Komando, kontrol, dan navigasi) yang merupakan sistem BMS (Battlefield Management System) buatan OTO Melara. Fungsi-fungsi seperti pemetaan posisi kawan, penentuan rute/ waypoint, dan pemberian perintah untuk manuver dapat dilakukan melalui SICCONA sampai ke level batalion.

Bicara soal sistem kesenjataan, HITFACT mampu dipasangi dua jenis meriam: 120mm L45 dan 105mm L52. Meriam OTO Melara 120mm L45 smoothbore setara dengan meriam Rheinmetall L44, namun diracik khusus dengan teknik untuk mengurangi gaya hentak (recoil) yang dicapai melalui dua hal: modifikasi pada recoil travel atau gerak meriam ke belakang yang lebih jauh pada saat dihentak oleh penembakan (+/- 700mm pada 120mm L45 vs 330mm pada 120mm L44) dan pemasangan muzzle brake model biji merica (pepper pots) pada sepuluh kuadran yang masing-masing memiliki lima lubang. Modifikasi ini mampu menurunkan hentakan kanon 120mm sehingga mendekati gaya hentakan munisi kanon 105mm. Kemampuan penetrasi dari kanon 120mm L45 tersebut mampu menembus pelat RHA setebal 600mm dari jarak 3.000m dengan amunisi tipe APFSDS (Armor Piercing Fin Stabilised Discarding Sabot) yang sesuai. Untuk mengurangi resiko asap mesiu penembakan kembali ke kompartemen tempur, meriam 120mm L45 pada HITFACT juga sudah dilengkapi dengan bore evacuator.

Kalau kanon 120mm dianggap terlalu berlebih, HITFACT juga dapat dipasangi meriam 105mm L52 yang beralur dan galangan (rifled) yang merupakan turunan dari meriam Royal Ordnance L7 standar tank-tank NATO pada era 1970an-1980an. Meriam 105mm menawarkan daya gebuk yang masih trengginas, dengan biaya pembelian amunisi yang tentunya masih lebih murah dibandingkan dengan munisi 120mm. Dengan kemampuan penetrasi 460mm pada jarak 2.000m, meriam 105mm masih mampu menghajar MBT dari arah samping, dan tentunya seluruh jenis ranpur dari kelas di bawahnya.

Sebagai senjata pertahanan, tersedia pelontar granat asap 76mm sebanyak 8 unit yang dapat dikendalikan secara manual atau otomatis (apabila terhubung dengan sistem LWR). Untuk komandan disediakan senapan mesin 7,62mm atau 12,7mm yang dapat dilengkapi dengan perisai, begitu pula untuk juru tembak. Saat ini, selain terpasang pada Centauro 1B yang sudah berdinas aktif, OTO HITFACT sudah diujicoba pada ranpur Pandur dan juga Marder Revolution.

SPEK OTO HITFACT
Kaliber            : 105/120mm
Awak            : 3 orang (komandan, juru tembak, pengisi)
Kecepatan tembak    : 6 peluru/ menit
Bobot kosong        : 6 ton
Elevasi meriam        : -3 o sampai dengan 15o

CMI Cockerill CT-CV 105HP

Konglomerasi CMI Groupe yang menaungi bisnis pertahanan melalui CMI Defence adalah salah satu pemain dengan banyak solusi sistem kubah untuk berbagai kendaraan tempur. Melalui kerjasama erat dengan PT Pindad yang sudah mulai melisensi perakitan kanon CSE90LP untuk Panser Kanon Badak, CMI sudah memiliki pijakan yang cukup baik dalam pertarungan bisnis alutsista di Indonesia.

Satu andalan CMI untuk kanon kaliber besar adalah kubah CT-CV 105HP (High Pressure) yang mampu memuntahkan munisi 105mm standar NATO, berkat penggunaan meriam 105mm rifled (beralur dan galangan) yang mengadopsi kanon 105mm Royal Ordnance L7. Hanya bedanya, kanon Cockerill 105HP menggunakan muzzle brake tipe single baffle atau lubang tunggal, berguna untuk mengurangi sentakan gaya tolak balik yang dirasakan kendaraan.

Namun begitu, CMI yang memiliki pabrik baja modern mampu menerapkan metode autofrettage alias perlakuan tekanan maha besar secara merata dalam proses pembuatan laras, sehingga meriam yang terpasang pada kanon Cockerill 105HP pada kubah CT-CV memiliki tahanan tekanan maksimal sebesar 120% dari yang dimiliki oleh meriam L7 standar. Hal ini berarti CT-CV 105HP dapat digunakan untuk melontarkan munisi yang menghasilkan tekanan lebih besar (dengan mesiu khusus), untuk menghasilkan kecepatan luncur proyektil yang lebih besar pula. Kecepatan yang lebih besar akan bermanfaat untuk meningkatkan daya penetrasi, khususnya pada munisi APFSDS.

Yang juga hebat pada sistem kubah dan meriam Cockerill 105HP adalah kemampuan elevasi kanon yang mencapai +42o. Kalau rekan ARC sering menyigi info yang beredar, pasti tahu spek apa yang diinginkan oleh tim Joint Development. Ini berarti FSV atau pembawa akan mampu melayani tembakan lawan dari ketinggian, atau memberikan tembakan bantuan lintas lengkung melewati perbukitan atau pegunungan. Ini berarti unit Kavaleri sebagai pengguna medium tank tidak akan terlalu tergantung pada dukungan artileri pada saat memasuki arena pertempuran, dan benar-benar dapat menjadi penggempur yang sangat efektif. Jarak tembak maksimal untuk tembakan lintas lengkung mencapai 8-10km dengan amunisi HE.

Kanon Cockerill 105HP sendiri dinyatakan telah mampu (cleared) untuk menembakkan segala jenis munisi 105mm NATO, jadi bagi Negara yang sebelumnya telah memakai tank lawas dengan kanon 105mm masih dapat memanfaatkan stok amunisi mereka. Walaupun rata-rata Negara Barat telah beralih ke kanon 120mm, kanon 105mm masih memiliki potensi yang cukup besar. Daya penetrasi munisi yang mencapai 500-560mm RHA masih mampu menjebol tank sekelas T-72M1 (tanpa perlindungan balok ERA) dari arah frontal. Dari sisi, hampir seluruh MBT masih cukup rentan terhadap ancaman munisi 105mm NATO. Yang paling patut diingat, biaya akuisisi munisi 105mm hanya sepersepuluh sampai seperlima munisi 120mm. Ini tentu faktor yang cukup menentukan, mengingat utilisasi kendaraan tempur berkanon besar (bagi sebagian besar Negara) akan lebih difokuskan pada latihan untuk mempertahankan profisiensi dibandingkan saat berperang.

Di luar keunggulan pada kualitas laras yang digunakan, sesungguhnya CMI mendesain CT-CV secara spesifik dengan memfokuskan pada bobot kendaraan pengusung. Desain yang efisien dari kubah CT-CV memampukannya untuk ditanam pada kendaraan dengan GVW (Gross Vehicle Weight) kelas 18 ton ke atas. Ini artinya panser kanon sekelas Piranha, LAV III, Pandur, atau Rosomak mampu mengusung kubah CT-CV 105HP. Sistem kubahnya sendiri dibuat secara modular, dengan kemampuan standar proteksi NATO 4569 STANAG 3 (7,62x51mm AP, 150 meter). Ada opsi applique plate yang dapat dipasang sesuai kebutuhan untuk meningkatkan proteksinya sampai ke level STANAG 4 dan bahkan ke STANAG 5 (25mm NATO AP) sehingga mampu bertahan dari serangan kendaraan tempur dengan kanon tembak cepat.

Untuk konfigurasi awak, berbeda dengan HITFACT, CMI memutuskan menggunakan dua awak saja, plus sistem autoloader. Penggunaan sistem pengisian ulang otomatis sesungguhnya memang memiliki faktor plus dan minus. Bagi pendukungnya, sistem autoloader akan memangkas jumlah awak dan tentunya logistik yang diperlukan untuk menggelar FSV/ medium tank ke palagan. Yang kedua, komandan atau juru tembak tinggal memilih amunisi yang dibutuhkan melalui komputer, dalam hal ini layar sentuh pada CT-CV 105HP, tanpa resiko salah memasukkan, atau kru pengisi tidak dapat melakukan tugasnya karena terluka misalnya. Bagi yang pro dengan sistem pengisian manual, fakta bahwa jumlah amunisi tersedia lebih banyak juga sukar dibantahkan. Belum lagi kru pengisi dapat bertindak sebagai awak cadangan dan juru radio yang meringankan kerja komandan kendaraan.

Terlepas dari hal tersebut, CMI menjamin bahwa sistem autoloader yang terpasang pada CT-CV 105HP dapat diandalkan. Seluruh peluru juga disimpan dalam bustle di bagian belakang kubah yang dilindungi dengan dinding penahan api(Firewall). Amunisi diisikan pada bustle dari luar tank, dengan membuka pintu baja pada sisi belakang bustle. Pengisian satu persatu dari dalam kendaraan juga memungkinkan, walau waktu yang diperlukan tentu lebih lama. Tersedia 15 slot untuk beragam jenis peluru yang dapat berputar dengan sistem revolver. Satu sistem sabuk rantai akan membawa amunisi yang dipilih, dibawa keluar oleh nampan dari bustle ke arah kamar peluru.

Biarpun kanon Cockerill 105mm High Pressure sangat trengginas untuk menggasak tank dan ranpur, tak dipungkiri bahwa penggunanya tidak bisa memilih lawan di medan pertempuran, alias mungkin saja bertemu MBT mutakhir yang dilengkapi dengan sistem perlindungan reaktif macam ERA dan NERA. Untuk menghadapi ancaman semacam ini, CMI dan pabrikan GKSTB Luch dari Ukraina bekerjasama menciptakan rudal berpemandu laser Falarick (nama tongkat sakti dalam mitologi Irlandia) yang merupakan GLATGM (Gun Launched Anti Tank Guided Missile). Ukraina memang sudah paham dengan sistem rudal berpemandu laser, memanfaatkan teknologi hasil pengembangan Uni Soviet.

Falarick memiliki garis genealogi yang sama seperti rudal R-2 Baryer dari Ukraina, yang nantinya direncanakan juga akan terpasang pada ranpur BTR-4 yang dibeli oleh Korps Marinir TNI AL. Teknologi Falarick yang digunakan sama seperti pada ATGM yang diluncurkan dari laras meriam macam 9M119M, yaitu sinar laser yang disorotkan dari kendaraan penembak ke arah sasaran, dan rudal tinggal mengikuti. Rudal Falarick sendiri dibuat untuk dapat ditembakkan dari laras 90mm ataupun 105mm. Memiliki panjang 1 meter dan bobot 20kg, Falarick saat terbang distabilkan oleh sirip-sirip dan rudder alumunium yang terpasang di belakang (total 8 buah), dan rudal berotasi pada sumbunya saat diluncurkan. Pada saat masuk di laras, sirip ini akan terlipat dan akan terbuka begitu keluar dari laras.

Pada saat diujicoba, Falarick yang ditembakkan dari jarak 3,9km dapat mengenai sasaran standar NATO dengan menempuh waktu selama 14 detik. Dengan hululedak HEAT (High Explosive Anti Tank) ganda, Falarick dikatakan mampu menembus pelat baja RHA yang dilindungi oleh balok reaktif ERA setebal 500mm, ini setara dengan ketebalan glacis T-72M1. Kelemahannya, sama seperti GLATGM era Soviet, kendaraan benar-benar harus dibuat dalam keadaan diam. Sedikit pergerakan akan mengakibatkan rudal berbelok atau malah kehilangan panduan laser. Penembak mengendalikan Falarick dengan menggunakan joystick ganda, mirip pada sistem kemudi pada pesawat terbang. Retikula akan tersaji pada layar LCD di hadapannya, dan penembak tinggal berkonsentrasi menjaga agar retikula tetap berada pada sasarannya.

Untuk kubah, LCTS90 menerapkan format yang sama seperti CSE90LP, komandan duduk di kiri dan penembak di kanan. Layout dalam kabin terasa lega karena tidak lagi ditemui panel-panel dengan lingkaran indikator analog. Baik komandan maupun juru tembak memiliki akses terhadap segala informasi kendaraan melalui dua layar MFID (Multi Function Information Display). Informasi atas kondisi kendaraan, pemilihan jenis amunisi, mengarahkan laras meriam, semua dilakukan dengan melihat pada layar MFID.

Bedanya antara MFID komandan dan juru tembak hanya pada susunan MFID tersebut, dimana pada komandan dua layar tersusun vertikal, sementara pada juru tembak  tersusun horizontal. Komandan memiliki akses penuh terhadap sistem pembidik pada juru tembak, sehingga koordinasi mudah dilakukan. Apabila CT-CV 105HP ditambah opsi RCWS (Remote Controlled Weapon System), komandan juga yang mengoperasikannya. Sistem RCWS buatan CMI mampu mengakomodasi senapan mesin sedang 7,62mm, senapan berat 12,7mm, sampai pelontar granat 40mm.

Penembak memiliki kamera bidik dengan kamera termal terstabilisasi. Bedanya, di atas blok kamera bidik dipasang kotak pemandu laser untuk sistem rudal Falarick. Sementara untuk komandan disiapkan sistem kamera panoramik yang independen, sehingga komandan dapat bertindak sebagai pemburu, semua tinggal dilakukan dengan menggerakkan joystick. Kalau kondisi kurang cahaya atau malam hari, tinggal nyalakan fitur kamera termal, sehingga lawan yang bersembunyi pun mudah ketahuan.

Sistem kendali penembakan (Fire Control System) sudah mengadopsi komputer balistik dan sensor seperti kemiringan kendaraan, sudut elevasi meriam, tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan, suhu udara, dan tentu saja laser rangefinder, kurang lebih sama seperti yang dipergunakan pada MBT modern. Dengan meriam distabilisasi pada dua sumbu, CT-CV 105HP dapat ditembakkan saat kendaraan bergerak pelan, sehingga mengurangi kemungkinan FSV/ tank pengguna terkena tembakan lawan.

Untuk melindungi diri dari ancaman, CMI sudah menyediakan banyak perangkat pelindung. Ada sistem pelontar granat 76mm untuk menciptakan tabir asap, ada sistem LWR (Laser Warning Receiver) untuk memperingatkan awak atas ancaman iluminasi ATGM lawan, dan ada sistem filter Nubika untuk pertempuran dalam medan yang terkontaminasi. Untuk ancaman infantri, CT-CV 105HP juga sudah dilengkapi senapan mesin koaksial kaliber 7,62x51mm NATO dengan 2.000 butir amunisi.

SPEK CMI Cockerill CT-CV 105HP
Meriam        : Cockerill 105 High Pressure L51
Kaliber            : 105mm NATO
Awak            : 2 orang (komandan, juru tembak)
Kecepatan tembak    : 5-6 peluru/ menit
Gaya recoil puncak    : < 150kn
Elevasi meriam        : -10 o sampai dengan 42o
SPEK Falarick 105
Jarak maksimum    : 5.000m
Waktu terbang        : 17 detik
Sistem pandu        : semi-otomatis dengan laser
Hululedak        : tandem hollow charge
Penetrasi        : 550mm RHA di belakang ERA
Bobot            : 25,2kg
Panjang        : 1.015mm
Suhu operasional    : -40 sampai 60oC

ARC. 

Pengadaan Alutsista TNI AL, Antara Harapan dan Kenyataan (2)

changbogo class submarine
Mengembalikan taring sebagai “Macan Asia” dalam tempo relatif singkat tentu bukan pekerjaan mudah, apalagi dengan kondisi pendanaan yang relatif memadai namun ngepas. Bila dicermati untuk pengadaan alutsista TNI AL, secara umum telah sesuai spesifikasi untuk membawa TNI AL ke arah green water navy.
Hanya saja patut dicermati proses pengadaan alutsista kadang memakan waktu yang berlarut-larut, sebagai contoh rumitnya proses pembelian kapal selam hingga akhirnya diputuskan membeli 3 unit Changbogo Class. Lamanya proses negosiasi tersebut menjadikan kekuatan Siluman Bawah Laut TNI AL masih merana dan terbelakang di banding Malaysia, Singapura, dan Australia.
Bila negara tetangga sudah menikmati laju frigat modern, maka TNI AL pun masih dalam status memanti rampungnya frigat/PKR (Perusak Kawal Rudal) SIGMA 10514. Setelah nanti kapal datang pun, belum ada jaminan spesifikasi senjata yang diusung bakal sesuai rencana awal. Sementara, saat ini Singapura, Malaysia dan Australia sudah mengoperasikan kelas kapal frigat. Dewasa ini, kekuatan pemukul TNI AL masih dipercayakan pada kapal di kelas korvet tanpa kehadiran kanon reaksi cepat model CIWS (Close In Weapon System). Adanya rudal jelajah supersonic Yokhont buatan Rusia di frigat Van Speijk memang mampu memberi efek getar, namun harus diakui efek getarnya terasa hambar, pasalnya hanya satu jenis Van Speijk TNI AL (KRI Oswald Siahaan 354) yang dipasangi rudal tersebut.
Menyadari kondisi geografis sebagai negara kepulaan terbesar di Dunia, TNI AL juga nampak menggenjot keberadaan armada kapal patroli dan armada kapal cepat. Guna menambah gigi, Satuan Kapal Cepat TNI AL akan kedatangan 16 unit KCR60, 16 unit KCR40, dan 4 unit KCR Klewang Class yang sudah di order. Tumpuan kekuatan kapal cepat kini bersandar pada 14 unit armada FPB-57 dan 4 unit KCR Mandau Class. Namun, karena alasan efisiensi penggunaan BBM, hanya Mandau Class buatan Korea Selatan yang layak menyandang kapal cepat sejati. Pasalnya jenis kapal FPB-57, KCR40, dan KCR60 dengan mesin diesel ‘standar’ hanya sanggup memacu kecepatan maksimum 30 knot. Sementara standar kapal cepat idealnya mampu ngebut antara 30 – 40 knot.
Fpb-57-indo-801
Ujicoba penembakan rudal Yakhot dari KRI Oswald Siahaan 354
Ujicoba penembakan rudal Yakhot dari KRI Oswald Siahaan 354

Pekerjaan rumah masih terbentang luas, setelah kapal-kapal baru TNI AL meluncur, masih ada tahapan untuk melengkapinya dengan sistem senjata, sistem sensor dan radar agar kapal benar-benar siap dan layak tempur. Tak sekedar kapal asal jadi yang hanya ditakuti para pencuri ikan. Dan kembali ke judul tulisan, kesemua aktivitas terkait alutsista secara langsung terkait dengan proses pengadaan yang harus transparan dan berkualitas.

Procurement Alutsista Libatkan Banyak Pihak
Ada banyak institusi yang dilibatkan dalam pengadaan alutsista TNI. Pihak-pihak tersebut terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim perumus kontrak. Organisasi induk beranggotakan Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan, Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Secara umum, organisasi ini memiliki tugas menentukan kebijakan program pengadaan dan rencana kebutuhan alutsista, monitoring dan proses pengadaan alutsista TNI tersebut.
Untuk pengawasan dilakukan oleh pihak Irjen Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi Pertahanan dan Dirjen Perencanaan Pertahanan. Adapun pejabat pembuat komitmen dilakukan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Jadi dengan melibatkan banyak pihak, maka sangat kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI. Selain pihak internal Kemhan dan TNI, pihak-pihak lain seperti Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa berkoordinasi dalam proses pengadaan alutsista. (Haryo Adjie)

Minggu, 28 Desember 2014

Mengapa Pengadaan Roket MLRS Astros II Untuk TNI AD Diributkan?

astros II MK6


Presiden SBY, Menhan Poernomo Saat masih Menjabat dan Astros II MK6 (worlddefence news.com)


Lebih sepuluh hari penulis mengamati pemberitaan yang menyangkut masalah pengadaan roket multi peluncur MLRS (multi-launcher rocket system) asal Brasil yang diberitakan beberapa media tanah air, karena menyangkut besarnya pengadaan yang mengaitkan antara Kemenhan, DPR RI, TNI AD serta Kementerian Keuangan. Penulis mengumpulkan beberapa fakta dan mencoba mengulasnya, karena roket tersebut adalah salah satu alutsista andalan TNI. Ramainya pengadaan MLRS tersebut mirip dengan pengadaan Tank Leopard tahun lalu, dimana beberapa pihak menilai tidak tepat karena MBT (Main Battle Tank) itu bisa merusak jalan. Penulis juga pernah menuliskan soal tank hebat itu (Baca: "Arti Penting Tank Leopard bagi TNI AD", http://ramalanintelijen.net/?p=4794).

Awal Muasal Pemberitaan Miring MLRS  
Media yang pertama memunculkan soal MLRS asal Brasil adalah Jakarta Post (JP), edisi tanggal 11 Desember 2014 dengan judul "House turns blind eye to dubious deal." Pada Headline News, disebutkan bahwa Komisi-I DPR RI benar telah menerima laporan dari Irjen Kementerian Pertahanan yang menyatakan bahwa telah terjadi kelebihan pengeluaran anggaran (overspent) dalam pembelian sistem roket multi-peluncur (MLRS) dari Brasil Avibras Industria Aeroespacial pada pertengahan 2012, sekitar US $ 134,9 juta dari harganya yang sebesar US $ 405 juta. JP menyebutkan bahwa Irjen Kemenhan (Laksdya TNI Sumartono) yang kini sudah pensiun menulis laporan kepada Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin pada bulan April dan Juni 2012, menandai beberapa pelanggaran dalam proses pengadaan di Kemenhan. Dalam laporan tersebut diantaranya disebutkan olehnya bahwa keputusan untuk memilih Avibras telah melanggar instruksi presiden dan peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPP). Avibras, menurutnya tidak bisa memenuhi spesifikasi teknis yang dibutuhkan dalam tender pengadaan ("the company could only provide seven of the required 38 ammunition supply vehicles and two of the seven mobile workshop vehicles required to support MLRS). Irjen juga menyatakan bahwa TNI AD telah bernegosiasi dengan Avibras, yang bermitra dengan PT Poris Duta Sarana untuk mengamankan kesepakatan tersebut. 

Tanggapan Pejabat Terkait  
Tanggapan Kemhan. Pemberitaan tersebut telah dibantah oleh Letjen TNI Ediwan Prabowo (Sekjen Kemhan) yang pada tahun 2012 saat berlangsungnya proses pengadaan MLRS masih menjabat Dirjen Baranahan, (sebagai Sekjen saat itu Marsdya TNI Eris Herryanto), Wamenhan Letjen Syafrie Samsoedin, dan Menhan Poernomo Yusgiantoro. Ediwan menyatakan bahwa berita tersebut dimunculkan di publik karena ada pihak yang kalah dalam bersaing. Ditegaskan oleh Ediwan bahwa keputusan Kemenhan memilih Multiple Launch Rocket System (MLRS) Avibras Brazil mengutamakan spektek dengan harga kompetitif bukan sekedar beli yang murah. “Aspek spektek lebih utama dari pada mencari harga murah tapi kurang optimal,” katanya dalam keterangan tertulis kepada media, Rabu (17/12). Ediwan juga mengatakan bahwa yang digunakan TNI adalah Alutsista yang sudah teruji, sehingga siap digunakan. Untuk itulah, setiap pembelian selalu disertai dengan uji coba. Dalam pengadaan roket sejenis tercatat pihak Roketsan (Turki) menjadi kompetitor Avibras Brasil. Dikatakan selanjutnya, MLRS Avibras dinilai berkemampuan dan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh Roketsan. Avibras sudah teruji dalam pertempuran, memiliki kapasitas multi-kaliber, memiliki cakupan yang lebih luas dan daya hancur besar, serta dapat diangkut dengan pesawat C-130 Hercules. Tanggapan Mabes TNI. Kapuspen TNI , Mayjen TNI Fuad Basya, menegaskan ada pihak yang tidak menyukai semakin kuatnya Alutsista militer Indonesia. Faktanya, ketika TNI memiliki peluncur roket jarak jauh, ada yang menuding pengadaan persenjataan ini bermasalah. "Saya rasa ini adalah pihak yang tidak suka dengan semakin kuatnya kami," kata Fuad, Minggu (14/12).
astros-ii-foto-avibras
astros-ii-foto-avibras Penembakan Astros II MLRS (sumber : defence.review.com)

Tanggapan Kepala Staf TNI AD. KSAD Jenderal TNI Gatot Nurmantyo ikut menanggapi pemberitaan soal pengadaan MLRS asal Avibras Brazil, mengatakan, "Saya yakin sangat yakin kemampuan MLRS Astros II pabrikan Brazil lebih bagus dari MLRS buatan Rokestan asal Turki," ungkapnya di Jakarta (Kamis, 18/12). Keyakinan itu didasari atas hasil uji coba MLRS. Alutsista tersebut sudah diujicoba secara berkesinambungan. Prosedur ini menurutnya adalah keniscayaan. Selanjutnya menyebutkan, "Setiap persenjataan yang dibeli Angkatan Darat adalah persenjataan yang sudah lebih dulu diuji di pertempuran atau sudah teruji di medan tempur," tegasnya. Gatot menegaskan, yang dibutuhkan terkait Alutsista adalah spesifikasi tekhnis (Spektek). Kemampuan, akurasi, daya ledak menjadi ukuran yang utama. "Jadi bukan soal mahal atau tidaknya," jelasnya. Peran HLC (High Level Committee) dalam pengadaan Alutsista TNI. HLC terbentuk sesuai petunjuk Presiden SBY setelah serangkaian rapat kabinet bidang politik, hukum, dan keamanan sepanjang tahun 2011 yang membahas pengadaan alutsista. Dibentuk sebagai pendorong pengadaan alutsista TNI. HLC diketuai oleh Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan TKP3B yang dipimpin Irjen Kemhan dimana didalamnya ada Tim BPKP dan LKPP serta Tim Itjen Angkatan dan Mabes TNI. Dalam rapat-rapat Kabinet bidang politik, hukum, dan keamanan tahun 2011 yang membahas alutsista, pemerintah memutuskan bahwa pemenuhan kebutuhan alutsista TNI diarahkan untuk mencapai kekuatan dasar minimum atau minimum essential force (MEF). Dalam proses pengadaan MLRS Astros II , proses pengadaan berasal dari bawah yakni TNI AD sebagai pengguna/user, menyangkut spesifikasi teknis, yang kemudian masuk sebagai kebutuhan operasi dari Mabes TNI, lalu ke Kementerian Pertahanan. Kemudian Kemhan memrosesnya melalui Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) dibawah Sekjen Kemhan, saat itu Marsdya TNI Eris Herriyanto, dengan membuatkan kontrak dan perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dari Kementerian Keuangan, untuk kemudian pencabutan tanda bintang di DPR. Letjen Sjafrie sebagai Ketua HLC, bersama rombongan pada bulan November 2012 pernah berkunjung ke Brasil, yakni ke Avibras (produsen roket) dan Embraer (produsen pesawat Super Tucano untuk TNI AU). Sjafrie bersama rombongan melihat dan berdiskusi langsung dengan para produsen alutsista itu tanpa perantara. Untuk cara kerjanya, Syafrie menjelaskan kepada media di Brasil (14/11/2012) bahwa HLC berupaya mempercepat pengadaan alutsista prioritas, yaitu akselerasi, paralelisasi (pengadaan dan pembiayaan), integrasi (Kementerian Pertahanan dan TNI), koordinasi, dan inspeksi (kunjungan ke produsen).  

Perbandingan MLRS Altros II Brasil dengan T-122/300 Roketsan Turki

Dalam membandingkan antara ASTROS II MK6 buatan AVIBRAS Brazil dengan T-122/300 buatan ROKETSAN buatan Turki yang menarik adalah hasil penelitian oleh Pusat Artileri Medan TNI AD (Mayor Art Rico Ricardo Sirait, BS, Pusen Armed, Garuda Militer). Danpussenarmed selaku user Alutsista MLRS dan pembina fungsi kecabangan Armed memperhatikan aspek teknis keunggulan dan kelemahan dari masing-masing Alutsista guna mendapatkan sistem senjata yang terbaik. Semua data dan fakta serta spesifikasi teknis yang tercantum dalam perbandingan ini dibuat berdasarkan proposal penawaran dan presentasi penyedia dalam rapat TEP Pengadaan Alutsista MLRS di Kemhan RI pada tanggal 5 April 2012. 
Dari perbandingan teknis diperoleh gambaran Alutsista yang memiliki kehandalan tinggi, adaptabilitas terhadap karakteristik daerah operasi di Indonesia, daya tahan terhadap cuaca dan medan geografis Indonesia serta mendukung kegiatan operasional dan taktis TNI AD. Secara mendalam aspek persyaratan operasional, spesifikasi teknis serta konfigurasi yang telah ditawarkan dalam proses pengadaan, akan dibahas sebagai aspek perbandingan yang utama. Dari aspek persyaratan operasional, ditinjau dari faktor adaptability (kemampuan adaptasi), ASTROS II memungkinkan untuk dapat diangkut oleh pesawat Hercules C-130 ke trouble spot di wilayah NKRI. Dari faktor sustainability (kemampuan daya tahan). kemampuan teknis yang dimiliki oleh ASTROS II pada pressurized cabin mampu untuk melindungi awaknya dari pengaruh senjata kimia dan biologi. Selain itu, pengalaman AVIBRAS sebagai produsen ASTROS sejak tahun 1983 dalam bidang pemeliharaan dan penyediaan suku cadang telah membuktikan bahwa produk AVIBRAS masih memiliki kemampuan operasional 90 persen setelah kurun waktu penggunaan selama 25 tahun (ASTROS MK2 milik Angkatan Darat Saudi Arabia). 
Sementara pihak ROKETSAN menawarkan alih teknologi pengembangan roket dengan basis kemampuan yang dimiliki oleh Roketsan saat ini. Teknologi roket yang dimiliki oleh ROKETSAN merupakan alih teknologi yang diterima pada era tahun 1980-an pada saat pengembangan Roket WS-1 milik Cina. Perkembangan teknologi roket saat ini sudah jauh lebih modern dibandingkan dengan teknologi roket WS-1. Sehingga perlu kajian yang lebih mendalam apabila Indonesia akan menerima tawaran alih teknologi dari ROKETSAN. Sedangkan alih teknologi yang ditawarkan AVIBRAS yaitu peningkatan kapabilitas Rantis ANOA buatan PT. PINDAD jauh lebih realistis untuk dicapai serta dapat meningkatkan standar produksi Nasional ke jenjang yang lebih tinggi. Faktor interoperability (kemampuan operasional yang terintegrasi dengan fungsional lainnya). Kemampuan joint interability atau joint operational dihadapkan dengan ketersediaan sistem manajemen pertempuran yang dapat diintegrasikan dengan sistem Komando dan Kendali yang dimiliki oleh TNI AD saat ini. 
Faktor Reliability, merupakan faktor kehandalan Alutsista MLRS yang dibutuhkan (needs) dihadapkan dengan asumsi kemampuan dan kekuatan militer asing yang akan dihadapi. Pada faktor ini, ASTROS II memiliki kemampuan yang lebih unggul pada jarak capai roket, teknologi multi kaliber, daya hancur (firepower), dan teknologi interchangeable antar platform Ranpurnya. Hal penting lainnya adalah kemampuan Combat Proven / teruji di medan pertempuran merupakan salah satu faktor kehandalan yang dipersyaratkan oleh TNI AD. Dengan terujinya sistem senjata di medan pertempuran dapat menunjukkan bukti otentik bahwa sistem senjata tersebut memiliki kapabilitas yang handal pada kondisi perang sesungguhnya. Altros II MLRS sudah teruji dan dipergunakan oleh Arab Saudi dalam medan tempur. Pada tahun 2012 saja, ASTROS sudah digunakan di 5 negara di dunia sejak generasi I tahun 1980an, sedangkan produk ROKETSAN yang terjual dalam jumlah lebih dari 200 unit bukanlah produk yang ditawarkan kepada Indonesia khususnya penggunaan teknologi sealed composite pod pada munisi roket 300 mm yang masih pada tahap uji coba. 
Pada aspek kemampuan mobilitas udara, T-122/300 perlu modifikasi khusus dengan melaksanakan prosedur pelepasan beberapa bagian besar platform. Hal ini menunjukkan bahwa T-122/300 tidak memenuhi persyaratan operasional TNI AD untuk dapat dimobilisasi ke seluruh wilayah NKRI dalam waktu relatif singkat. Jika dibandingkan secara umum dapat terlihat secara nyata bahwa teknologi yang digunakan oleh ASTROS II dan T-122/300 merupakan generasi yang berbeda. ASTROS II jauh lebih unggul secara teknologi dan kemampuan teknis ditinjau dari inovasi dan kapabilitas yang dimiliki. Launcher ASTROS II sudah compatible untuk digunakan meluncurkan roket taktis dengan jarak capai 300 km. Ketersediaan munisi latihan ASTROS II dapat digunakan dengan mekanisme tembakan dan pada platform yang sama. Sedangkan munisi latihan ROKETSAN akan menggunakan munisi kaliber 70 mm buatan PT. DI yang masih dalam tahap pengembangan sehingga belum dapat menjamin tercapainya tujuan latihan untuk meningkatkan kemampuan personel TNI AD pada pelaksanaan penembakan Roket sesungguhnya. 
Untuk aspek konfigurasi yang ditawarkan, ROKETSAN memiliki keunggulan dalam pemenuhan konfigurasi yang diharapkan oleh TNI AD dari segi kuantitas. Namun, secara kualitas perbandingan antara Alutsista ASTROS II dengan T-122/300 tidak bisa disetarakan mengingat perbedaan teknologi yang digunakan. Inovasi teknologi dan kehandalan kemampuan ASTROS berada di generasi setingkat diatas T-122/300 sesuai dengan aspek spesifikasi teknis sebelumnya. Keunggulan kualitas AVIBRAS meliputi teknologi munisi container launcher yang memberikan fleksibilitas tinggi dalam penggunaan munisi berbagai kaliber sesuai kebutuhan. Kemampuan daya hancur terhadap personel dan materiil lapis baja munisi ASTROS II didukung oleh penggunaan teknologi sub munisi sehingga mampu melipatgandakan efek kehancuran daerah sasaran serta mampu menembus baja dengan ketebalan hingga 200 mm. Itulah beberapa informasi yang merupakan executive summary perbandingan teknis antara ASTROS II MK6, AVIBRAS dengan T-122/300, ROKETSAN yang dibuat oleh panitia pengadaan dari sisi Pusen Armed TNI AD. Kesimpulannya Astros II jauh lebih unggul dan spesifikasi tehnisnya lebih mendekati seperti yang ditetapkan oleh pengguna (TNI AD). 

Analisis dan Kesimpulan
Kasus pengadaan MLRS Astros II yang diberitakan oleh media pada akhir 2014 ini adalah merupakan pengangkatan kembali laporan yang dibuat Irjen Kemhan pada tahun 2012. Memang sulit membandingkan Alutsista tempur yang dibuat oleh pabrikan yang berbeda. Nampaknya harga kedua roket dari sumber yang berbeda itu berbeda cukup besar. Penegasan dari Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang menyatakan bahwa pemilihan alutsista tersebut lebih didasarkan kepada spesifikasi tekhnis (spektek), kemampuan, akurasi, daya ledak menjadi ukuran yang utama. "Jadi bukan soal mahal atau tidaknya." Kini TNI bisa mengimbangi negara tetangga (Malaysia) yang juga memiliki 54 MLRS Astros II untuk Tentera Darat. Indonesia tercatat membeli 36 (9 Baterai) Astros II, pembelian ini merupakan balance of power di kawasan. Negara lain adalah AD Brasil 20 Astros II (5 Baterai), Irak 66 Astros II, dan Arab Saudi 76 Astros II. Dari pengalaman penulis dalam penugasan di Dephan (Kemhan) selama tiga tahun sebagai staf ahli dan penasihat Menhan, persaingan dalam pengadaan alutsista adalah suatu hal yang wajar dan selalu terjadi, karena masing-masing produsen termasuk agen berusaha dan berlomba-lomba memasarkan dan mensukseskan barang dagangannya laku dengan segala cara. 
Bisnis senjata bukan bisnis yang murah, jelas bisnis raksasa yang menggiurkan, sehingga ada saja cara yang mencoba memengaruhi para pejabat. Yang penting adalah niat dari para pembesar itu, jangan sampai tergelincir, karena rakyat makin pintar mengawasi, semua hanya menunggu waktu untuk membuat laporan. Sudah ada kejadian beredarnya surat gelap yang melaporkan seorang pimpinan militer kepada pimpinan nasional. Demikian juga bagi para politisi di Senayan, jangan coba-coba mencari peluang mengatur sebuah pengadaan alutsista, semua sangat mungkin terbongkar pada masa kini dan mendatang. Presiden Jokowi kini sangat mungkin sewaktu-waktu meminta KPK mengusut kasus yang terindikasi korupsi, tidak sulit bagi presiden mendapatkan fakta yang dibutuhkan. Walau sudah pensiun bisa saja dilakukan pengusutan kepada para mantan pejabat, kalau ada indikasi korupsi terhadap uang negara. Bahkan pernah dilakukan pengusutan dan pengadilan kepada pejabat aktif Polri, Irjen Pol Djoko Soesilo (Kakorlantas) yang kini masih berada di dalam penjara. 
Penulis pernah mengulas soal korupsi dengan menggunakan referensi hasil skripsi dari Hasan Hambali (2005) yang dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu, "kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit." Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan (Baca : KPK semakin Berani, seberapa Sukses Pemberantasan Korupsi?, http://ramalanintelijen.net/?p=6066). Dengan demikian maka menurut Hambali, peran kekuatan politik di Senayan, hegemoni elit (agen dari produsen) serta penguasa akan saling terkait membentuk sebuah jaringan semu yang saling memeras, menekan tetapi juga saling menguntungkan. Semoga itu hanya terjadi pada masa lalu, dan masa kini dan kedepan akan semakin bersih. Pada waktu mendatang akan ada pemilihan pesawat pengganti pesawat tempur TNI AU F-5E Tiger II, ada beberapa kompetitor yang juga sedang mengincar. Nah, kita akan melihat persaingan yang jelas ramai. Sebaiknya seperti pemilihan Astros II MLRS yang lebih diberikan porsi besar memilih kepada TNI AD sebagai calon pengguna, pespur pengganti F-5 itu sebaiknya diberikan porsi yang lebih besar kepada TNI AU yang sangat faham akan kebutuhannya. Jangan sampai yang tidak faham, hanya karena tekanan politik misalnya, kemudian ikut menentukan alutsista yang kurang tepat. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net