Rabu, 25 September 2013

Membangun Sistem Pertahanan Udara Indonesia


Beberapa hari sebelum Tim Kementerian Pertahanan, TNI AL dan TNI AU berangkat ke Rusia untuk melihat rencana hibah 10 kapal selam Rusia, Tim Kemenhan dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, menemui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Pertemuan Kementerian Pertahanan dengan Pemerintah Provinsi Jakarta, untuk membahas strategi pertahanan ibu Kota Negara. Wakil Menteri Pertahanan meminta rencana pembangunan ruang bawah tanah di kawasan Monas, diintegrasikan dengan strategi pertahanan ibukota.
Apakah urusan pembangunan sistem pertahanan Jakarta, akan menjadi bagian pembicaraan di Rusia ?.
Usulan membangun sistem pertahanan Indonesia yang lebih baik dan terintegrasi sebenarnya telah disampaikan Rusia pada tahun 2012. Pada event Indo Defence 7 November 2012, Rusia menawarkan kerjasama pembangunan sistem pertahanan udara advance, karena sistem pertahanan udara Indonesia saat ini masih sistem rudal dan senjata jarak pendek.
Wakil Kepala Eksportir Persenjataan Rusia, Rosoboroneksport menawarkan konsep integrasi pertahanan udara berbasis sistem rudal pertahanan udara jarak menengah Buk-M2E dikombinasikan dengan Pantsir-S1 sebagai sistem rudal/senjata anti-udara jarak pendek. Ahli senjata Rusia mempercayai konfigurasi tersebut akan efektif melindungi obyek-obyek vital Indonesia dari seluruh jenis serangan udara musuh, termasuk serangan udara yang masif.
Kita berharap sistem pertahanan itu bisa lebih advance lagi, yakni paduan sistem anti-udara jarak jauh S-300 dikombinasikan dengan jarak pendek Pantsir S-1. Sistem pertahanan yang akan dibangun harus masih efektif dalam 10-20 tahun ke depan, dimana teknologi pesawat tempur dan rudal akan semakin canggih.
Namun Indonesia menemukan posisinya dalam sebuah dilema. Sistem pertahanan udara jarak pendek Indonesia saat ini, khususnya Jakarta berbasis kepada sistem NATO. Batalyon Arhanudse 10/1/F Kodam Jaya, menggunakan Starstreak buatan Inggris. Adapun TNI AU sedang mendatangkan 6 baterai Oerlikon Skyshield dari Rheinmetall Air Defence Swiss, untuk pertahanan jarak pendek bagi sejumlah Pangkalan Udara. Begitu pula dengan sistem radar Indonesia. Sebagian besar menggunakan produk Perancis dan Inggris.
Apakah sistem pertahanan jarak pendek dan radar NATO ini bisa diintegrasikan dengan sistem pertahanan udara jarak menengah/jauh buatan Rusia ?.
Dilema Turki
Kasus yang mirip terjadi dengan negara Turki. Turki berencana membangun sistem pertahanan udara jarak jauh dengan mengucurkan dana 4 miliar USD. Tiga perusahaan besar mengajukan proposal. Pihak Barat gabungan dari Raytheon dan Lockheed Martin menawarkan sistem pertahanan udara Patriot. Rusia melalui Rosoboronexport menawarkan S-300. Sementara China mengajukan sistem HQ-9.
Namun pilihan Turki tampaknya akan jatuh ke sistem HQ-9 China. Alasannya China mau berbagi teknologi. Keputusan finalnya tinggal menunggu persetujuan dari Menteri Pertahanan Turki Ismet Yilmaz dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Sejumlah diplomat dan pakar senjata Barat mengatakan, Turki tidak akan diperbolehkan mengintegrasikan sistem Turki-China ke dalam Sistem peringatan dini Turki yang saat ini menggunakan sistem NATO.
“Saya melihat Turki tetap menantang dan akan tetap maju. Tapi, saya berpikir tidak mungkin mengintegrasikan sistem pertahanan udara maupun sistem anti-rudal buatan Turki-Cina ke dalam radar NATO, ” ujar pakar militer di London yang mencermati militer Turki. “Turki akan memiliki masalah yang sama jika memilih sistem Rusia, tapi saya pikir kehadiran sistem pertahanann udara dan anti-rudal China di Turki, akan dianggap Amerika Serikat, sebagai ancaman langsung”.
Sekitar setengah dari jaringan radar Turki (air defense picture), dibiayai oleh NATO, ujar seorang pejabat pertahanan Turki yang bekerja di NATO. Sistem itu bagian dari Pertahanan Udara NATO secara keseluruhan. Apa jadinya jika Turki menggabungkannya dengan sistem yang diadopsi dari China ?.
Untuk menghalau ancaman rudal jarak jauh, Turki membutuhkan satelit serta alat pelacak rudal yang dedicated serta radar tracking seperti yang dipasang NATO di Pangkalan Angkatan Udara Kucerik Turki. Untuk komponen pertahanan anti-pesawat tempur, Turki membutuhkan gambar yang menyeluruh tentang wilayah udaranya. Patriot dalam waktu singkat bisa menanggulanginya dengan radar yang ada di Turki. Namun lain halnya dengan sistem pertahanan China jika jadi dibeli. Sistem pertahanan udara itu tidak akan efektif tanpa integrasi dengan gambaran udara Turki secara menyeluruh.


Turki bisa saja membangun sistemnya sendiri (stand alone), tapi hal itu akan mengabaikan milik NATO yang terpasang di Turki. Turki akan kehilangan setengah dari kemampuan radar mereka. Turki membutuhkan data penghubung (interface) untuk membuat sistem pertahanan udara mereka (Turki-China) bisa dioperasikan dengan aset NATO di Turki, khususnya data sistem pengenalan teman dan lawan (friend or foe). “Data ini rahasia dan tidak bisa diinstal ke dalam sistem China”, ujar seorang pakar militer.
Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengintegrasikan sistem IIF (Identification Friend or Foe (IFF) China ke dalam armada pesawat tempur F-16 Turki. Sejumlah pakar menilai akan banyak ketidakcocokan jika sistem NATO dan China digabungkan ke dalam sistem Pertahanan udara Jarak jauh milik Turki.
Kasus Turki ini bisa jadi akan dialami oleh Indonesia, apalagi doktrin pengadaan persenjataan TNI saat ini adalah menganut azas keseimbangan, yakni mendatangkan alutsista dari dari Negara Barat maupun Rusia, untuk mengindari ketergantungan atau embargo. Dan kini Indonesia merupakan lahan berebut pengaruh dari negara barat dan Rusia, dalam urusan suplai alat pertahanan.

Kehadiran Rusia dan AS di Indonesia.
Menguatnya hubungan militer Indonesia dengan Rusia, disebabkan kebijakan Amerika Serikat yang melakukan embargo senjata termasuk suku cadang ke Indonesia 1999-2005, dengan alasan pelanggaran HAM Timor Timur.
Sejak tahun 2003 hingga tahun 2013, Rusia telah mengirim 16 pesawat tempur Sukhoi. Rusia pun telah menjual Helikopter Serang Mi-35, Helikopter Angkut Mi-17, IFV BMP-3F, APC BTR-80A serta senjata serbu AK-102.
Bahkan kedua negara melakukan kerjasama untuk urusan teknis militer, pada tahun 2005. Adapun tahun 2007, Moskow peningkatkan kredit import senjata kepada Indonesia menjadi 1 miliar USD. Selama rentang waktu itu, terjadi pembelian sejumlah alutsista dari Indonesia. Pada tahun 2011, Angkatan Laut kedua negara juga melakukan latihan anti-bajak laut, yang merupakan latihan bersama pertama kali militer Indonesia-Rusia.
Situasi ini akhirnya dibaca oleh Amerika Serikat. Mereka merasa mulai kehilangan grip penjualan peralatan militer di Indonesia. Amerika Serikat bergerak dengan cepat. Pada tahun 2011 mereka memperbaiki hubungan militer itu dengan hibah/ refurbish pesawat tempur 24 F-16 C/D Block 25. Pada tahun 2012, Indonesia-AS juga membicarakan pengadaan helikopter multirole Sikorsky UH-60 Black Hawk, serta Helikopter Serang Boeing AH-64E. Hingga saat ini kedua negara telah sepakat mendatangkan 8 helikopter AH-64E.
Tak lama setelah gebrakan AS dengan penjualan Apache AH-64E, Rusia langsung menawarkan hibah 10 kapal selam, dengan model pengadaan seperti hibah 24 F-16 AS. Rusia ikut memperkuat posisinya.
Kini Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah Indonesia menerima tawaran Rusia untuk membangun sistem pertahanan udara yang lebih canggih, atau beralih ke barat, karena radar dan pertahanan udara jarak pendek Indonesia berbasis NATO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar