Minggu, 20 Oktober 2013

Jejak Militan Jenderal Soedirman

Ingat, bahwa prajurit Indonesia bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang menjual tenaganya karena hendak merebut sesuap nasi dan bukan pula prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan, tetapi prajurit Indonesia adalah dia yang masuk ke dalam tentara karena keinsafan jiwanya, atas panggilan ibu pertiwi. Dengan setia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara.” —Jenderal Soedirman (1916-1950)
Saat usianya masih 31 tahun Soedirman sudah menjadi seorang jenderal, beliau bukan jenderal akademik tetapi jenderal karena prestasi. Melalui Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Nama Panglima Besar yang disandang oleh  Soedirman bukanlah berasal dari pemerintah, melainkan datang dari para pimpinan pasukan yang berkumpul di Yogyakarta, 12 November 1945, untuk memilih satu dari mereka yang menjadi pemimpin tentara. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945,  pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden.
Pengabdian Panglima Besar Soedirman hanya bagi kemerdekaan bangsanya “ Tentara kita jangan sekali–kali mengenal sifat menyerah kepada siapa pun juga, yang akan menjajah dan menindas kita kembali”. Inilah sikap patriotik sang Panglima Besar. Komitmen pada janji membela bangsa dan negara tanpa kenal menyerah. Prinsip–prinsip ini dapat dilihat pada salah satu kata–kata mutiara Jenderal Besar Soedirman berikut : “ Jangan sekali–kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat bahwa tiap–tiap perjuangan tentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji sekali kita tepati” (Asren Nasution, 2003)
Panglima Besar Jenderal Sudirman mengingatkan, “ Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan Negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara memegang teguh kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh” (Jogjakarya 27 Mei 1945).
Apa yang diperankan oleh Jenderal Besar Soedirman selama karir militernya memberikan data konkret mengenai militansi yang tinggi dan patriotisme yang begitu kental. Ia rela meninggalkan sang isteri tercinta dan keluarganya, bahkan rela menahan sakit dengan melawan nasihat dokter, walau ia tahu bahwa hal ini dapat mengancam jiwanya. Dengan bahasa yang mantap Jenderal Besar Soedirman mengatakan : “ Kalau dizaman damai, saya akan menuruti nasihat dokter, tetapi kalau seperti sekarang ini, zaman perang, diharap maaf saja” (Asren Nasution, 2003: 155). Hal tersebut terungkap dalam dialog Jenderal Besar Soedirman dengan dokter pribadi beliau, yaitu Dr. Suwondo, ketika sang Jenderal ingin bergerilya.
Hasil perundingan Roem-Royen  mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari pihak TNI.  Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman pada tanggal 1 Mei 1949 mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada komandan-komandan kesatuan memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan.  Ada 10 butir amanah Jendaral Soedirman  antara lain :
  1. Tunaikan sumpah dan tugas kewajiban sebagai prajurit negara Republik Indonesia, yang sanggup menjamin keamanan dan keselamatan nusa dan bangsanya.
  2. Jagalah persatuan dalam tentara, sehingga dalam tentara kita dapat menjadi utuh satu dan merupakan satu bentuk yang kokoh kuat dalam menghadapi apapun.
  3. Peliharalah dengan tulus ikhlas taat disiplin dalam tentara kita.
  4. Dan saat musuh merajalela di daerah kita, jangan sekali–kali para komandan turut memikirkan akan datangnya perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan belaka.
  5. Ingat dan insyaflah, bahwa penderitaan pahit semenjak 19 Desember 1948 itu disebabkan karena sebagian besar para pemimpin kita, baik sipil maupun militer, sama–sama terpikat oleh perundingan, sehingga mereka lupa bahwa Belanda telah bersiap–siap lengkap di depan pintu kita.
  6. Soal perundingan, serahkan sepenuhnya kepada pucuk pimpinan yang bertanggungjawab atas keselamatan angkatan perang seluruhnya.
  7. Saya telah bersiap lengkap dengan syarat dan usal-usul yang saya ajukan pada pemerintah kita, syarat dan usul–usul mana saya sesuaikan dengan semangat dan jiwa perjuangan tentara kita dan rakyat pada dewasa ini pula mengingat serta memperhatikan suara–suara dari pada komandan–komandan terutama yang langsung memimpin pertempuran.
  8. Jangan bimbang dalam menghadapi macam-macam penderitaan, karena semakin dekat cita–cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami.
  9. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan sesuai negara yang didirikan diatas timbunan/runtuhan korban jiwa/harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia sipa pun.
  10. Berjuang terus, saya tetap memimpin kamu sekalian. Tuhan insya Allah melindungi perjuangan suci kita (Asren Nasution, 2003: 153-154).
Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem-Van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan (KMB). Usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Soedirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini. Lima tahun mengabdi sebagai Panglima Besar sampai akhir hayatnya  meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Soedirman adalah salah seorang  tokoh pejuang 45 yang telah mendarma-baktikan jiwa raga dan kemampuan yang dimilikinya untuk keluhuran cita-cita bangsa. Perjalanan hidupnya telah menimbulkan kesan yang mendalam dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Maka kiranya sepakatlah kita jika amal baktinya itu diabadikan dan dikomunikasikan. Jangan sampai terhapus oleh lampaunya waktu.
“Kemewahan adalah permulaan keruntuhan. Kesenangan melupakan tujuan. Iri hati merusak Persatuan. Keangkaramurkaan menghilangkan kejujuran”
(Amanat Jenderal Soedirman).
Referensi
  1. Nasution, Asren. 2003. Religiositas TNI: Refleksi Pemikiran dan Kepribadian Jenderal Besar Soedirman. Jakarta: Kencana.
  2. Jenderal Soedirman (1916-1950) Panglima dan Jenderal Pertama RI
  3. Pesan Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman
  4. Nasution, Asren. MENJAGA NETRALITAS TNI DALAM PILPRES 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar