Perdebatan tentang Resimen Mahasiswa (Menwa) dan militerisme itu
masalah klasik. Dua kubu berseberangan telah mengunci pendapat
masing-masing dan sulit mendiskusikannya di satu meja.
Kubu antimiliter, yang merindukan kejayaan masyarakat madani, dan
kubu yang merasa tak ada persoalan dengan militerisme. Konsekuensi dari
perdebatan lama ini membuat pendapat pembaca didominasi anggota dan
mantan Menwa. Bagi yang kontra?
”Perdebatan itu sudah selesai,
kami anti-militerisme dengan segala bentuknya. Mereka arogan,” begitu
salah satu pendapat yang masuk.
”ABCD” alias ABRI Bukan Cepak
Doang, itulah cap lama yang tetap membuat orang cekikikan mendengarnya.
Ada juga yang memberi predikat paramiliter Indonesia, atau hansip
kampus.
Di internet, perdebatan ini tetap jalan. Namun, tampaknya
perdebatan yang ada sekadar ”reuni” dari kasus-kasus lama. Tensinya tak
seperti masa reformasi dulu jadi adem-adem saja karena Menwa sekarang
berbeda strukturnya.
”Di luar penilaian terhadap ungkapan-ungkapan
tuntutan pembubaran Menwa itu obyektif atau tidak harus diakui secara
jujur bahwa pembinaan terhadap Menwa perlu dikaji ulang,” kata M Parlin
Simanjuntak, mantan Yon Mahajaya Jakarta, yang pernah menjadi Sekretaris
Jenderal Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia dan kini Sekretaris
Jenderal Korps Menwa.
Apalagi, dengan terbitnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2000. Kini, Menwa berada di bawah
pembinaan perguruan tinggi sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM), tidak
lagi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan.
”Kompas Kampus”
mendapatkan sisi lain dari Menwa, yaitu loyalitas dan semangat korps
yang tetap menyala walau mereka sudah mantan anggota. Kepala Pusat
Studi Ketahanan Nasional Komando Nasional Yudha Luqisanto pun ikut
berkontribusi dengan mengirim e-book berformat PDF soal profil Menwa. Sebuah perhatian yang mungkin tak akan didapatkan jika membahas UKM biasa.
Ya,
terlepas dari sorotan soal sifat militerisme yang dibenci sebagian
orang, Menwa memiliki struktur pendapat yang pasti dan tak akan berubah
soal pentingnya pendidikan kedisiplinan dan bela negara. Setelah mereka
lulus dan bekerja, banyak yang mengaku sangat terbantu dengan tradisi di
Menwa.
”Kedisiplinan, jelas banget. Di kantor, saya agak keras
soal disiplin dan selalu tepat waktu,” kata Mawar Sari Suprayogi, mantan
Menwa Yon 3 Universitas Katolik Parahyangan.
”Saya juga taat dengan struktur organisasi di tempat kerja. Kalau melihat mereka yang tak mau ngikutin struktur, kesel juga,” kata Mawar.
UKM khusus
Chairul
Dani, mantan Menwa YON-14 Universitas Trisakti, menjelaskan, posisi
Menwa kini hanya menjadi UKM, setara dengan UKM lainnya. Hanya saja,
Menwa punya sedikit embel-embel, yaitu UKM khusus.
”Ada
embel-embel ’khusus’ karena setiap anggotanya harus melalui dan lulus
pendidikan dasar militer serta tercatat sebagai komponen pasukan
cadangan nasional,” katanya.
Chairul membantah anggapan Menwa
adalah perpanjangan tangan militer masuk kampus. ”Sepertinya itu sudah
tidak relevan lagi, kini sangat sedikit Menwa yang melakukan koordinasi
dengan pihak TNI,” katanya.
”Kalaupun ada, hanya sebatas memenuhi rutinitas jalur komando yang telah ada sejak dulu.
Kegiatan
Menwa lebih banyak berinteraksi dengan sivitas akademika, seperti
pengamanan tes ujian masuk, pengamanan ospek (orientasi studi dan
pengenalan kampus), dan sejenisnya,” ujarnya.
Parlin
menggarisbawahi, karena statusnya pendidikan, Menwa tak boleh digunakan
dalam bentuk operasional. Korps Alumni Menwa-lah yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan operasional dalam ruang lingkup Rakyat
Terlatih.
”Resimen Mahasiswa harus kembali ke khittah-nya, sebagai
Resimen Pendidikan untuk menghasilkan kekuatan Cadangan TNI,” kata
Parlin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar