Sabtu, 19 Oktober 2013

"Ngapain" Masuk Menwa?

Perdebatan tentang Resimen Mahasiswa (Menwa) dan militerisme itu masalah klasik. Dua kubu berseberangan telah mengunci pendapat masing-masing dan sulit mendiskusikannya di satu meja. 
Kubu antimiliter, yang merindukan kejayaan masyarakat madani, dan kubu yang merasa tak ada persoalan dengan militerisme. Konsekuensi dari perdebatan lama ini membuat pendapat pembaca didominasi anggota dan mantan Menwa. Bagi yang kontra?
”Perdebatan itu sudah selesai, kami anti-militerisme dengan segala bentuknya. Mereka arogan,” begitu salah satu pendapat yang masuk.
”ABCD” alias ABRI Bukan Cepak Doang, itulah cap lama yang tetap membuat orang cekikikan mendengarnya. Ada juga yang memberi predikat paramiliter Indonesia, atau hansip kampus.
Di internet, perdebatan ini tetap jalan. Namun, tampaknya perdebatan yang ada sekadar ”reuni” dari kasus-kasus lama. Tensinya tak seperti masa reformasi dulu jadi adem-adem saja karena Menwa sekarang berbeda strukturnya.
”Di luar penilaian terhadap ungkapan-ungkapan tuntutan pembubaran Menwa itu obyektif atau tidak harus diakui secara jujur bahwa pembinaan terhadap Menwa perlu dikaji ulang,” kata M Parlin Simanjuntak, mantan Yon Mahajaya Jakarta, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia dan kini Sekretaris Jenderal Korps Menwa.
Apalagi, dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2000. Kini, Menwa berada di bawah pembinaan perguruan tinggi sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM), tidak lagi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan.
”Kompas Kampus” mendapatkan sisi lain dari Menwa, yaitu loyalitas dan semangat korps yang tetap menyala walau mereka sudah mantan anggota. Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional Komando Nasional Yudha Luqisanto pun ikut berkontribusi dengan mengirim e-book berformat PDF soal profil Menwa. Sebuah perhatian yang mungkin tak akan didapatkan jika membahas UKM biasa.
Ya, terlepas dari sorotan soal sifat militerisme yang dibenci sebagian orang, Menwa memiliki struktur pendapat yang pasti dan tak akan berubah soal pentingnya pendidikan kedisiplinan dan bela negara. Setelah mereka lulus dan bekerja, banyak yang mengaku sangat terbantu dengan tradisi di Menwa.
”Kedisiplinan, jelas banget. Di kantor, saya agak keras soal disiplin dan selalu tepat waktu,” kata Mawar Sari Suprayogi, mantan Menwa Yon 3 Universitas Katolik Parahyangan.
”Saya juga taat dengan struktur organisasi di tempat kerja. Kalau melihat mereka yang tak mau ngikutin struktur, kesel juga,” kata Mawar.

UKM khusus
Chairul Dani, mantan Menwa YON-14 Universitas Trisakti, menjelaskan, posisi Menwa kini hanya menjadi UKM, setara dengan UKM lainnya. Hanya saja, Menwa punya sedikit embel-embel, yaitu UKM khusus.
”Ada embel-embel ’khusus’ karena setiap anggotanya harus melalui dan lulus pendidikan dasar militer serta tercatat sebagai komponen pasukan cadangan nasional,” katanya.
Chairul membantah anggapan Menwa adalah perpanjangan tangan militer masuk kampus. ”Sepertinya itu sudah tidak relevan lagi, kini sangat sedikit Menwa yang melakukan koordinasi dengan pihak TNI,” katanya.
”Kalaupun ada, hanya sebatas memenuhi rutinitas jalur komando yang telah ada sejak dulu.
Kegiatan Menwa lebih banyak berinteraksi dengan sivitas akademika, seperti pengamanan tes ujian masuk, pengamanan ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus), dan sejenisnya,” ujarnya.
Parlin menggarisbawahi, karena statusnya pendidikan, Menwa tak boleh digunakan dalam bentuk operasional. Korps Alumni Menwa-lah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan operasional dalam ruang lingkup Rakyat Terlatih.
”Resimen Mahasiswa harus kembali ke khittah-nya, sebagai Resimen Pendidikan untuk menghasilkan kekuatan Cadangan TNI,” kata Parlin.

Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar