Senin, 30 September 2013

Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 2)


Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi suatu demonstrasi besar di Jakarta dan lebih dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952[1]. Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden. Permasalahan ini kemudian diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat. Setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, peran IKP dan BISAP dilakukan oleh SUAD-I.

Tanggal 10 November 1959, Presiden Soekarno membubarkan SUAD-I dan membentuk Badan Pusat Intelijen (BPI), yang langsung bertanggung jawab kepada Soekarno, dan mengangkat Soebandrio[2], Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Dibawah kepemimpinan Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan), Komando-Komando Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan politik Presiden Soekarno.

Langkah yang terbilang sangat berani dilakukan oleh Subandrio dan BPI atas restu Soekarno, untuk membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bagaikan simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat. Maka untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah seperti yang lazim berlaku di negara yang bercorak otoriter.

Dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI dibubarkan. Sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi belum berusia setahun, KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Beliau membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral Ali Murtopo dengan sandi nama Operasi Khusus (Opsus), di luar sepengetahuan BAKIN maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan maupun Markas Besar ABRI, serta Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya, Ali Murtopo bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto.

Ali Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi[3] di Bangkok dalam rangka menjajaki kemungkinan mengakhiri “Konfrontasi” dengan Malaysia. Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.

Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari[4] (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Untuk mensinergikan operasi-operasi intelijen sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah Jenderal Yoga Sugama. Bahkan Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS (Center for Strategic and International Studies) dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu CSIS[5] atau Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, hanya berfungsi sebagai lembaga pusat kajian dengan tugas pokok terbatas hanya pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata.

Jenderal Benny Moerdani[6] tidak puas dengan fungsi kelembagaan CSIS atau Pusintelstrat tersebut dan mereorganisasikan “tenaga pusat” itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency-  yakni BAIS (Badan Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik luar negeri, tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor Portugis[7] pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di Timor Portugis dengan nama sandi Operasi Komodo[8].

Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah Badan Koordinasi, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi. Lalu pada era Reformasi, BAKIN berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga tersebut masih aktif sampai sekarang.

Saat ini, kegiatan-kegiatan lembaga intelijen di negara Indonesia, di tataran strategi, operasional dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen nasional terdiri dari lima tipe organisasi:
  1. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara (BIN).
  2. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian (Badan Intelijen Keamanan Polri), intelijen bea cukai (Direktorat Penindakan Dan Penyidikan), intelijen imigrasi (Direktorat Intelijen Keimigrasian), serta intelijen kejaksaan (Jaksa Agung Muda Intelijen).
  3. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu: Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI) yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
  4.  Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan;
  5. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara (LSN), Badan SAR Nasional (BARSANAS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengintaian dan pengindraan (Surveillance and reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), serta Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")


[1] Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat Nasution) dan 7 (tujuh) Pangdam (Panglima Daerah Militer) meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan, sebagai sebab utamanya adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Bahkan Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan dalih untuk melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
[2] Kepiawaian dalam diplomasi Dr Subandrio sudah lama menjadi perhatian para diplomat AS di Jakarta dan mengantisipasi kemungkinan Subandrio menjadi tokoh penting di Kementrian Luar Negeri RI. Lihat Paul F.Gardener, Shared Hopes, Separate Fears (Colorado: Westview Press, 1997), h.155.
[3] Des Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Beliau pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia tahun 1965-1975, ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya mendekati almarhum mantan PM Tun Abdul Rahman dan almarhum mantan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.
[4] Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14 sampai tanggal 17 Januari 1974. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap.
[5] Center for Strategic and International Studies, yang biasa disingkat CSIS adalah sebuah tangki pemikir (institut penelitian) kebijakan yang bermarkas di Jakarta. CSIS didirikan pada 1971. Lembaga ini adalah sebuah institusi independen dan bipartisan yang melakukan penelitian kebijakan dan analisa strategis dalam politik, ekonomi, dan keamanan.
[6] Leonardus Benyamin "Benny" Moerdani (lahir 2 Oktober 1932 – wafat 29 Agustus 2004 pada umur 71 tahun) adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang terkenal pada masanya. Merupakan perwira TNI yang banyak berkecimpung didunia inteljen, sehingga terkesan misterius apalagi ditunjang dengan pembawaannya yang hemat bicara serta jarang tersenyum, kesan misterius makin kuat. Merupakan satu-satunya perwira penyandang pangkat bintang yang ikut terjun langsung di operasi militer yaitu penangan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Don Muang Bangkok, Thailand. Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib.
[7] Timor Portugis adalah bekas nama (1596-1975) Timor Leste ketika masih di bawah pemerintahan Portugis. Pada masa itu, Portugal membagi pulau Timor dengan Hindia-Belanda. Nama Timor Portugis kemudian tidak dipakai lagi sejak 1975, setelah invasi Indonesia tak lama setelah pernyataan kemerdekaan unilateral Timor Timur. Timor Portugis pun menjadi Timor Timur, salah satu provinsi termuda di Indonesia. Secara teknis Timor Portugis baru dinyatakan sebagai sudah tidak menjadi bagian dari NKRI pada 20 Mei 2002, ketika Timor Leste dideklarasikan sebagai negara merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
[8] Bakin membentuk satuan operasi yang disebut densan nama "Operasi Komodo". Operasi ini dipimpin langsung oleh Kepala BAKIN Yoga Sugama, sedang wakilnya adalah Waka BAKIN Ali Murtopo. Operasi Komodo yang lebih merupakan intelligence field preparation operation, berusaha menjalin kontak dengan beberapa pihak yang ingin berintegrasi dengan Indonesia. Sebagai buah hasil dari Operasi Komodo ini, maka tanggal 7 September 1975 UDT, Kota dan Trabalhista mengirim Petisi berisi 31 pasal pada presiden RI untuk menjelaskan sikap mereka mengenai masa depan Timor  Portugis.

1 komentar: