Selasa, 24 September 2013

Marsma (Pur) Nanok Soeratno Membedah "Dapur" Paskhas TNI-AU Master Terjun Bebas, Penggagas Detasemen Bravo 



Korps Pasukan Khas (Paskhas) adalah rumah bagi para prajurit elite berkualifikasi komando di lingkungan TNI-AU. Karena spesial, literatur yang membahas korps baret jingga itu amat langka. Nanok, mantan Dankorpaskhas, membuka seluk-beluk Paskhas lewat buku biografinya.
RIDLWAN HABIB, Jakarta
NOVEMBER nanti usianya genap 67 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Namun, perawakan Nanok Soeratno masih tegap dan gagah. Sorot mata lelaki kelahiran Watualang, Ngawi, Jawa Timur, itu tajam. "Saya lihat dari jauh, tadi datang pakai jaket jingga, ya?" katanya menyambut Jawa Pos sambil tersenyum.
Sabtu (24/8) siang itu Nanok baru saja bermain golf di lapangan Halim Perdanakusuma. "Rutin saja, seminggu sekali, untuk menjaga stamina," ujarnya. Selain golf, Nanok punya hobi berkuda dan mengendarai moge alias motor gede.
Sembari istirahat di Driving Range Pringgodani, kompleks Halim Perdanakusuma, ponsel Nanok bergetar dengan intensitas sering. "Belum sebulan diterbitkan, tapi respons dari teman-teman sangat beragam," katanya.
Dia lantas menunjukkan pesan Whatsapp dari peneliti militer Jalesvari Pramodhani yang berharap buku Nanok bisa dibedah di Akademi Angkatan Udara (AAU). "Agar jadi pelajaran taruna-taruna muda," tulis Jalesvari.
Buku biografi Nanok itu berjudul Kisah Sejati Prajurit Paskhas setebal 473 halaman. "Sebenarnya itu dari bahan-bahan, catatan harian, yang sejak muda memang saya lakukan. Dikumpulkan dan disusun jadi buku," katanya.
Dibantu wartawan senior Angkasa Beny Adrian, selama 2,5 tahun naskah disusun ulang Nanok. Yang menarik, buku itu sangat khas membahas kiprah pasukan baret jingga. Maklum, sejak menempuh pendidikan di SMA 2 Madiun, Nanok sangat terobsesi menjadi prajurit AU. "Setiap pulang sekolah saya lewat Jalan Diponegoro. Di sana ada mes AURI, banyak penerbang pakai baju oranye," kenangnya.
Tuhan menunjukkan jalan. Nanok berhasil diterima sebagai prajurit AU angkatan 1969. Dia merintis jenjang karir militer di Kopasgat atau Komando Pasukan Gerak Cepat, cikal bakal Paskhas TNI-AU.
Nanok pun mengikuti pendidikan komando yang dibagi menjadi tiga tahap. Yakni, tahap basis, gunung hutan, dan tahap rawa laut. Tahap gunung hutan ke tahap rawa laut dijembatani dengan long march untuk menguji daya tahan personel. "Pasukan komando itu harus bisa bertempur di darat, laut, dan udara," katanya.
Khusus Paskhas diwajibkan memiliki kemampuan tempur khas matra udara. Yakni, mulai pengendali tempur (dalpur), pengendali pangkalan (dallan), SAR tempur, jumping master, pertahanan pangkalan, penangkis serangan udara, jungle warfare, air assault (mobil udara), raid operation, hingga kemampuan antiteror aspek udara atau yang dikenal sebagai atbara (anti pembajakan udara).
"Disiplin pendidikan komando dari dulu sampai sekarang masih sama. Yang beda mungkin medan latihan atau senjata yang digunakan," katanya. Nanok mencontohkan, dahulu latihan menembak jitu malam hari menggunakan lilin yang harus dibidik tepat. "Sekarang ada infrared, itu kehebatan teknologi," katanya.
Sejak masih berpangkat kapten, Nanok punya gagasan untuk membentuk pasukan khusus yang lebih khusus di jajaran Paskhas. "Memang orang Paskhas itu yang terbaik, tapi ini diseleksi lagi yang paling bagus dari yang terbaik," katanya. Ide Nanok itu timbul tenggelam seiring dinamika organisasi internal TNI-AU.
Nah, saat Nanok menjabat Dankorpaskhas (1998 hingga 2001), legalisasi pasukan elite di antara yang elite (creme de la creme) tersebut dilakukan. Detasemen Bravo diresmikan KSAU Hanafie Asnan, teman seangkatan Nanok, pada 16 September 1999. Saat itu Hanafie baru pulang dari Jerman untuk menjalani operasi jantung.
"Saya perintahkan anggota mencari logo untuk tunggul dan duaja pasukan ke Jogjakarta," katanya. Kolonel Sriyono yang saat itu menjabat asisten logistik (Aslog) langsung menemui dalang kondang Ki Timbul Hadiprayitno. Dia pun diberi simbol senjata Guawijaya. Itu adalah senjata Rama saat melawan Rahwana. Moto tim elite yang pada awal terbentuk hanya beranggota 77 orang tersebut adalah Catya Wihikan Awacyama kapala yang artinya setia, terampil, berhasil.
Bravo sekarang sudah sangat maju. Seleksi untuk masuk juga sangat berat. Pendidikan Bravo sekitar enam bulan. Anggotanya diseleksi dari siswa terbaik peringkat pertama sampai ke-40 lulusan Sekolah Komando Paskhas dan personel aktif di wing, resimen, batalyon, atau detasemen. Seluruhnya diseleksi ketat, mulai IQ, kesamaptaan, keahlian spesialisasi militer yang dibutuhkan, serta kesehatan.
Peluru tajam digunakan dalam latihan tahap akhir. Setelah lulus, para personel Bravo muda itu berhak atas brevet Bravo, lambang, call sign, dan perlengkapan tempur standar Bravo lainnya.
Personel Paskhas juga harus mahir terjun bebas atau free fall. Untuk urusan tersebut, Nanok adalah masternya. "Anak pertama saya Nafri Soeratno. Itu singkatan dari Nanok Free Fall," katanya, lalu tersenyum. Istrinya, Wirtaluki, adalah seorang anggota Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat).
Awalnya Nanok belajar free fall otodidak saat sudah menjadi perwira dan bertugas di Bandung. Saat itu free fall hanya diajarkan kepada bintara dan tamtama. "Modalnya nekat saja," katanya. Saat melayang, parasut utama Nanok gagal membuka. Untunglah, parasut cadangan berhasil menyelamatkan nyawanya.
"Sampai bawah saya minta payung dilipat lagi dan saya terjun lagi," katanya. Insiden itu membuat Nanok dimarahi pimpinannya. Namun, berkat Nanok, dibukalah sekolah terjun free fall untuk perwira. "Seminggu nikah, saya langsung ditugaskan belajar terjun," ujar bapak tiga anak itu.
Keahlian free fall yang wajib dimiliki Paskhas adalah HAHO atau high altitude high opening dan HALO atau high altitude low opening. "Kalau HAHO, jika sasaran kita di Bogor, di Jakarta sudah diterjunkan," jelas penggemar suara burung perkutut itu.
Untuk HALO, penerjun diturunkan tepat di atas wilayah target. "Diterjunkan dari ketinggian 9.000 feet above ground, baru boleh buka parasut di ketinggian 3.000. Supaya tidak diserang musuh," katanya. Di era Nanok, latihan terjun malam juga dimulai.
Buku Nanok dilengkapi berbagai foto operasi. Terutama saat di Timor Timur (Timtim). "Saya yang ditugaskan membuka Timtim tahun 1975 dalam Operasi Seroja. Saat bendera Merah Putih terakhir harus diturunkan di Timtim tahun 1999, saya juga yang mengirim pasukan ke sana," ujarnya.
Berbagai kisah Nanok diceritakan dengan detail. Mulai menyusup hingga nyaris ditembak geril­yawan dari kelompok Proferio Mauklau. Nanok juga pernah nyaris dibidik namun urung karena penembak tak tega. Penembak itu berhasil tertangkap. "Saya dibilang mirip wajah omnya. Malah diberi jimat penghilang. Sampai sekarang masih saya simpan, buat kenangan," ungkapnya.
Nanok yang berhasil mewujudkan impian jadi penerbang dengan kursus sendiri di lembaga pelatihan pilot sipil itu berharap kisah hidupnya bisa jadi bahan bacaan para junior. "Saya dulu gagal jadi penerbang karena tensi saat tes tinggi. Tapi, Bismillah, tekuni jalur hidup sebaik-baiknya, Tuhan membukakan jalan," kata Nanok yang bersertifikasi CPL (commercial pilot license) dari Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug itu.
Kini Nanok dipercaya sebagai ketua Paguyuban Purnawirawan Paskhas Baret Jingga. Dia juga menjadi ketua angkatan AURI 1969 yang bernama angkatan Bogowonto. "Itu diambil dari nama sungai di Congot, Jogjakarta. Saat latihan, ada beberapa teman kami gugur karena senjata salah meledak," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar