Beberapa hari sebelum Tim Kementerian Pertahanan, TNI AL dan TNI AU
berangkat ke Rusia untuk melihat rencana hibah 10 kapal selam Rusia, Tim
Kemenhan dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, menemui
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Pertemuan Kementerian Pertahanan
dengan Pemerintah Provinsi Jakarta, untuk membahas strategi pertahanan
ibu Kota Negara. Wakil Menteri Pertahanan meminta rencana pembangunan
ruang bawah tanah di kawasan Monas, diintegrasikan dengan strategi
pertahanan ibukota.
Apakah urusan pembangunan sistem pertahanan Jakarta, akan menjadi bagian pembicaraan di Rusia ?.
Usulan membangun sistem pertahanan Indonesia yang lebih baik dan
terintegrasi sebenarnya telah disampaikan Rusia pada tahun 2012. Pada
event Indo Defence 7 November 2012, Rusia menawarkan kerjasama
pembangunan sistem pertahanan udara advance, karena sistem pertahanan
udara Indonesia saat ini masih sistem rudal dan senjata jarak pendek.
Wakil Kepala Eksportir Persenjataan Rusia, Rosoboroneksport
menawarkan konsep integrasi pertahanan udara berbasis sistem rudal
pertahanan udara jarak menengah Buk-M2E dikombinasikan dengan Pantsir-S1
sebagai sistem rudal/senjata anti-udara jarak pendek. Ahli senjata
Rusia mempercayai konfigurasi tersebut akan efektif melindungi
obyek-obyek vital Indonesia dari seluruh jenis serangan udara musuh,
termasuk serangan udara yang masif.
Kita berharap sistem pertahanan itu bisa lebih advance lagi, yakni
paduan sistem anti-udara jarak jauh S-300 dikombinasikan dengan jarak
pendek Pantsir S-1. Sistem pertahanan yang akan dibangun harus masih
efektif dalam 10-20 tahun ke depan, dimana teknologi pesawat tempur dan
rudal akan semakin canggih.
Namun Indonesia menemukan posisinya dalam sebuah dilema. Sistem
pertahanan udara jarak pendek Indonesia saat ini, khususnya Jakarta
berbasis kepada sistem NATO. Batalyon Arhanudse 10/1/F Kodam Jaya,
menggunakan Starstreak buatan Inggris. Adapun TNI AU sedang mendatangkan
6 baterai Oerlikon Skyshield dari Rheinmetall Air Defence Swiss, untuk
pertahanan jarak pendek bagi sejumlah Pangkalan Udara. Begitu pula
dengan sistem radar Indonesia. Sebagian besar menggunakan produk
Perancis dan Inggris.
Apakah sistem pertahanan jarak pendek dan radar NATO ini bisa
diintegrasikan dengan sistem pertahanan udara jarak menengah/jauh buatan
Rusia ?.
Dilema Turki
Kasus yang mirip terjadi dengan negara Turki. Turki berencana membangun sistem pertahanan udara jarak jauh dengan mengucurkan dana 4 miliar USD. Tiga perusahaan besar mengajukan proposal. Pihak Barat gabungan dari Raytheon dan Lockheed Martin menawarkan sistem pertahanan udara Patriot. Rusia melalui Rosoboronexport menawarkan S-300. Sementara China mengajukan sistem HQ-9.
Kasus yang mirip terjadi dengan negara Turki. Turki berencana membangun sistem pertahanan udara jarak jauh dengan mengucurkan dana 4 miliar USD. Tiga perusahaan besar mengajukan proposal. Pihak Barat gabungan dari Raytheon dan Lockheed Martin menawarkan sistem pertahanan udara Patriot. Rusia melalui Rosoboronexport menawarkan S-300. Sementara China mengajukan sistem HQ-9.
Namun pilihan Turki tampaknya akan jatuh ke sistem HQ-9 China.
Alasannya China mau berbagi teknologi. Keputusan finalnya tinggal
menunggu persetujuan dari Menteri Pertahanan Turki Ismet Yilmaz dan
Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Sejumlah diplomat dan pakar senjata Barat mengatakan, Turki tidak
akan diperbolehkan mengintegrasikan sistem Turki-China ke dalam Sistem
peringatan dini Turki yang saat ini menggunakan sistem NATO.
“Saya melihat Turki tetap menantang dan akan tetap maju. Tapi, saya
berpikir tidak mungkin mengintegrasikan sistem pertahanan udara maupun
sistem anti-rudal buatan Turki-Cina ke dalam radar NATO, ” ujar pakar
militer di London yang mencermati militer Turki. “Turki akan memiliki
masalah yang sama jika memilih sistem Rusia, tapi saya pikir kehadiran
sistem pertahanann udara dan anti-rudal China di Turki, akan dianggap
Amerika Serikat, sebagai ancaman langsung”.
Sekitar setengah dari jaringan radar Turki (air defense picture),
dibiayai oleh NATO, ujar seorang pejabat pertahanan Turki yang bekerja
di NATO. Sistem itu bagian dari Pertahanan Udara NATO secara
keseluruhan. Apa jadinya jika Turki menggabungkannya dengan sistem yang
diadopsi dari China ?.
Untuk menghalau ancaman rudal jarak jauh, Turki membutuhkan satelit
serta alat pelacak rudal yang dedicated serta radar tracking seperti
yang dipasang NATO di Pangkalan Angkatan Udara Kucerik Turki. Untuk
komponen pertahanan anti-pesawat tempur, Turki membutuhkan gambar yang
menyeluruh tentang wilayah udaranya. Patriot dalam waktu singkat bisa
menanggulanginya dengan radar yang ada di Turki. Namun lain halnya
dengan sistem pertahanan China jika jadi dibeli. Sistem pertahanan udara
itu tidak akan efektif tanpa integrasi dengan gambaran udara Turki
secara menyeluruh.
Turki bisa saja membangun sistemnya sendiri (stand alone), tapi hal
itu akan mengabaikan milik NATO yang terpasang di Turki. Turki akan
kehilangan setengah dari kemampuan radar mereka. Turki membutuhkan data
penghubung (interface) untuk membuat sistem pertahanan udara mereka
(Turki-China) bisa dioperasikan dengan aset NATO di Turki, khususnya
data sistem pengenalan teman dan lawan (friend or foe). “Data ini
rahasia dan tidak bisa diinstal ke dalam sistem China”, ujar seorang
pakar militer.
Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengintegrasikan
sistem IIF (Identification Friend or Foe (IFF) China ke dalam armada
pesawat tempur F-16 Turki. Sejumlah pakar menilai akan banyak
ketidakcocokan jika sistem NATO dan China digabungkan ke dalam sistem
Pertahanan udara Jarak jauh milik Turki.
Kasus Turki ini bisa jadi akan dialami oleh Indonesia, apalagi
doktrin pengadaan persenjataan TNI saat ini adalah menganut azas
keseimbangan, yakni mendatangkan alutsista dari dari Negara Barat maupun
Rusia, untuk mengindari ketergantungan atau embargo. Dan kini Indonesia
merupakan lahan berebut pengaruh dari negara barat dan Rusia, dalam
urusan suplai alat pertahanan.
Kehadiran Rusia dan AS di Indonesia.
Menguatnya hubungan militer Indonesia dengan Rusia, disebabkan kebijakan Amerika Serikat yang melakukan embargo senjata termasuk suku cadang ke Indonesia 1999-2005, dengan alasan pelanggaran HAM Timor Timur.
Menguatnya hubungan militer Indonesia dengan Rusia, disebabkan kebijakan Amerika Serikat yang melakukan embargo senjata termasuk suku cadang ke Indonesia 1999-2005, dengan alasan pelanggaran HAM Timor Timur.
Sejak tahun 2003 hingga tahun 2013, Rusia telah mengirim 16 pesawat
tempur Sukhoi. Rusia pun telah menjual Helikopter Serang Mi-35,
Helikopter Angkut Mi-17, IFV BMP-3F, APC BTR-80A serta senjata serbu
AK-102.
Bahkan kedua negara melakukan kerjasama untuk urusan teknis militer,
pada tahun 2005. Adapun tahun 2007, Moskow peningkatkan kredit import
senjata kepada Indonesia menjadi 1 miliar USD. Selama rentang waktu itu,
terjadi pembelian sejumlah alutsista dari Indonesia. Pada tahun 2011,
Angkatan Laut kedua negara juga melakukan latihan anti-bajak laut, yang
merupakan latihan bersama pertama kali militer Indonesia-Rusia.
Situasi ini akhirnya dibaca oleh Amerika Serikat. Mereka merasa mulai
kehilangan grip penjualan peralatan militer di Indonesia. Amerika
Serikat bergerak dengan cepat. Pada tahun 2011 mereka memperbaiki
hubungan militer itu dengan hibah/ refurbish pesawat tempur 24 F-16 C/D
Block 25. Pada tahun 2012, Indonesia-AS juga membicarakan pengadaan
helikopter multirole Sikorsky UH-60 Black Hawk, serta Helikopter Serang
Boeing AH-64E. Hingga saat ini kedua negara telah sepakat mendatangkan 8
helikopter AH-64E.
Tak lama setelah gebrakan AS dengan penjualan Apache AH-64E, Rusia
langsung menawarkan hibah 10 kapal selam, dengan model pengadaan seperti
hibah 24 F-16 AS. Rusia ikut memperkuat posisinya.
Kini Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah Indonesia
menerima tawaran Rusia untuk membangun sistem pertahanan udara yang
lebih canggih, atau beralih ke barat, karena radar dan pertahanan udara
jarak pendek Indonesia berbasis NATO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar