Negara
manapun di dunia, tidak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau
demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan pokok atau
wajib bagi suatu negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya
pemanfaatannya dan juga pengendalian dari lembaga atau badan intelijen
itu sendiri. Di Indonesia, sosok dan wibawa intelijen memang pernah
sangat disegani khususnya di tahun awal 1967 sampai tahun 1969 yang
terkenal waktu itu dengan istilah “Opsus” di bawah Ali Moertopo (alm.)[1],
dan penilaian itu sampai sekarang juga masih kental walaupun sebenarnya
sudah terjadi banyak perubahan dalam tubuh lembaga intelijen di
Indonesia.[2]
Lembaga
intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan
September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat
Zulkifli Lubis[3] sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR[4] (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.
Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo[5] (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan
Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para
kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya,
ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti
pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han
(Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan
seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat
dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah
bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.
Dengan
organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim,
BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang
keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan
ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas
pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen
tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang
dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak
wilayah.
Akibat
adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan
sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur,
karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor
adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah.
Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi
kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki
kendali atas BI.
Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta[6], maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta[6], maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
BRANI
dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi
berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah
tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang
menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik,
misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi
diperluas kepada intelijen politik dan strategis.
Ketidaksukaan
Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian
melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin[7],
yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk
lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga
intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya
memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang
terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan
laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga
intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan
Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di
BRANI.
Pada
masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik
dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti
dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen
Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional.
Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang
berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang,
dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang
berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel
Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli
Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari
terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948[8].
Satu
dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi
eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya
konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana
Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946.
Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A,
yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan
kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak
menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Setelah
perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya,
KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian
Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk
BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan
informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer.
Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen
(BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan
karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen
militer seperti BISAP dan IKP.
[8]
Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 atau Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa
Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan
diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18
September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis
Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir
Sjarifuddin. Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan
Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru
peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Forum Intel.
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme
Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar
Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Baca sambungan: Edisi 2
[1]
Ali Moertopo atau yang bernama lengkap Letnan Jenderal (purn.) Ali
Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang berperan
penting terutama pada masa Orde Baru di Indonesia. Beliau pernah
menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983) serta Deputi
Kepala (1969-1974) dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi
Intelijen Negara. Beliau lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tanggal 23
September 1924 dan meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 1984.
[2] Riyanto,”Intelijen vs Teroris di Indonesia.” (Jakarta: Penerbit PT Toko Gunung Agung Tbk), hal 11.
[3]
Zoelkifli Loebis sebelumnya mendapatkan pendidikan intelijens militer
Nakano, Jepang sebagai bagian dari pendidikan PETA yang diikutinya.
Lihat Stephen C.Marcado, The Shadow Warriors of Nakano (Washington DC:
Brassey’s, Inc.,2002), h.239.
[4]
Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuklah suatu wadah rakyat pejuang
dengan sebutan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Lembaga ini bukan merupakan
suatu Tentara Kebangsaan melainkan bagian dari Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKKP). Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah meresmikan
BKR sebagai badan keamanan dari Republik Indonesia dan berganti nama
menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
[5] Tepat pada ulang tahun Kaisar Jepang, 29 April 1943, didirikan organisasi pemuda bernama Seinendan yang dipimpin di bawah Gunseikan. Tujuannya melatih dan mendidik pemuda agar mampu menjaga dan mempertahankan tanah air. Persyaratan menjadi Seinendan adalah pemuda yang berusia 14 tahun - 23 tahun. Anggota Seinendan diberikan pelatihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun menyerang. Sebagai Pembina bertindak Naimubu Bunkyoku (Departemen Urusan Dalam Negeri bagian Pengajaran, Olahraga dan Seinendan). Pimpinan eksekutif di daerah Syu adalah Syucokan sendiri, sementara daerah yang tingkatnya di bawah Syu, kepala daerahnya menjadi pimpinan langsung Seinendan. Seinendan tidak hanya dibentuk di desa, sekolah tapi juga di pabrik-pabrik atau perumahan. Pada Oktober 1944 dibentuk Josyi Seinendan (Seinendan putri). Untuk mensukseskan Seinendan, Jepang memperluas Seinen Kunresyo (lembaga latihan pemuda) menjadi Cuo Seinen Kunrensyo (Lembaga Pusat Latihan Pemuda).
[6]
Pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan KLB
(Kereta Luar Biasa), pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan
ibukota. Meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan
Belanda di Jakarta.
[7]
Amir Sjarifoeddin Harahap yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada
tanggal 27 April 1907 adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri
dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir
Sjarifoeddin merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah
koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat
Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo). Pada tanggal 19 Desember 1948, di dekat desa
Ngalihan, Solo, Jawa Tengah, seorang Letnan Polisi Militer (sebuah
satuan khusus dalam TKR) menembak kepala Amir Sjarifuddin dengan pistol
karena Amir Sjarifuddin diduga terlibat dalam peristiwa Madiun.
Forum Intel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar