Dilahirkan pada tahun 1923, Kolonel Zulkifli Lubis adalah peletak batu dan komandan pertama badan intelijen Indonesia. Dia bergerilya di Sumatera dalam perang kemerdekaan. Pemimpin Gerakan Anti 17 Oktober 1952 Deputi Kepala Staf dan Penjabat Kepala Staf Angkatan Darat selama beberapa tahun dengan pangkat kolonel hingga meletakkan jabatan pada tahun 1956 salah satu gembong dalam pemberontakan PRRI – Permesta (1958). Kini tinggal di Bogor sebagai pengusaha. Atas permintaan TEMPO, tokoh yang pernah didongengkan bisa menghilang ini menceritakan panjang lebar sebagian dari perjalanan hidupnya pada wartawan kami, Muchsin Lubis.
(Dimuat dalam Majalah Tempo Edisi 29 Juli 1989)
SAYA dari kakak beradik bersaudara ada
sepuluh orang. Tujuh wanita, tiga laki-laki. Kakak saya laki-laki nomor
dua tertua sudah meninggal dan adik saya laki-laki yang terkecil, juga
sudah meninggal. Jadi, kami dari tiga laki-laki itu, tinggal saya saja
yang hidup.
Jadi, kalau jatuh pada acara warisan,
tinggal saya yang mengaturnya. Dari saudara wanita, yang paling bungsu
meninggal waktu lahir di Tapaktuan. Saya lahir di Banda Aceh yang dulu
disebut Kutaraja pada tanggal 26 Desember 1923. Sehari lebih muda dari
Natalan. Kalau yang hidup sekarang ini, ada adik di Banda Aceh, kemudian
kakak saya di Medan, kemudian kakak saya di Magelang. Saya anak nomor
lima.
Saya merasa, saya termasuk putera yang
disayangi oleh kakek-nenek saya dan ayah-ibu saya. Mungkin karena
laki-laki sedikit sekali di keluarga saya. Kemudian, rupa saya memang
agak lain. Rupa saya waktu kecil, seperti orang Barat. Muka putih,
rambut pirang dan mata biru, waktu kecil. Maka itu, ketika masih di
sekolah rendah, di HIS, saya oleh guru Belanda – saya sampai sekarang
tidak tahu sebabnya – saya satu-satunya murid yang didudukkan
bersama-sama perempuan, sampai kelas tiga.
Orangtua saya bernama Aden Lubis gelar
Sutan Sanalam. Ibu saya, Siti Rewan bermarga Nasution, tapi lahir dan
besar di Aceh. Maka itu, kami itu lebih merasa sebagai orang Aceh
daripada orang Tapanuli. Saya tahu bahasa Tapanuli, bahasa Mandailing,
tapi tidak bisa membicarakan. Hanya mengerti. Kalau boleh dibilang,
lahir di Aceh, saya lebih merasa sebagai orang Aceh dan besarnya bersama
masyarakat, di Yogya. Tapi bahasa Jawa pun saya tidak pandai, cuma
mengerti.
Selama saya sekolah itu, memang saya
merasa disayangi orangtua saya maupun kakek-nenek, namun saya lebih
dekat dengan ibu. Orangtua saya kedua-duanya guru di sekolah guru,
normal school. Tapi ibu saya itu kawin muda, lalu berhenti jadi guru.
Ayah saya sesudah 25 tahun kemudian berhenti lalu jadi pamong raja.
Waktu itu ayah saya jadi klerk di Banda
Aceh, di kantor gubernur, kemudian pindah ke Tapaktuan. Di Tapaktuan
itulah lahir adik saya yang laki-laki paling kecil dan adik saya
perempuan paling kecil yang meninggal waktu lahir. Ibu saya pun
meninggal dunia di Tapaktuan.
Kalau saya ingat kembali, saya banyak
belajar bermacam-macam segi dari orangtua saya. Kalau dari ibu saya,
saya belajar tentang kebersihan. Ibu saya itu sangat suka bersih. Kami
bersaudara itu, kaki kami semua hanya boleh kena tanah pada hari Minggu
saja. Selebihnya itu harus pakai sandal. Selain itu, ibu saya suka
membaca dan menyukai sajak. Hingga saya juga ada bawaan suka sajak.
Puisi. Dengan sajak Chairil Anwar, saya sangat tertarik, lalu Amir
Hamzah, walaupun tidak sampai mendalami.
Kalau dari ayah saya, disiplin. Disiplin
waktu dan kemauan kerja. Bapak saya, walaupun masih klerk di zaman
Belanda, dia naik sepeda dari Kutaraja ke Lho’ Nga sekitar 14 kilometer,
sebagai kontroleur. Pulang balik, mulanya. Karena saya disayanginya,
dan belum sekolah, saya diboncengnya. Sampai di Lho’ Nga saya dititipkan
ke pesanggrahan, lalu dia pergi ke kantor. Nanti sore hari, pulang naik
sepeda lagi. Sampai begitu rupa – mungkin lelah karena usia lanjut –
baru kira-kira seminggu sekali pulang ke Kutaraja. Itu tahun 1920-an.
Saya memang selalu dibawa Ayah ke mana-mana. Dari dia saya dapat
kesungguhan kerja dan pegang waktu.
Kalau dari kakek saya, Angku saya, dia
hakim agama di Pengadilan Agama Kutaraja, saya belajar agama,
sembahyang. Nama beliau Raja Imbang Nasution. Beliau kakek dari pihak
Ibu. Saya adalah cucu yang paling disayangi. Sedang nenek dari pihak
Ibu, istri angku saya. orangnya besar tinggi dan gemuk. Waktu kecil,
saya sering tidur dengan dia. Kalau dia menumbuk sirih, saya sering
ngelon ke dadanya. Karena dia gemuk, jadi hangat.
Saya sekolah dari HIS sampai ke MULO, di
Aceh semuanya, sampai tahun 1940-an, sebelum perang. Karena orangtua
saya menganggap saya cukup cerdas, pada umur empat tahun lebih sedikit,
saya sudah sekolah. Di sekolah saya maju, hingga semua guru sayang pada
saya. Baik guru Belanda atau guru Indonesia. Sava sekolah di HIS ke-II
di Kutaraja. Pandai berhitung. Cepat. Semua pelajaran, saya senang, cuma
pelajaran bahasa yang kurang. Kalau berhitung dan sejarah, saya
mendapat nilai sepuluh. Apalagi berhitung luar kepala, saya tetap nomor
satu. Ketika sekolah itu saya dipanggil Kifli, bukan Lubis. Nama
panggilan ini sampai saya di AMS-B di Yogya. Baru zaman Jepang saya
dipanggil Lubis, karena Lubis lebih mudah disebut dalam bahasa Jepang.
Saya tamat MULO sekitar tahun 1941.
Saya orang suka membaca. Sewaktu di MULO
itu, saya sudah mendengar dan mempunyai kesempatan membaca. Saya setiap
hari membaca surat kabar Deli Blaad berbahasa Belanda, terbitan Medan.
Kebetulan, anak tetangga saya di Kampung Atuk, dekat Makam Pahlawan,
penjual surat kabar, termasuk’ Deli Blaad. Teman itu sering memberikan
koran itu pada saya satu lembar. Dari situ saya tahu pidato-pidato Bung
Karno, Hatta, Thamrin, dan Volksraad. Sungguhpun surat kabar itu dari
modal perkebunan di Sumatera Timur, jadi sebenarnya kapitalistis, itu
menaikkan semangat nasional kami sebagai pelajar MULO.
Dari situ saya mengetahui adanya
pergerakan-pergerakan, walaupun tak bisa ikut aktif. Kami tak punya
kesempatan. Cuma, di antara teman-teman kami punya perkumpulan di MULO.
Namanya Patriot. Kumpulan Patriot ini merupakan kumpulan yang tidak
mengikuti kehendak kolonial, kehendak Belanda. Kami, termasuk sebagian
guru, terbilang masuk golongan oposisi, walaupun secara diam-diam.
Ketuanya, waktu itu? Yahya Bahram Rangkuti. Misalnya, kalau ada upacara,
kami tidak mau melagukan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Kami diam
saja, kaki kami geser-geserkan ke teman lain, untuk mengajak agar diam
saja.
Tamat MULO saya ke Yogya masuk AMS-B.
Karena wajah saya seperti orang Belanda, di rumah saya dipanggil Yan.
Itu panggilan kecil orang Belanda. Ketika saya mau ke Jawa, ibu saya
bertanya, “Yan mau ke Jawa. Yan tahu apa yang paling utama?” Saya tidak
tahu. “Yang paling utama adalah mencari nasihat. Bukan memberi nasihat,”
kata ibu saya.
Kebetulan, ada peminta-minta yang cacat
datang. Kemudian saya ditanya emak saya itu. Saya memang memanggilnya
emak. “Kalau tadi Yan sudah menanggapi Emak bilang yang penting mencari
nasihat, bukan memberi nasihat. Nah, sekarang Emak mau tanya. Nasihat
apa Yan bisa dapat dari orang minta-minta itu?” Saya tidak bisa
menjawab. Emak saya lalu menjawab, “Leven geduldig. Kesabaran hidup.
Fitrah manusia bukan untuk mintaminta. Toh dia minta-minta. Satu segi
baiknya, dia betah hidup. Dia sabar.”
Waktu sekolah di Yogya, ucapan emak itu
terus terpikir. Kalau teringat kembali, mencari nasihat berarti kita itu
harus demokratis. Kalau tidak, tidak bisa. Kita harus merendah diri.
Sama dengan cara intelijen. Harus ramah, baru bisa mencari nasihat.
Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai
demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat.
“Yan harus datangi, kenalkan diri, satu,
pada orang yang tertua umurnya di tempat itu. Artinya, pengalamannya.
Kedua orang yang alim ulama. Ketiga, guru. Keempat, orang yang dermawan
yang kaya. Bukan orang kaya yang kikir. Minta nasihat pada orang-orang
ini,” kata ibu saya. Semua nasihat ini, dalam intelijen juga banyak
dipakai, terutama dalam intelijen teritorial.
Kalau nasihat ayah saya lain lagi, karena seorang pamong praja. “Met de hoet in de hand, komt ye in de gang in de wereld,”
artinya. “Dengan topi di tangan, kau bisa datang ke seluruh dunia.”
Maksudnya, dengan hormat, sopan, tidak sombong, kau bisa kunjungi
seluruh dunia. Itulah semua ajaran ibu dan ayah saya. Sama dengan ajaran
intelijen. Dan itu yang saya praktekkan. Karena itu, waktu punya
jabatan dulu, saya tidak membatasi tamu-tamu. Semua bisa menemui saya.
Karena dari tamu-tamu itu saya – mungkin tamu itu cuma minta duit atau
minta apa – saya dapat informasi gratis. Paling tidak dari
lingkungannya. Maka itu, sampai sekarang, saya tidak mau membatasi orang
yang mau bertemu saya. Saya tidak seperti pejabat sekarang. Susah
sekali ditemui orang. Orangtua saya menasihatkan, “Kalau kau mencari
nasihat, kau tidak akan bisa sombong. Kau harus mendengar bicara orang
lain. Hargai pendapat orang lain.” Kalau dari segi politik, itu adalah
benih demokrasi.
Pertama kali di Yogya saya tinggal di
rumah seorang famili guru HIS di Tapaktuan. Dia punya famili di Yogya.
Dengan surat guru itu, saya tinggal beberapa hari di situ, untuk
orientasi. Setelah itu, kami dapat rumah di Gowongan Lor, Yogyakarta, di
tempat Ibu Sastro. Ibu itu punya warung. Dia sangat baik. Sekitar 15
orang yang indekos di situ. Ada yang dan Bugis, ada yang dari Tapanuli,
ada yang dari Medan dan lain-lain. Tapi saya tidak lama di situ. Bersama
delapan teman dari AMS-B dan AMS-A, kami mengontrak rumah sendiri di
Jetis.
Di AMS itu, Belanda memang teliti. Kita
tidak dididik seperti robot. Tapi ilmu kita kita kembangkan. Kalau di
MULO, masih dituntun dalam belajar, di AMS, kita baca sendiri. Seluruh
cabang mata pelajaran ilmu pasti diajarkan di situ, ditambah sedikit
dengan sejarah dan biologi serta bahasa yang tidak begitu mendalam.
Di AMS-B saya pelajar sedang saja. Masih
orang Cina yang jadi nomor satu. Memang, di AMS-B Yogya itu, kebanyakan
orang Cina. Tapi dalam pelajaran Aljabar, saya nomor satu. Di sana ada
sistem, sewaktu-waktu kami disuruh ke depan kelas untuk mencoba
mengajar. Misalnya untuk pelajaran llmu Tata Negara dan Sejarah. Pelajar
diajar agar punya inisiatif, tidak hanya sebagai alat mati. Memang
berbeda dengan zaman sekarang. Guru-guru kami tua-tua semua dan sarjana
semua. Rata-rata doktor dan insinyur. Jarang yang satu titel. Kebanyakan
dua atau tiga titel. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun.
Di AMS-B itu, perasaan kebangsaan tetap
ada, walaupun tidak ada perkumpulan tertentu. Kami sering diskusidiskusi
antarteman, termasuk teman dari Parindra. Kami sering mencemoohkan
Belanda. Di AMS itu kami punya semangat tidak mau kalah dengan Belanda.
Kita tak mau kalah angka dengan pelajar Belanda, sungguhpun dalam bahasa
Belanda. Jadi, boleh dikatakan, belum terorganisasi secara nasional.
Tapi pada umumnya perasaan nasional berkembang. Jadi, betul kata Bung
Karno dalam Manipol itu, bahwa kemerdekaan itu adalah conscious men.
Fitrah manusia.
Dalam pelajaran sejarah di AMS itu,
walaupun gurunya Belanda, mereka tidak menjelek-jelekkan pergerakan
nasional Indonesia. Disebutkan adanya Parindra, Taman Siswa, tapi mereka
tak menjelekkan. Termasuk tidak menjelekkan Bung Karno. Saya di AMS
hanya sampai kelas 2, karena Jepang masuk.
Ada teman saya di AMS-B, lain kelas,
Pawoko namanya, yang tinggal di Gowongan Kidul, bilang, “Kif, ini Jepang
ada buka latihan untuk pemuda. Bagaimana Kif, daripada kita ini anak
muda tidak kerja dan sekolah tidak buka, kita ikut saja.” Saya lupa
waktunya. Ya, sekitar tahun 1942. Jepang baru 1-2 bulan di situ. Umur
saya sekitar 18-19 tahun. Saya lalu ikut. Namanya Seinen Kurenso. Tempat
Latihan Pemuda. Pesertanya banyak dari AMS dan MULO. Di situ kami
diberi pelajaran pokok-pokok kemiliteran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar