KRI Teluk Gilimanuk 531
Dalam gelar operasi pasukan, TNI AU mengandalkan sosok pesawat angkut
berat C-130 Hercules. Sebaliknya di lingkungan TNI AL juga punya wahana
penghantar pasukan dalam skala besar, khususnya dalam operasi amfibi,
yang dimaksud adalah jenis kapal LST (landing ship tank) dan LPD (landing platform dock).
Dan, karena tugas-tugasnya yang terkait operasi pendaratan amfibi, baik
LST dan LPD di lingkungan TNI AL dinaungi oleh Satuan Kapal Amfibi
(Satfib), yang terdiri dari Satfib Koarmabar dan Satfib Koarmatim.
Dari sisi daya muat perlengkapan yang dibawa, termasuk kapasitas
mengangkut pasukan marinir, LPD memang jauh lebih unggul dibanding LST
TNI AL yang ada saat ini. Tapi dari segi kuantitas, unit LPD TNI AL
masih terbatas, hingga kini ada 5 kapal, yaitu KRI Dr. Soeharso, KRI
Makassar, KRI Surabaya, KRI Banjarmasin, dan KRI Banda Aceh. Sementara
untuk menunjang misi operasi amfibi dalam skala besar dan beragam tugas
operasi militer bukan perang, LST masih menjadi yang paling dominan.
Dan, memang dari segi jumlah, LST TNI AL jumlahnya cukup besar, yaitu 26
unit yang terdiri dari berbagai kelas, termasuk Kelas Teluk Semangka (KRI Teluk Semangka). Dipadang dari segi kuantitas, rasanya TNI AL merupakan operator LST terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Bicara lebih spesifik tentang LST di Satfib TNI AL, tentu tidak bisa
dilepaskan dari keberadan Frosch Class (LST kelas Frosch) buatan Jerman
Timur. Alasannya jelas, jumlah Frosch class mencapai 14 unit, artinya
kapal ini adalah tipe LST yang paling banyak dioperasikan TNI AL. Agar
tak asing, satu per satu kami sebutkan Frosch class TNI AL yaitu:
- 531 Teluk Gilimanuk 1976/94 PAC ex-611
- 532 Teluk Celukan Bawang 1976/94 PAC ex-632
- 533 Teluk Cendrawasih 1977/94 PAC ex-613
- 534 Teluk Berau 1977/95 PAC ex-634
- 535 Teluk Peleng 1978/93 PAC ex-632
- 536 Teluk Sibolga 1977/93 PAC ex-612
- 537 Teluk Manado 1977/95 PAC ex-633
- 538 Teluk Hading 1978/94 PAC ex-614
- 539 Teluk Parigi 1978/95 PAC ex-635
- 540 Teluk Lampung 1979/94 PAC ex-636
- 541 Teluk Jakarta 1979/94 PAC ex-615
- 542 Teluk Sangkulirang 1979/94 PAC ex-616
- 543 Teluk Cirebon 1979/95 PAC ex-E35
- 544 Teluk Sabang 1980/95 PAC ex-E36
Bila dirunut dari spesifikasinya, Frosch class dengan bobot penuh
(full) 1.900 ton adalah LST tipe medium (menengah). LST ini punya
dimensi 90,70 x 11,12 x 3,4 meter. Ditenagai dua mesin diesel dengan dua
shafts yang menghasilkan tenaga 12.000 bhp. Jangkauan berlayarnya bisa
mencapai 2.450 km. Meski ukurannya medium, Frosch class dapat membawa 11
tank amfibi atau muatan kargo seberat 400 – 600 ton. Untuk membawa
pasukan pendarat, kapal dengan jumlah awak 42 orang ini diperkirakan
bisa dimuati maksimum 1 kompi marinir.
KRI Teluk Sangkulirang 542
KRI Teluk Berau 534
LST Frosch class dibangun oleh galangan VEB Peenewerft, Wolgast,
Jerman Timur pada periode tahun 1976 hingga 1980. Satu nasib dengan
korvet Parchim dan penyapu ranjau kelas Kondor
yang juga diborong TNI AL, LST Frosch class pasca reunifikasi Jerman
juga dipensiunkan dari arsenal armada AL Jerman. Keseluruhan jenis kapal
ini memang diborong ke Indonesia lewat lobi B.J Habibie yang menjabat
selaku Menteri Negara Riset dan Teknologi di awal tahun 90-an.
Meski dari kapasitas angkut masih kalah dengan kelas Teluk Semangka
yang buatan Korea Selatan. Tapi Frosch class dikenal sebagai salah satu
LST di dunia yang punya kecepatan tinggi, yaitu 18 knot dan maksmium 19
knot. Frosch class pada dasarnya terdiri dari dua tipe, yaitu Frosch-I
dan Frosch-II. Yang membedakan diantara kedua tipe adalah, pada
Frosch-II terdapat crane 2Hy SWK8 pada sisi haluan, crane ini dapat
mengangkat barang hingga 8 ton. Sebaliknya pada Frosch-I tidak terdapat
crane. Yang termasuk Frosch-II adalah KRI Teluk Cirebon 543 dan KRI
Teluk Sabang 544. Dari segi bobot kosong, keduanya sedikit berbeda,
Frosch-I bobot normalnya 1.744 ton, sementara Frosch-II bobot normalnya
1.530 ton.
Lalu bagaimana dengan persenjataan di Frosch class? Senjata yang
melekat pada kapal pendarat ini sejatinya cukup sangar, aslinya sejak
tahun 1986, Volksmarine (AL Jerman Timur) melengkapi beberapa Frosch
dengan meriam laras ganda AK-725 kaliber 57mm,
meriam ini dapat ditempatkan pada sisi haluan maupun buritan. Meriam
ini adalah senjata utama pada korvet Parchim, sayangnya saat Frosch
dijual ke Indonesia, meriam ini nampak sudah dilepas, sebagai gantinya
adalah meriam Bofors kaliber 40mm.
Lain dari itu, Frosch juga dapat dipasang setting dari berbagai jenis
senjata, seperti kanon laras tunggal kaliber 37, atau dua buah kanon
kaliber 25mm. Tentu spesifikasi senjata disesuaikan dengan budget dan kebutuhan misi dari user.
KRI Teluk Sabang 544, merupakan jenis Frosch Tipe II yang dibekali crane pada haluan.
Frosch class saat digunanakan oleh Volksmarine, nampak masig menggunakan meriam laras ganda AK-725 kaliber 57mm
Sebagai elemen perlindungan (decoy) dari serangan rudal udara, Frosch
class juga dibekali dengan dua dispenser chaff PK-16, masing-masing
tabung terdiri dari 16 tabung peluncur. Kemampuan elektronik Frosch
class ditunjang satu radar navigasi TSR-333, satu radar MR-302 Rubka
untuk identifikasi obyek di udara dan permukaan.
Insiden KRI Teluk Lampung 540
Pada 4 Juni 1994, KRI Teluk Lampung nyaris tenggelam di Teluk Biscay,
lokasinya berada di sebelah utara Spanyol. Peristiwa itu terjadi Jumat
dinihari pukul 01.26 waktu setempat atau pukul 08.26 waktu Jakarta.
Segera saja ihwal KRI Teluk Lampung ini mendapat perhatian besar karena
LST ini adalah salah satu dari 30 kapal perang yang dibeli oleh B.J.
Habibie (saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi).
Dikutip dari ulasan di Majalah Tempo (Juni 1994).
Awal kisahnya, sesusah direparasi di galangan Peenemunde, Wolgast –
Jerman, kapal itu berlayar dari Laut Baltik melewati Belanda dan
Perancis. Nah, ketika memasuki perairan Spanyol, KRI Teluk Lampung
dihadang taifun dank abut tebal. Haluannya yang datar dan rendah dihajar
ombak besar yang kemudian menerjang pintu (ramp) hingga jebol. Air laut
pun masuk sehingga kapal terencam tenggelam.
Tampilan ramp di Frosch class, pada insiden di KRI Teluk Lampung, ramp ini jebol akibat hamtaman gelombang.
KRI Teluk Cendrawasih 533 saat membuka ramp untuk jalur keluar tank amfibi.
Ramp juga dimanfaatkan sebagai jalur embarkasi pasukan marinir ke dalam kapal.
Di saat gawat itu, kapal tersebut mengirimkan SOS, yang kemudian didengar oleh tim SAR (search and rescue)
Perancis, SAR Perancis lalu meneruskan ke SAR Spanyol, yang segera
mengirimkan dua helikopter untuk menyelamatkan 51 awak kapal KRI Teluk
Lampung. Kemudian, sebuah kapal tunda milik Spanyol melego jangkar dekat
KRI Teluk Lampung dan berupaya menyeret LST itu dari tempat kejadian.
“Ya, mesti ditarik agar posisinya kembali seimbang. Posko penyelamatan
kapal ini sudah dibentuk dan dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto
dari kediamannya di Jalan Cendana. Tim dari Jerman pun segera
diberangkatkan,” ungkap sebuah sumber dari majalah Tempo yang mengikuti
proses pembelian kapal itu.
Kalau sempat tenggelam, LST itu kan sulit ditarik ke permukaan laut.
Di kedalaman 100 meter saja sudah sulit, apalagi kedalaman air di lokasi
kejadian mencapai 4.000 meter. Syukurlah, kapal yang tidak
diasuransikan itu akhirnya bisa diselamatkan, begitu juga dengan seluruh
awaknya.
Salah satu Frosch-II saat masih berada di Jerman
Habibie menuding ombak setinggi 10 meter yang menghantam pintu kapal
selama berjam-jam sebagai penyebab musibah. “Akibatnya, pintu terbuka
karena memang tidak dilas mati, kata Habibie. Air pun masuk tanpa bisa
dicegah. Tapi, Deputi Analisis Industri Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Sulaeman Wiriadidjaja berpendat bahwa sebab musibah
karean titik berat kapal bertumpu pada satu sisi. Hal itu dimungkinkan
karena bertumpuknya kargo disitu –milik TNI AL – padahal kargo itu
mestinya tidak bergeser kalau dicantelkan ke tubuh kapal. Ternyata,
prosedur ini tidak dipenuhi, hingga akhirnya mengubah titik berat kapal.
Sebagai informasi, perpindahan titik berat kapal bisa berbahaya,
terutama saat kapal dihantam ombak terus-menerus, akibatnya kapal bisa
terguling.
Pada insiden di Teluk Biscay, KRI Teluk Lampung yang dikomandani
Letkol Laut Jospeh Sutrasman itu masih bisa dilaso oleh kapal Spanyol.
Menurut Dinas Penerangan TNI AL, pada Sabtu pagi KRI Teluk Lampung dapat
diamankan di Gijion, Spanyol.
Sebagai kapal bekas pakai, satu unit Frosch yang dibeli Indonesia
dihargai US$346.500, dan setelah melalui tahap renovasi dan perlengkapan
senjata, maklum saat keluar dari Jerman, parlemen negara itu
mengharuskan armada kapal yang dibeli RI harus dipreteli senjatanya,
maka kemudian harga satu unit LST Frosch melambung jadi US$10 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar