Jauh
sebelum hingar-bingar rencana pembuatan jet tempur KFX/IFX, tepatnya 1
Agustus 1954, sebuah pesawat ringan berkategori tempur sejatinya telah
mengudara di tanah air. Itulah pesawat yang kemudian diberi nama
NU-200 Sikumbang. Saat ini, monumen pesawat rancangan Mayor Udara
Nurtanio ini dapat dilihat di kawasan pabrik PT. Dirgantara Indonesia di
Bandung Jawa barat. Mungkin banyak pembaca telah mengetahui tentang
pesawat ini. Tapi tahukah anda, filosofi dan hasil uji terbang Sikumbang
sesungguhnya? Ternyata Mayor Udara Nurtanio sebagai perancang dan
pembuat pesawat ini pernah menulisnya dalam Majalah Angkasa edisi TH.VI
Oktober 1955. Berikut ini adalah intisarinya.
Ada salah kaprah dalam penggolongan jenis pesawat Sikumbang. Dalam
literatur masa kini, disebutkan Sikumbang adalah jenis pesawat anti
gerilya (Counter Insurgency). Namun pada kenyataannya, Nurtanio
merancang Sikumbang sebagai pesawat pengintai ringan bersenjata. Dalam
benak Nurtanio, pesawat-pesawat yang dioperasikan AURI medio 1950an
belum ada yang tepat untuk melakukan misi pengintaian bersenjata. AURI
memang sudah mengoperasikan pesawat intai Auster atau L-4J. Namun
pesawat itu dinilai terlalu lamban, serta tidak dilengkapi senjata.
Alhasil sasaran-sasaran yang telah ditemukan akan dibiarkan terlebih
dahulu. Namun, dengan pesawat semacam Sikumbang, maka sasaran bisa
langsung ditindak. Sementara, jika pengintaian menggunakan pesawat
Mustang atau Jet, maka hasilnya tidak optimal lantaran dinilai terlalu
cepat. Lebih daripada itu, Nurtanio juga membayangkan, Sikumbang ini
nanti bisa menembak jatuh pesawat intai yang terbang sangat pelan,
dimana pesawat sejenis itu justru sukar ditembak pesawat pemburu
berkecepatan tinggi.
Selanjutnya, dalam hal perancangan, Nurtanio juga memikirkan banyak
hal terkait proses produksi nantinya serta operasional. Nurtanio sangat
menggaris bawahi, bahwa pesawat ini harus dapat dibuat sendiri oleh
AURI, meski mesin tetap beli dari luar negeri. Lalu ongkos operasional
yang lebih murah dari pesawat Harvard atau Mustang. Desain pesawat
Sikumbang akan dibuat dengan sederhana, sehingga penerbang-penerbang
AURI dapat mudah mengemudikan, tanpa perlu latihan transisi yang panjang
dari pesawat lain. Kesederhanaan pesawat juga diperlukan agar pesawar
bisa operasional di garis depan tanpa dukungan memadai. Untuk misi
pengintaian, kanopi akan dibuat lebar dan leluasa, sehingga pilot
mempunyai bidang pandang yang baik untuk misi pengintaian dan
penyerangan. Selain itu, Sikumbang juga bisa digunakan untuk Gerilya
Udara maupun Lawan Gerilya. Filosofi demikian ini tentu mengingatkan
kita pada pesawat OV-1 Mohawk atau OV-10 Bronco yang muncul beberapa
dekade setelahnya. Sungguh luar biasa pemikiran para pendahulu kita itu.
Untuk memenuhi hal tersebut maka Sikumbang harus memenuhi beberapa
syarat. Diantaranya, konstruksi pesawat musti amat sederhana namun
kuat, sehingga bisa mendarat di lapangan kecil dan kasar seukuran 30x350
meter, serta gampang diperbaiki meski di garis depan. Untuk misi
pengintaian, pesawat diharapkan dapat terbang cukup pelan dan stabil
dengan kecepatan sekitar 80 mil/jam. Namun demikian, untuk pertahanan
diri, serta memburu pesawat intai (capung) musuh, Sikumbang mampu melaju
hingga 160 mil/jam. Sikumbang juga dipersyaratkan mudah dikemudikan dan
manuverability-nya bagus. Untuk eksekusi sasaran darat dan udara,
nantinya Sikumbang akan dilengkapi dengan 2 buah senapan mesin kaliber
7,7mm dan tambahan 4 buah roket atau 2 buah bom napalm. Komunikasi
dengan pasukan di darat pun sudah dipikirkan dengan menempatkan radio
secukupnya.
Namun demikian, pada saat proses pembuatannya ternyata tidak lah
mudah. Hambatan utama datang dari material dan bahan pembuatan pesawat.
Untuk membuat prototipe pertama ini, Nurtanio dan kawan-kawan
menggunakan bahan-bahan yang sudah tak terpakai oleh AURI, alias
rongsokan. Hal ini bisa diduga lantaran situasi negara yang belum
benar-benar stabil, sehingga dukungan keuangan untuk mencari bahan ke
luar pun sangat terbatas.
Kesulitan utama yang dihadapi tim perancang adalah dari mesin.
Menurut literaturnya mesin De Havilland Gipsy Six mampu menyemburkan
tenaga sebanyak 200HP. Namun kenyataannya, mungkin lantaran sudah tua
dan bekas, saat dipasangkan mesin hanya mampu menggenjot hingga 175HP
saja. Ditambah bobot mesin yang cukup berat, yaitu sekitar 450 lbs, maka
kemampuan Sikumbang pun melorot jauh dari persyaratan yang diminta.
Namun Nurtanio sendiri sudah mencatat kelemahan itu. Ia berharap, pada
seri produksi akan digunakan mesin Continental 470-A yang memiliki daya
225HP namun beratnya hanya 350lbs.
Selain mesin, bahan baku body pesawat juga menjadi masalah. Lantaran
terbatasnya material, bagian sayap dan bidang ekor harus dibuat
menggunakan kayu. Hal ini justru menambah bobot pesawat serta
menjadikannya tidak tahan iklim. Selain itu, konstruksi alat pendarat
juga lebih berat, lantaran hanya itu yang ada di gudang AURI. Akibatnya,
pesawat prototipe mengalami pembengkakan bobot mencapai 200 lbs.
Hasil Uji Terbang
Meski mengalami banyak kekurangan, kesaksian para pilot yang menguji
terbang ternyata cukup memuaskan bagi Nurtanio. Karakteristik STOL bisa
dilaksanakan dengan baik. Dilaporkan Sikumbang pernah mendarat hanya
dalam jarak kurang dari 150 meter dengan muatan secukupnya. Namun untuk
take off dengan jarak 350 meter dengan muatan penuh dan tanpa angin
masih dirasa berat. Bila mesin Gypsi diganti dengan yang lebih kuat,
Nurtanio yakin masalah itu bisa diatasi.
Demikian pula dengan kecepatan terbang. Untuk terbang pelan yaitu
sekitar 80 mil/jam, tidak ada masalah berarti. Apalagi stall speed
Sikumbang hanya 55 mil/jam, sehingga dengan kecepatan 80 mil/jam pesawat
dapat dikemudikan dengan baik dan stabil. Namun untuk kecepatan
maksimum mendatar yaitu 160 mil/jam masih berat dicapai lantaran
kurangnya daya mesin. Demikian pula dengan Rate of Climb pesawat.
Awalnya Nurtanio menginginkan pesawat memiliki daya tanjak hingga
1200ft/min, namun pada uji terbang, maksimal yang bisa dicapai hanya 650
ft/min.
Sementara untuk persenjataan, belum semuanya bisa dipasang dan diuji
coba. Hanya 2 senapan mesin 7,7 mm yang telah dipasang dan diuji dengan
hasil cukup memuaskan. Namun demikian, alat pembidik masih harus
disempurnakan. Sementara untuk penempatan roket dan bom, baru akan diuji
coba pada seri produksi.
Selanjutnya Nurtanio dan kawan-kawan memang mengembangkan Sikumbang
menjadi Nu-225. Pada seri ini, terlihat kanopi makin lebar. Namun tidak
diketahui mengenai performa pesawat ini. Penulis sendiri belum menemukan
catatan mengenai pembuatan dan uji terbang Nu-225. Sayangnya, hingga
kini juga belum diketahui apa penyebab dibatalkannya seri produksi
Sikumbang. Situasi negara yang masih rawan, kesibukan AURI dimasa itu
dimana terjadi banyak pemberontakan, hingga masalah keuangan negara
ditengarai menjadi penyebabnya.
Di masa kini, pesawat seperti Sikumbang boleh dibilang jauh
ketinggalan jaman. Namun fillosofi dan pemikiran dibalik pembuatannya
oleh Mayor Udara Nurtanio dan kawan-kawan, sungguh mengagumkan. Dimasa
itu, ia bukan hanya memikirkan sebuah pesawat yang cocok untuk misi-misi
AURI namun juga jauh ke depan.
Spesifikasi NU-200 SikumbangData dari Jane's All The World's Aircraft 1955–56
General characteristics
· Crew: 1
· Length: 8.16 m (26 ft 9 in)
· Wingspan: 10.61 m (34 ft 10 in)
· Height: 3.35 m (11 ft 0 in)
· Wing area: 16.9 m2 (182 sq ft)
· Aspect ratio: 6.6:1
· Airfoil: NACA 23015 at root, NACA 23009 at tip
· Empty weight: 795 kg (1,753 lb)
· Gross weight: 1,090 kg (2,403 lb)
· Fuel capacity: 205 L (54 US gal; 45 imp gal)
· Powerplant: 1 × de Havilland Gipsy Six air-cooled inverted six-cyliner inline engine, 150 kW (200 hp)
· Propellers: 2-bladed fixed pitch
Performance
· Maximum speed: 256 km/h (159 mph; 138 kn)
· Cruising speed: 224 km/h (139 mph; 121 kn)
· Range: 960 km (597 mi; 518 nmi)
· Service ceiling: 5,030 m (16,503 ft)
· Rate of climb: 5.1 m/s (1,000 ft/min)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar