Minggu, 20 Oktober 2013

Zulkifli Lubis Komandan Intelijen Pertama …

Dilahirkan pada tahun 1923, Kolonel Zulkifli Lubis adalah peletak batu dan komandan pertama badan intelijen Indonesia. Dia bergerilya di Sumatera dalam perang kemerdekaan. Pemimpin Gerakan Anti 17 Oktober 1952 Deputi Kepala Staf dan Penjabat Kepala Staf Angkatan Darat selama beberapa tahun dengan pangkat kolonel hingga meletakkan jabatan pada tahun 1956 salah satu gembong dalam pemberontakan PRRI – Permesta (1958). Kini tinggal di Bogor sebagai pengusaha. Atas permintaan TEMPO, tokoh yang pernah didongengkan bisa menghilang ini menceritakan panjang lebar sebagian dari perjalanan hidupnya pada wartawan kami, Muchsin Lubis.
(Dimuat dalam Majalah Tempo Edisi 29 Juli 1989)
SAYA dari kakak beradik bersaudara ada sepuluh orang. Tujuh wanita, tiga laki-laki. Kakak saya laki-laki nomor dua tertua sudah meninggal dan adik saya laki-laki yang terkecil, juga sudah meninggal. Jadi, kami dari tiga laki-laki itu, tinggal saya saja yang hidup.

Jadi, kalau jatuh pada acara warisan, tinggal saya yang mengaturnya. Dari saudara wanita, yang paling bungsu meninggal waktu lahir di Tapaktuan. Saya lahir di Banda Aceh yang dulu disebut Kutaraja pada tanggal 26 Desember 1923. Sehari lebih muda dari Natalan. Kalau yang hidup sekarang ini, ada adik di Banda Aceh, kemudian kakak saya di Medan, kemudian kakak saya di Magelang. Saya anak nomor lima.
Saya merasa, saya termasuk putera yang disayangi oleh kakek-nenek saya dan ayah-ibu saya. Mungkin karena laki-laki sedikit sekali di keluarga saya. Kemudian, rupa saya memang agak lain. Rupa saya waktu kecil, seperti orang Barat. Muka putih, rambut pirang dan mata biru, waktu kecil. Maka itu, ketika masih di sekolah rendah, di HIS, saya oleh guru Belanda – saya sampai sekarang tidak tahu sebabnya – saya satu-satunya murid yang didudukkan bersama-sama perempuan, sampai kelas tiga.
Orangtua saya bernama Aden Lubis gelar Sutan Sanalam. Ibu saya, Siti Rewan bermarga Nasution, tapi lahir dan besar di Aceh. Maka itu, kami itu lebih merasa sebagai orang Aceh daripada orang Tapanuli. Saya tahu bahasa Tapanuli, bahasa Mandailing, tapi tidak bisa membicarakan. Hanya mengerti. Kalau boleh dibilang, lahir di Aceh, saya lebih merasa sebagai orang Aceh dan besarnya bersama masyarakat, di Yogya. Tapi bahasa Jawa pun saya tidak pandai, cuma mengerti.
Selama saya sekolah itu, memang saya merasa disayangi orangtua saya maupun kakek-nenek, namun saya lebih dekat dengan ibu. Orangtua saya kedua-duanya guru di sekolah guru, normal school. Tapi ibu saya itu kawin muda, lalu berhenti jadi guru. Ayah saya sesudah 25 tahun kemudian berhenti lalu jadi pamong raja.
Waktu itu ayah saya jadi klerk di Banda Aceh, di kantor gubernur, kemudian pindah ke Tapaktuan. Di Tapaktuan itulah lahir adik saya yang laki-laki paling kecil dan adik saya perempuan paling kecil yang meninggal waktu lahir. Ibu saya pun meninggal dunia di Tapaktuan.
Kalau saya ingat kembali, saya banyak belajar bermacam-macam segi dari orangtua saya. Kalau dari ibu saya, saya belajar tentang kebersihan. Ibu saya itu sangat suka bersih. Kami bersaudara itu, kaki kami semua hanya boleh kena tanah pada hari Minggu saja. Selebihnya itu harus pakai sandal. Selain itu, ibu saya suka membaca dan menyukai sajak. Hingga saya juga ada bawaan suka sajak. Puisi. Dengan sajak Chairil Anwar, saya sangat tertarik, lalu Amir Hamzah, walaupun tidak sampai mendalami.
Kalau dari ayah saya, disiplin. Disiplin waktu dan kemauan kerja. Bapak saya, walaupun masih klerk di zaman Belanda, dia naik sepeda dari Kutaraja ke Lho’ Nga sekitar 14 kilometer, sebagai kontroleur. Pulang balik, mulanya. Karena saya disayanginya, dan belum sekolah, saya diboncengnya. Sampai di Lho’ Nga saya dititipkan ke pesanggrahan, lalu dia pergi ke kantor. Nanti sore hari, pulang naik sepeda lagi. Sampai begitu rupa – mungkin lelah karena usia lanjut – baru kira-kira seminggu sekali pulang ke Kutaraja. Itu tahun 1920-an. Saya memang selalu dibawa Ayah ke mana-mana. Dari dia saya dapat kesungguhan kerja dan pegang waktu.
Kalau dari kakek saya, Angku saya, dia hakim agama di Pengadilan Agama Kutaraja, saya belajar agama, sembahyang. Nama beliau Raja Imbang Nasution. Beliau kakek dari pihak Ibu. Saya adalah cucu yang paling disayangi. Sedang nenek dari pihak Ibu, istri angku saya. orangnya besar tinggi dan gemuk. Waktu kecil, saya sering tidur dengan dia. Kalau dia menumbuk sirih, saya sering ngelon ke dadanya. Karena dia gemuk, jadi hangat.
Saya sekolah dari HIS sampai ke MULO, di Aceh semuanya, sampai tahun 1940-an, sebelum perang. Karena orangtua saya menganggap saya cukup cerdas, pada umur empat tahun lebih sedikit, saya sudah sekolah. Di sekolah saya maju, hingga semua guru sayang pada saya. Baik guru Belanda atau guru Indonesia. Sava sekolah di HIS ke-II di Kutaraja. Pandai berhitung. Cepat. Semua pelajaran, saya senang, cuma pelajaran bahasa yang kurang. Kalau berhitung dan sejarah, saya mendapat nilai sepuluh. Apalagi berhitung luar kepala, saya tetap nomor satu. Ketika sekolah itu saya dipanggil Kifli, bukan Lubis. Nama panggilan ini sampai saya di AMS-B di Yogya. Baru zaman Jepang saya dipanggil Lubis, karena Lubis lebih mudah disebut dalam bahasa Jepang. Saya tamat MULO sekitar tahun 1941.
Saya orang suka membaca. Sewaktu di MULO itu, saya sudah mendengar dan mempunyai kesempatan membaca. Saya setiap hari membaca surat kabar Deli Blaad berbahasa Belanda, terbitan Medan. Kebetulan, anak tetangga saya di Kampung Atuk, dekat Makam Pahlawan, penjual surat kabar, termasuk’ Deli Blaad. Teman itu sering memberikan koran itu pada saya satu lembar. Dari situ saya tahu pidato-pidato Bung Karno, Hatta, Thamrin, dan Volksraad. Sungguhpun surat kabar itu dari modal perkebunan di Sumatera Timur, jadi sebenarnya kapitalistis, itu menaikkan semangat nasional kami sebagai pelajar MULO.
Dari situ saya mengetahui adanya pergerakan-pergerakan, walaupun tak bisa ikut aktif. Kami tak punya kesempatan. Cuma, di antara teman-teman kami punya perkumpulan di MULO. Namanya Patriot. Kumpulan Patriot ini merupakan kumpulan yang tidak mengikuti kehendak kolonial, kehendak Belanda. Kami, termasuk sebagian guru, terbilang masuk golongan oposisi, walaupun secara diam-diam. Ketuanya, waktu itu? Yahya Bahram Rangkuti. Misalnya, kalau ada upacara, kami tidak mau melagukan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Kami diam saja, kaki kami geser-geserkan ke teman lain, untuk mengajak agar diam saja.
Tamat MULO saya ke Yogya masuk AMS-B. Karena wajah saya seperti orang Belanda, di rumah saya dipanggil Yan. Itu panggilan kecil orang Belanda. Ketika saya mau ke Jawa, ibu saya bertanya, “Yan mau ke Jawa. Yan tahu apa yang paling utama?” Saya tidak tahu. “Yang paling utama adalah mencari nasihat. Bukan memberi nasihat,” kata ibu saya.
Kebetulan, ada peminta-minta yang cacat datang. Kemudian saya ditanya emak saya itu. Saya memang memanggilnya emak. “Kalau tadi Yan sudah menanggapi Emak bilang yang penting mencari nasihat, bukan memberi nasihat. Nah, sekarang Emak mau tanya. Nasihat apa Yan bisa dapat dari orang minta-minta itu?” Saya tidak bisa menjawab. Emak saya lalu menjawab, “Leven geduldig. Kesabaran hidup. Fitrah manusia bukan untuk mintaminta. Toh dia minta-minta. Satu segi baiknya, dia betah hidup. Dia sabar.”
Waktu sekolah di Yogya, ucapan emak itu terus terpikir. Kalau teringat kembali, mencari nasihat berarti kita itu harus demokratis. Kalau tidak, tidak bisa. Kita harus merendah diri. Sama dengan cara intelijen. Harus ramah, baru bisa mencari nasihat. Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat.
“Yan harus datangi, kenalkan diri, satu, pada orang yang tertua umurnya di tempat itu. Artinya, pengalamannya. Kedua orang yang alim ulama. Ketiga, guru. Keempat, orang yang dermawan yang kaya. Bukan orang kaya yang kikir. Minta nasihat pada orang-orang ini,” kata ibu saya. Semua nasihat ini, dalam intelijen juga banyak dipakai, terutama dalam intelijen teritorial.
Kalau nasihat ayah saya lain lagi, karena seorang pamong praja. “Met de hoet in de hand, komt ye in de gang in de wereld,” artinya. “Dengan topi di tangan, kau bisa datang ke seluruh dunia.” Maksudnya, dengan hormat, sopan, tidak sombong, kau bisa kunjungi seluruh dunia. Itulah semua ajaran ibu dan ayah saya. Sama dengan ajaran intelijen. Dan itu yang saya praktekkan. Karena itu, waktu punya jabatan dulu, saya tidak membatasi tamu-tamu. Semua bisa menemui saya. Karena dari tamu-tamu itu saya – mungkin tamu itu cuma minta duit atau minta apa – saya dapat informasi gratis. Paling tidak dari lingkungannya. Maka itu, sampai sekarang, saya tidak mau membatasi orang yang mau bertemu saya. Saya tidak seperti pejabat sekarang. Susah sekali ditemui orang. Orangtua saya menasihatkan, “Kalau kau mencari nasihat, kau tidak akan bisa sombong. Kau harus mendengar bicara orang lain. Hargai pendapat orang lain.” Kalau dari segi politik, itu adalah benih demokrasi.
Pertama kali di Yogya saya tinggal di rumah seorang famili guru HIS di Tapaktuan. Dia punya famili di Yogya. Dengan surat guru itu, saya tinggal beberapa hari di situ, untuk orientasi. Setelah itu, kami dapat rumah di Gowongan Lor, Yogyakarta, di tempat Ibu Sastro. Ibu itu punya warung. Dia sangat baik. Sekitar 15 orang yang indekos di situ. Ada yang dan Bugis, ada yang dari Tapanuli, ada yang dari Medan dan lain-lain. Tapi saya tidak lama di situ. Bersama delapan teman dari AMS-B dan AMS-A, kami mengontrak rumah sendiri di Jetis.
Di AMS itu, Belanda memang teliti. Kita tidak dididik seperti robot. Tapi ilmu kita kita kembangkan. Kalau di MULO, masih dituntun dalam belajar, di AMS, kita baca sendiri. Seluruh cabang mata pelajaran ilmu pasti diajarkan di situ, ditambah sedikit dengan sejarah dan biologi serta bahasa yang tidak begitu mendalam.
Di AMS-B saya pelajar sedang saja. Masih orang Cina yang jadi nomor satu. Memang, di AMS-B Yogya itu, kebanyakan orang Cina. Tapi dalam pelajaran Aljabar, saya nomor satu. Di sana ada sistem, sewaktu-waktu kami disuruh ke depan kelas untuk mencoba mengajar. Misalnya untuk pelajaran llmu Tata Negara dan Sejarah. Pelajar diajar agar punya inisiatif, tidak hanya sebagai alat mati. Memang berbeda dengan zaman sekarang. Guru-guru kami tua-tua semua dan sarjana semua. Rata-rata doktor dan insinyur. Jarang yang satu titel. Kebanyakan dua atau tiga titel. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun.
Di AMS-B itu, perasaan kebangsaan tetap ada, walaupun tidak ada perkumpulan tertentu. Kami sering diskusidiskusi antarteman, termasuk teman dari Parindra. Kami sering mencemoohkan Belanda. Di AMS itu kami punya semangat tidak mau kalah dengan Belanda. Kita tak mau kalah angka dengan pelajar Belanda, sungguhpun dalam bahasa Belanda. Jadi, boleh dikatakan, belum terorganisasi secara nasional. Tapi pada umumnya perasaan nasional berkembang. Jadi, betul kata Bung Karno dalam Manipol itu, bahwa kemerdekaan itu adalah conscious men. Fitrah manusia.
Dalam pelajaran sejarah di AMS itu, walaupun gurunya Belanda, mereka tidak menjelek-jelekkan pergerakan nasional Indonesia. Disebutkan adanya Parindra, Taman Siswa, tapi mereka tak menjelekkan. Termasuk tidak menjelekkan Bung Karno. Saya di AMS hanya sampai kelas 2, karena Jepang masuk.
Ada teman saya di AMS-B, lain kelas, Pawoko namanya, yang tinggal di Gowongan Kidul, bilang, “Kif, ini Jepang ada buka latihan untuk pemuda. Bagaimana Kif, daripada kita ini anak muda tidak kerja dan sekolah tidak buka, kita ikut saja.” Saya lupa waktunya. Ya, sekitar tahun 1942. Jepang baru 1-2 bulan di situ. Umur saya sekitar 18-19 tahun. Saya lalu ikut. Namanya Seinen Kurenso. Tempat Latihan Pemuda. Pesertanya banyak dari AMS dan MULO. Di situ kami diberi pelajaran pokok-pokok kemiliteran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar