Minggu, 20 Oktober 2013

Kisah Intel CIA di Bogor


DIA jauh dari sosok agen rahasia dalam film spy Amerika yang kerap kita tonton. Robert Marshall Read tidaklah gagah. Usianya 56 tahun. Badannya ringkih, dan rambutnya putih perak. Hidungnya khas: tinggi berlengkung tajam.

Sudah sepekan lelaki itu meringkuk di sel pojok kanan lantai satu gedung Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Tapi dia memang agak istimewa. Selama ditahan, selnya kerap dikunjungi warga asing.

Siapa Marshall? Dua informasi berbeda mencuat tentang lelaki ini. Ada yang bilang dia agen Central Intelligence Agency (CIA) yang bermarkas di Washington DC, Amerika. Sebaliknya, dia disebut-sebut buronan lembaga mata-mata kelas wahid itu.

Tapi mari berpegang pada keterangan resmi Mabes Polri, bahwa Marshall adalah bekas CIA, dan sekaligus buronan lembaga mata-mata itu. Dia dituduh terlibat perdagangan senjata api gelap, dan sejumlah kejahatan lain di Amerika, Inggris, dan Rusia.

Kata polisi, Marshall agen yang licin. CIA memburunya sejak 1974. Mengantongi 50 paspor berbagai negara, dia bisa melanggang ke pelbagai penjuru dunia.

Pada Agustus 2007, dari Johor, Malaysia, dia menyeberang ke Batam.  Di Indonesia, petualangannya lebih seru. Dia jatuh cinta dengan Lisna Herawati saat berada di Jakarta. Dia pun menikah dengan gadis 32 tahun itu. Mereka menetap di Cianjur. Lengkap dengan KTP dan paspor setempat.

Enam bulan kemudian, Marshall hendak meninggalkan Indonesia. Bersama Lisna, dia mengurus paspor di Kota Bogor, pada Januari 2008. Tapi, entah salah pada bagian apa, petugas Imigrasi di Bogor curiga. Kepala Imigrasi Bogor meneruskan informasi ini ke Kedutaan Besar Amerika. Lalu kedutaan itu mengutus tiga petugasnya. Di sinilah pertama kali muncul cerita Marshall adalah buronan CIA itu.

Setelah penangkapan itu, tak jelas di mana Marshall berada. Cerita soal dia simpang-siur. Informasi dari petugas Imigrasi saat itu, Marshall segera dideportasi ke Amerika.

***

Senin 14 Januari 2010. Seorang calo paspor, R. Simbolon, datang ke kantor Imigrasi Bogor di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor. Simbolon membawa dokumen atas nama Robert Marshall Reid. Tujuannya mengurus paspor. “Dia menempuh prosedur normal,” kata Kepala Imigrasi Bogor, Ahmad Hasaf.

Petugas pun meminta Simbolon membawa Marshall pada Selasa 15 Januari 2010. Lelaki itu tiba pukul 10.30 WIB, bersama istrinya Lisna Herawati. Petugas mewawancarainya kembali. Aneh memang. Petugas imigrasi seperti tak punya data pemeriksaan Marshall dua tahun silam.

Tapi toh tetap ada yang mencurigakan. Marshal mengaku warga Indonesia keturunan Inggris. Namun gagap bicara Indonesia. “Padahal seluruh dokumennya menunjukkan dia Indonesia asli,” kata Ahmad.

Marshall punya kartu tanda penduduk bernomor 09.5005020352.0248 yang diteken Lurah Cempaka Putih Timur, Rugan M. Faisal. Di dalam KTP itu tertulis Robert beragama Islam, lahir di Jakarta, dan beralamat di Jalan Cempaka Putih Tengah XV/6 RT 01/08, Jakarta Pusat.

Selain KTP, ada juga buku nikah bernomor 134/52/III/2006, diteken H. Damar yang disebut petugas Kantor Urusan Agama Mampangprapatan, Jakarta Selatan. Di kolom isteri tertera nama Lisna dengan wali nikah Badang, seorang purnawirawan TNI.

Dokumen itu diduga palsu. Untuk kedua kalinya Marshall digiring ke ruang Pengawas dan Penindak Keimigrasian. Sayangnya, si calo Simbolon yang hendak diperiksa sudah kabur duluan. Lisna juga tak bisa menjawab soal status kewarganegaraan Marshall. ”Selanjutnya, saya melaporkannya ke Kedutaan Amerika,” kata Ahmad.

Hari itu juga tiga petugas Kedutaan Amerika datang ke Bogor. Setelah berbicara dengan Marshall dan meneliti data-datanya, tiga petugas itu mengakui Marshall warga negara mereka. “Disebutkan, Marshall pelaku tindak kriminal dan buronan tiga negara yakni AS, Inggris dan Rusia,” katanya.

Menurut informasi dari Kedutaan Amerika yang masuk ke Ahmad, Marshall terlibat kasus cek kosong, pemalsuan dokumen, dan senjata illegal. Cerita ini persis seperti disampaikan petugas Kedutaan Amerika dua tahun lalu.

Sehari kemudian, Marshall dititipkan ke tahanan Mabes Polri. Di sinilah muncul informasi Marshall adalah agen CIA. “Kami mencari tahu apa motifnya berada di Indonesia,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Ito Sumardi.

***

Jejak CIA di Indonesia, sepertinya juga bukan hal baru. Setidaknya, cerita itu sudah muncul sejak lembaga intel berdiri 1947. Pada masa itu, Harry S. Truman memimpin Amerika (1945-1953), dan dia membuat doktrin mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi. Amerika lalu rajin menghadang komunisme di seluruh dunia.

Pada masa Sukarno, yang anti imperialisme, dan condong ke Partai Komunis Indonesia, Indonesia menjadi intaian CIA. Tercatat sejumlah pemberontakan dalam negeri, disebut-sebut berkait dengan intelijen Amerika. Sepak terjang lembaga intel Abang Sam ini pernah diulas tajam dalam Legacy of Ashes, the History of CIA, karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, pemenang Pulitzer.

Setelah Sukarno tumbang, cerita soal intel Amerika beraksi di Indonesia muncul samar-samar. Layaknya organisasi intel, tak tercium geraknya. Paling banter, tudingan diarahkan ke jaringan Amerika di lingkaran elit teknokrat. Pada awal orde baru, sempat mencuat sebutan Mafia Berkeley, semacam koneksi elit pendukung orde baru, yang dididik di Universitas Berkeley, California, Amerika.

Nama CIA juga timbul tenggelam. Terakhir, misalnya, ada tudingan Laboratorium Namru-2 di Departemen Kesehatan bekerja untuk kepentingan intelijen Amerika. Namru adalah kerjasama Departemen Kesehatan RI dan Angkatan Laut Amerika sejak 1975. Dua lembaga swadaya masyarakat, An Nashr Institute dan Medical Emergency Rescue Committee menuding lab itu bekerja untuk intelijen Amerika. Para peneliti Namru, kata mereka, boleh membawa penelitian ke luar Indonesia tanpa diperiksa.

Terakhir, nama CIA mencuat tatkala penangkapan Umar al Faruq di Bogor pada 2002. Dicokoknya al-Faruq adalah bagian “perang melawan teror” yang digelorakan George W Bush setelah serangan al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin, ke dua menara WTC di New York, 11 September 2001.

Amerika menuding Al-Faruq kaki tangan jaringan bin Ladin di Asia Tenggara.  Persembunyian Umar terbongkar setelah polisi mendapat bisikan informasi dari  CIA. Al-Faruq lalu dijebloskan ke penjara Amerika Serikat di Bagram, Afghanistan. Memang, ada cerita dia berhasil kabur, dan kembali ke Irak, negara kelahirannya. Lalu, Al-Faruq diberitakan tewas dalam pertempuran di Basra, Irak Selatan, pada Oktober 2006.

Sejak itu, nama intel Amerika kerap muncul dalam aksi anti teroris di nusantara. Tentu saja, semua dalam format kerjasama Amerika-Indonesia.

***

Lalu apa tugas si ‘agen’ Marshall yang tertangkap di Bogor ini? Pemeriksaan pun dilakukan intensif oleh berbagai lembaga. Selain polisi, Marshall juga ditelisik oleh aparat Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Tapi jawabannya toh sama. Kepada penyidik, Marshal menampik bahwa dirinya adalah CIA. Sayangnya, tak banyak informasi keluar dari mulutnya.  Dari Kedutaan Besar Amerika juga tak ada komentar soal ini.

Sampai lelaki berhidung tinggi dengan lengkung tajam itu dipaksa pulang ke negerinya, Marshall hanya dinyatakan bersalah karena satu hal: melanggar aturan imigrasi. “Soal intelijen saya belum tahu,” kata Ito Sumardi.

Bahaya Bermain Agen Ganda

– Badan intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk kesekian kalinya mendapat tamparan yang memalukan. Kali ini sumbernya datang dari insiden yang menyebabkan tujuh agen lapangan CIA dan seorang intel Yordania tewas. Peristiwa naas itu bahkan terjadi di kantor perwakilan CIA di Afganistan, akhir Desember 2009 lalu.
Kendati dibantah oleh CIA dan pihak berwenang Amerika, banyak pengamat meyakini bahwa insiden itu terjadi akibat gegabahnya CIA dalam merekrut agen ganda.
Alkisah, seorang simpatisan al-Qaidah bernama Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi berhasil mengelabui para agen CIA di Afganistan. Caranya, dia berpura-pura sudah beralih kiblat ke Amerika dan berhasil meyakinkan mereka bahwa dia memiliki informasi tentang keberadaan pimpinan al-Qaidah.
Melalui perantara seorang intel dari Yordania, CIA lalu mengundang al-Balawi datang ke markas mereka. Yang fatal, al-Balawi dipersilakan masuk tanpa melalui pemeriksaan keamanan.
Para agen lapangan CIA sudah hakulyakin bahwa al-Balawi termasuk orang yang bisa dipercaya berkat rekomendasi agen dari Yordania itu, yang telah menangkap dan mengindoktrinasi al-Balawi sejak tahun lalu.
Alhasil, bukan informasi penting yang didapat, nyawa mereka yang melayang. Buat al-Balawi, undangan dari CIA ini adalah peluang emas yang tak dia sia-siakan untuk menunaikan misi penting dari pimpinan al-Qaidah: menjadi pengebom bunuh diri.
Para pejabat tinggi Amerika, termasuk Presiden Barack Obama, diam seribu bahasa tentang insiden itu. Apalagi, tak lama kemudian Amerika kembali diteror upaya pengeboman pesawat Northwest Airlines yang gagal dilakukan seorang penumpang asal Nigeria, pada 25 Desember lalu. Sama seperti al-Balawi dia juga merupakan simpatisan al-Qaidah di Yaman.
***
Menurut sejumlah pengamat, mengoperasikan agen ganda merupakan salah satu taktik andalan CIA dalam beroperasi di wilayah-wilayah yang sulit ditembus. Dengan mengandalkan tenaga lokal, CIA berharap bisa mendapatkan informasi intelijen yang lebih akurat dan lengkap. Itulah pula harapan CIA kepada al-Balawi, yang dikenal memiliki jaringan yang cukup luas di Afganistan.
Namun, seperti diakui CIA, bermain agen ganda memiliki resiko tersendiri. Menurut buku panduan CIA yang ditulis pada 1960an, itu merupakan operasi kontra intelijen yang rumit dan membutuhkan perhatian khusus.
Amerika dan Inggris pernah dengan cemerlang memanfaatkan agen ganda saat berperang dengan Nazi di Perang Dunia Kedua. Mereka mengetahui bahwa Nazi menempatkan seorang intel asal Spanyol di Inggris bernama Juan Pujol Garcia, yang memiliki kode sandi “Garbo.”
Garcia berhasil diciduk, namun penangkapannya tidak diketahui dinas intelijen Jerman, Abwehr. Berkat imbalan dan ampunan dari pimpinan intelijen Amerika dan Inggris, Garcia sepakat bekerja sama dan sengaja dibiarkan bekerja untuk Abwehr.
Sembari mengumpulkan data-data intelijen dari Jerman, Garcia lalu ditugasi menyuplai informasi sesat kepada Nazi mengenai kekuatan dan pergerakan pasukan sekutu di Inggris.
Operasi pengecohan Garcia yang terkenal terjadi saat Sekutu mempersiapkan penyerbuan ke Prancis. Garcia berhasil meyakinkan para penghubungnya dari Jerman bahwa Sekutu akan melancarkan serangan menuju Norwegia. Mendengar, informasi itu,
Nazi menumpuk kekuatan di Norwegia sekaligus mengurangi kekuatannya di Prancis. Hitler dan pimpinan militer Jerman termakan informasi sesat yang dikirim Garbo. Sekutu tidak pernah menyerang Norwegia, melainkan menggempur Prancis di Pantai Normandy, pada 6 Juni 1944, yang menjadi titik balik kemenangan pasukan Sekutu.
Berkat informasi yang didapat Garcia dari Jerman, Sekutu berhasil mengantisipasi serangan roket Nazi. Garbo pun terus menyuplai informasi sesat kepada Jerman hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Atas jasanya itu, Garcia mendapat penghargaan Iron First Class dari pemerintah Inggris. Padahal, penghargaan prestisius itu selama ini hanya diberikan kepada mereka yang bertempur di medan perang. Menyusul kesuksesan Garbo, pada Perang Dingin Amerika gencar mengerahkan agen-agen ganda mereka.
***
Kolonel John Hughes-Wilson, mantan pejabat intelijen Inggris, mewanti-wanti agen ganda harus terus dikendalikan dan selalu diawasi dengan ketat. Lengah sedikit, kata Hughes-Wilson bayarannya adalah insiden fatal seperti di Afganistan itu.
“Di sinilah kesalahan Yordania. Mereka merekrut seseorang yang pada dasarnya adalah jihadis dan berpikir bisa dengan gampang mengubah pendiriannya selama di penjara.”
 VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar