Korps Pasukan Khas (Paskhas) adalah
rumah bagi para prajurit elite berkualifikasi komando di lingkungan
TNI-AU. Karena spesial, literatur yang membahas korps baret jingga itu
amat langka. Nanok, mantan Dankorpaskhas, membuka seluk-beluk Paskhas
lewat buku biografinya.
RIDLWAN HABIB, Jakarta
NOVEMBER nanti usianya
genap 67 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Namun, perawakan Nanok
Soeratno masih tegap dan gagah. Sorot mata lelaki kelahiran Watualang,
Ngawi, Jawa Timur, itu tajam. "Saya lihat dari jauh, tadi datang pakai
jaket jingga, ya?" katanya menyambut Jawa Pos sambil tersenyum.
Sabtu (24/8) siang itu Nanok baru saja
bermain golf di lapangan Halim Perdanakusuma. "Rutin saja, seminggu
sekali, untuk menjaga stamina," ujarnya. Selain golf, Nanok punya hobi
berkuda dan mengendarai moge alias motor gede.
Sembari istirahat di Driving Range
Pringgodani, kompleks Halim Perdanakusuma, ponsel Nanok bergetar dengan
intensitas sering. "Belum sebulan diterbitkan, tapi respons dari
teman-teman sangat beragam," katanya.
Dia lantas menunjukkan pesan Whatsapp
dari peneliti militer Jalesvari Pramodhani yang berharap buku Nanok bisa
dibedah di Akademi Angkatan Udara (AAU). "Agar jadi pelajaran
taruna-taruna muda," tulis Jalesvari.
Buku biografi Nanok itu berjudul Kisah
Sejati Prajurit Paskhas setebal 473 halaman. "Sebenarnya itu dari
bahan-bahan, catatan harian, yang sejak muda memang saya lakukan.
Dikumpulkan dan disusun jadi buku," katanya.
Dibantu wartawan senior Angkasa Beny
Adrian, selama 2,5 tahun naskah disusun ulang Nanok. Yang menarik, buku
itu sangat khas membahas kiprah pasukan baret jingga. Maklum, sejak
menempuh pendidikan di SMA 2 Madiun, Nanok sangat terobsesi menjadi
prajurit AU. "Setiap pulang sekolah saya lewat Jalan Diponegoro. Di sana
ada mes AURI, banyak penerbang pakai baju oranye," kenangnya.
Tuhan menunjukkan jalan. Nanok berhasil
diterima sebagai prajurit AU angkatan 1969. Dia merintis jenjang karir
militer di Kopasgat atau Komando Pasukan Gerak Cepat, cikal bakal
Paskhas TNI-AU.
Nanok pun mengikuti pendidikan komando
yang dibagi menjadi tiga tahap. Yakni, tahap basis, gunung hutan, dan
tahap rawa laut. Tahap gunung hutan ke tahap rawa laut dijembatani
dengan long march untuk menguji daya tahan personel. "Pasukan komando
itu harus bisa bertempur di darat, laut, dan udara," katanya.
Khusus Paskhas diwajibkan memiliki
kemampuan tempur khas matra udara. Yakni, mulai pengendali tempur
(dalpur), pengendali pangkalan (dallan), SAR tempur, jumping master,
pertahanan pangkalan, penangkis serangan udara, jungle warfare, air
assault (mobil udara), raid operation, hingga kemampuan antiteror aspek
udara atau yang dikenal sebagai atbara (anti pembajakan udara).
"Disiplin pendidikan komando dari dulu
sampai sekarang masih sama. Yang beda mungkin medan latihan atau senjata
yang digunakan," katanya. Nanok mencontohkan, dahulu latihan menembak
jitu malam hari menggunakan lilin yang harus dibidik tepat. "Sekarang
ada infrared, itu kehebatan teknologi," katanya.
Sejak masih berpangkat kapten, Nanok
punya gagasan untuk membentuk pasukan khusus yang lebih khusus di
jajaran Paskhas. "Memang orang Paskhas itu yang terbaik, tapi ini
diseleksi lagi yang paling bagus dari yang terbaik," katanya. Ide Nanok
itu timbul tenggelam seiring dinamika organisasi internal TNI-AU.
Nah, saat Nanok menjabat Dankorpaskhas
(1998 hingga 2001), legalisasi pasukan elite di antara yang elite (creme
de la creme) tersebut dilakukan. Detasemen Bravo diresmikan KSAU
Hanafie Asnan, teman seangkatan Nanok, pada 16 September 1999. Saat itu
Hanafie baru pulang dari Jerman untuk menjalani operasi jantung.
"Saya perintahkan anggota mencari logo
untuk tunggul dan duaja pasukan ke Jogjakarta," katanya. Kolonel Sriyono
yang saat itu menjabat asisten logistik (Aslog) langsung menemui dalang
kondang Ki Timbul Hadiprayitno. Dia pun diberi simbol senjata
Guawijaya. Itu adalah senjata Rama saat melawan Rahwana. Moto tim elite
yang pada awal terbentuk hanya beranggota 77 orang tersebut adalah Catya
Wihikan Awacyama kapala yang artinya setia, terampil, berhasil.
Bravo sekarang sudah sangat maju.
Seleksi untuk masuk juga sangat berat. Pendidikan Bravo sekitar enam
bulan. Anggotanya diseleksi dari siswa terbaik peringkat pertama sampai
ke-40 lulusan Sekolah Komando Paskhas dan personel aktif di wing,
resimen, batalyon, atau detasemen. Seluruhnya diseleksi ketat, mulai IQ,
kesamaptaan, keahlian spesialisasi militer yang dibutuhkan, serta
kesehatan.
Peluru tajam digunakan dalam latihan
tahap akhir. Setelah lulus, para personel Bravo muda itu berhak atas
brevet Bravo, lambang, call sign, dan perlengkapan tempur standar Bravo
lainnya.
Personel Paskhas juga harus mahir terjun
bebas atau free fall. Untuk urusan tersebut, Nanok adalah masternya.
"Anak pertama saya Nafri Soeratno. Itu singkatan dari Nanok Free Fall,"
katanya, lalu tersenyum. Istrinya, Wirtaluki, adalah seorang anggota
Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat).
Awalnya Nanok belajar free fall otodidak
saat sudah menjadi perwira dan bertugas di Bandung. Saat itu free fall
hanya diajarkan kepada bintara dan tamtama. "Modalnya nekat saja,"
katanya. Saat melayang, parasut utama Nanok gagal membuka. Untunglah,
parasut cadangan berhasil menyelamatkan nyawanya.
"Sampai bawah saya minta payung dilipat
lagi dan saya terjun lagi," katanya. Insiden itu membuat Nanok dimarahi
pimpinannya. Namun, berkat Nanok, dibukalah sekolah terjun free fall
untuk perwira. "Seminggu nikah, saya langsung ditugaskan belajar
terjun," ujar bapak tiga anak itu.
Keahlian free fall yang wajib dimiliki
Paskhas adalah HAHO atau high altitude high opening dan HALO atau high
altitude low opening. "Kalau HAHO, jika sasaran kita di Bogor, di
Jakarta sudah diterjunkan," jelas penggemar suara burung perkutut itu.
Untuk HALO, penerjun diturunkan tepat di
atas wilayah target. "Diterjunkan dari ketinggian 9.000 feet above
ground, baru boleh buka parasut di ketinggian 3.000. Supaya tidak
diserang musuh," katanya. Di era Nanok, latihan terjun malam juga
dimulai.
Buku Nanok dilengkapi berbagai foto
operasi. Terutama saat di Timor Timur (Timtim). "Saya yang ditugaskan
membuka Timtim tahun 1975 dalam Operasi Seroja. Saat bendera Merah Putih
terakhir harus diturunkan di Timtim tahun 1999, saya juga yang mengirim
pasukan ke sana," ujarnya.
Berbagai kisah Nanok diceritakan dengan
detail. Mulai menyusup hingga nyaris ditembak gerilyawan dari kelompok
Proferio Mauklau. Nanok juga pernah nyaris dibidik namun urung karena
penembak tak tega. Penembak itu berhasil tertangkap. "Saya dibilang
mirip wajah omnya. Malah diberi jimat penghilang. Sampai sekarang masih
saya simpan, buat kenangan," ungkapnya.
Nanok yang berhasil mewujudkan impian
jadi penerbang dengan kursus sendiri di lembaga pelatihan pilot sipil
itu berharap kisah hidupnya bisa jadi bahan bacaan para junior. "Saya
dulu gagal jadi penerbang karena tensi saat tes tinggi. Tapi, Bismillah,
tekuni jalur hidup sebaik-baiknya, Tuhan membukakan jalan," kata Nanok
yang bersertifikasi CPL (commercial pilot license) dari Sekolah Tinggi
Penerbangan Indonesia Curug itu.
Kini Nanok dipercaya sebagai ketua
Paguyuban Purnawirawan Paskhas Baret Jingga. Dia juga menjadi ketua
angkatan AURI 1969 yang bernama angkatan Bogowonto. "Itu diambil dari
nama sungai di Congot, Jogjakarta. Saat latihan, ada beberapa teman kami
gugur karena senjata salah meledak," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar