Minggu, 20 Oktober 2013

Pengakuan Dedengkot CIA

CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelejen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Tiga huruf itu kemudian bergetar di seluruh dunia sebagai tangan-tangan hitam Amerika.  Artikel ini adalah kutipan dari buku Portrait of a Cold Warrior: G.P. Putnam’s Sons karya Joseph Burkholder Smith, bekas agen Central Intelligence Agency, terbitan 1976. Majalah Tempo pada 1988 menulis, Joseph tak ragu-ragu menguliti keanehan, kelucuan, kecerobohan, bahkan ketololan organisasi rahasia CIA, termasuk usaha mendongkel pemerintahan Soekarno dengan membantu gerakan separatis PRRI dan Permesta.
Butuh waktu buat saya untuk membiasakan diri memakai papan nama yang dikalungkan ke leher. Untuk membiasakan diri menyadari bahwa kerja saya selanjutnya akan didominasi oleh lemari dengan tiga kombinasi. Setiap malam, segala sesuatu, sampai pita mesin ketik pun, mesti diamankan di dalam lemari itu. Sementara itu, tiga petugas berganti-ganti memeriksa, untuk meyakinkan segala sesuatu normal-normal saja. Siapa pun melanggar aturan-aturan tersebut akan dihukum: harus menempuh ulang pendidikan sekuriti selama satu minggu. Kabar burung mengatakan, tiga pelanggaran akan membawa pemecatan.
Pikir-pikir, segala macam peraturan pengamanan yang mengatur hidup saya dengan edannya itu hanya aneh-anehan saja, bahkan sering lucu. Coba pikir, sudah ada pagar jangkung, ada pengawal gerbang yang melindungi dan memelihara keamanan gedung, ada seabrek aturan sekuriti, masih ada lagi akal: tak memasang papan nama. Tampaknya, tak ada yang ingat bahwa jajaran gedung CIA yang tak diberi tanda pengenal itu justru akan mengundang kecurigaan. Karena itulah satu-satunya bangunan tanpa tanda pengenal.
Aturan sekuriti pribadi tak kalah lucunya, karena bertentangan dengan aturan fisik di kantor. Para karyawan mendapat instruksi: tidak boleh mengatakan bahwa mereka bekerja buat CIA. Terutama para pejabat di Bagian Klandestin, tempat saya bekerja. Tapi anehnya, tak ada seorang pun yang berpikir untuk memperlengkapi kami dengan semacam topeng samaran. Dalam hal itu, kami jadi mengandalkan pada kelihaian masing-masing. Sementara itu, untuk hal-hal yang penting seperti referensi kredit atau referensi dalam menyewa rumah, dan membuka rekening di bank, kami hanya diberi referensi yang sama — Viola Pitts, 2430 “E” Street, N.W.
Selalu diingatkan agar kami tidak membiarkan siapa pun melihat pas kami. Dengan pas tersebut kami diperbolehkan masuk ke dalam kompleks setiap pagi. Tapi tampaknya tak ada seorang pun yang berpikir tentang masalah sekuriti di pelataran parkir. Setiap pagi serentetan orang, bagaikan parade, dengan santainya berjalan dari lapangan parkir dan masuk ke dalam gedung-gedung. Barisan kami demikian jelasnya, sehingga tak diperlukan tanda pengenal lain untuk masuk. Matac mata Soviet pasti akan tahu siapa “barisan manusia yang masuk ke dalam gedung tak dikenal” itu.
Jam kerja di Gedung “L” dan “K” dimulai pukul 0.30, tapi persoalan mendapatkan tempat parkir menyebabkan hampir semua orang mesti datang lebih pagi. Mereka yang datang pagi biasanya berkumpul di kafetaria buat minum kopi.
Setiap pagi saya mendapat kesempatan mengamat-amati rekan-rekan sekerja. Dari kebiasaan itu, dapat saya simpulkan bahwa perubahan masa jelas sekali tergambar pada kami. Umumnya “karyawan” tipe baru sangat muda usia. Yang lebih senior selalu memasuki kafetaria dengan topi. Mereka benamkan kepalanya dalam-dalam ke topi sampai hampir kehilangan alis. Atribut itu sudah lama lenyap dari busana mereka yang lebih muda. Entah kenapa orang-orang yang lebih tua itu masih saja mempertahankannya.
Saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mengomentari pemakaian topi itu. “Kau pasti akan melihat sendiri nanti pada waktu menjalani latihan untuk Bagian Klandestin,” kata John, seorang rekan baru saya. “Memang masih agak lama. Tapi baiklah, supaya tidak penasaran, aku ceritakan sekarang saja. Orang-orang itu adalah bekas agen FBI atau perwira dalam Bagian Kontraintelijen Tentara. Mereka biasanya diajar, betapa pentingnya seorang agen rahasia selalu memakai topi.”
“Mengapa?” tanya saya penasaran. “Kita mesti pakai topi. Itu upaya terbaik supaya sukar dikenal,” jawab John.
Menurut buku pintar latihan FBI, kata John, sebuah topi akan menyulitkan orang memandang kita, bila berpapasan. Khususnya agen rahasia musuh. Walhasil, pakailah topi, dan, simsalabim, tak akan mudah dikenal.
Lantaran kemahiran Direktur FBI J. Edward Hoover dalam bidang PR, FBI memiliki reputasi tinggi sebagai organ yang paling profesional dalam bidang rahasia-rahasiaan. Cara-cara yang digunakannya diikuti oleh Korps Intelijen Angkatan Darat. CIA pun, terutama Direktorat Klandestin, kemudian menguntitnya. Mitos topi yang aneh itu demikian hebatnya, sehingga perlu waktu sepuluh tahun bagi Direktorat Klandestin untuk menyadari kenyataan: bahwa orang yang duduk di pojok tanpa banyak omong dan memakai topi adalah manusia yang paling dlperhatikan di dalam ruangan atau jalanan.
Ada juga beberapa meja yang para penghuninya langsung bisa dilacak dengan mudah. Mereka mengenakan celana kedodoran dengan jas tak pernah sampai ke bagian belakang celananya. Pakaian mereka seperti kantung yang dibuat untuk mengepak peti, bukan melindungi tubuh manusia. Pada mulanya mereka itu agak menakutkan saya. Tapi lama-lama saya teringat pada foto-foto di koran tentang tokoh-tokoh yang sedang mengamati parade 1 Mei dari atas kuburan Lenin. Tahulah saya bahwa orang-orang itu tak lain dari para spesialis masalah-masalah Eropa Timur.
Membedakan para petugas, di bagian mana mereka bekerja dalam CIA, bukan hanya lewat cara berpakaian dan ciri-ciri ras. Juga gamblang dari pengelompokannya waktu minum kopi. Ada kelompok yang bekerja pada Biro Operasi Khusus (OSO Office of Special Operations), ada yang bekerja pada Biro Koordinasi Kebijaksanaan (Office of Policy Coordination) lebih dikenal dengan nama OPC. Mereka mengadakan pembagian kerja di antara mereka, tapi bekerja sama sesedikit mungkin. Di Divisi Timur Jauh, ketika saya mulai bekerja pada 1951, misalnya, walaupun para personel OPC dan OSO bekerja di kantor yang berdekatan, mereka tak campur.
OSO dibentuk tak lama setelah CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelijen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Ia juga bertugas menjalankan operasi yang berarti mengumpulkan informasi tentang aktivitas kaum komunis atau kegiatan lain yang diperintahkan pemerintah.
OPC lahir di kala keadaan dunia sedang memburuk. Rekrutan pertamanya mulai membentuk badan itu pada awal 1949. Tugas OPC demikian rahasianya, sehingga itu dengan sengaja disembunyikan di balik nama Biro Koordinasi Kebijaksanaan, yang begitu menyesatkan. Pada musim gugur 1951, digosipkan bahwa OPC dan OSO akan dilebur menjadi satu. Cerita yang beredar mengatakan bahwa semua personel OSO akan dipecat, tapi ada juga yang mengatakan justru orang-orang OPC-lah yang akan mengalami nasib seperti itu. Dua kelompok yang dinamakan “Adso” dan “Adpic” sedang mengadakan tur keliling dunia untuk mencari hkta bagaimana caranya melebur kedua biro tersebut.
Kay mengatakan kepada saya agar tak terlalu memperhatikan segala gosip itu dan menyuruh saya agar lebih memperhatikan keadaan dalam negeri enam negara Asia Tenggara. Demi kemudahan geopolitis, CIA ternyata telah mengelompokkan keenam negara itu. Padahal, kompleksiras di negara-negara itu tak semudah seperti yang dibayangkan.
Di Indocina, pemimpin komunis terkemuka yang telah aktif berjuang melawan Jepang sedang sibuk-sibuknya melakukan perlawanan terhadap kedatangan kembali Prancis. Itulah Ho Chi Minh, dulu seorang anak dari Annam yang pernah menjadi jongos pada sebuah kapal dagang Prancis. Orang itu demikian hebatnya, sehingga Legiun Asing yang begitu terkenal dalam kemiliteran Prancis dibikin tak berdaya oleh tentara Viet Minh yang dipimpin Ho.
Di Muangthai, dengan rakyat yang begitu setia kepada Jepang pada 1942, keadaan tampaknya lebih baik. Pepatah “kalau kau tak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka” sebenarnya bukanlah peribahasa kuno orang Thai. Tapi pada 1951 mereka dengan sepenuh hati bersedia bekerja sama dengan kami untuk membendung ekspansi komunis di Asia Tenggara. Divisi Timur Jauh Biro Koordinasi Kebijaksanaan (FE-OPC) telah membentuk suatu unit besar di bawah selimut (cover) organisasi sipil yang bergerak di bidang pembangunan dengan nama SEA Supply Company. Dari laporan-laporannya, ternyata organisasi itu terlibat dalam usaha merencanakan suatu penyerbuan ke Cina Daratan. Untuk maksud tersebut, telah digalang kerja sama antara biro CIA di Taiwan dan sisa-sisa laskar Kuomintang di perbatasan Burma-Cina.
Di Malaya orang-orang. Inggris sedang berperang melawan pasukan gerilya komunis. Para pemimpin mereka telah memperoleh keahlian dalam perang berkat pengalaman mereka menentang pendudukan militer Jepang. Keadaan di sana banyak sekali persamaannya dengan apa yang sedang berkembang di kawasan Indocina. Sementara itu, Burma, yang baru saja berhasil memerdekakan diri, dipimpin oleh seorang sarjana yang penuh mistik, yakni U Nu. Ia menyatakan dirinya sedang memgembangkan suatu sistem demokrasi yang sosialistis. Sayangnya, para pemimpin Burma, termasuk U Nu sendiri, seperti tak dapat menerangkan apa sosialisme Burma itu.
Di seberang sana Soekarno dan Mohammad Hatta, kedua pemuka nasionalis Indonesia, telah memproklamasikan kemerdekaan negara kepulauan itu pada 17 Agustus 1945. Itu terjadi hanya tiga hari setelah Jepang bertekuk lutut. Empat tahun berikutnya terjadi perundingan-perindingan yang diselingi oleh pertempuran dengan Belanda. Yang paling menarik dari perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka itu adalah peranan Amerika. Dalam segala perundingan, Amerika selalu berpihak kepada Indonesia dan selalu berusaha agar hasil perundingan tersebut menguntungkan Indonesia. Menjelang 1951, kelihatannya Indonesia telah lupa sama sekali akan jasa Amerika itu.
Di republik lain kawasan ini, Filipina, Amerika juga memainkan peranan sebagai kekuatan antikolonial. Kami telah menghadiahkan kemerdekaan kepada mereka jauh-jauh hari sebelum Perang Dunia II berakhir. Tapi negara baru ini juga sedang dirundung kemalangan. Yang utama tentu saja kenyataan bahwa pertempuran-pertempuran di negeri ini menjelang akhir Perang Dunia II sedemikian hebatnya. Jepang sepertinya tak ingin menyisakan sedikit pun wilayah itu ketika meninggalkannya. Dengan demikian, kerusakan-kerusakan akibat pertempuran diperhebat dengan kesengajaan Jepang untuk meludaskan apa saja.
Kota Manila hampir rata dengan tanah. Ditambah lagi ketidakbecusan para pemimpin yang mengalami kesukaran dalam menangani urusan-urusan administratif. Secara umum, keadaan di keenam negara wilayah itu mengalami kekacauan administratif, lantaran para pemimpin baru tak berpengalaman.
Problem utama yang dihadapi oleh pemerintah-pemerintah baru itu sama: mereka menghadapi ancaman kaum komunis yang tengah melancarkan perang gerilya. Dan itu semua membuat kami juga prihatin. Demikianlah yang saya baca dalam file-file tentang negeri-negeri tersebut.
Pada Februari 1948, Uni Soviet mensponsori pertemuan partai-partai komunis seluruh Asia di Kalkuta. Partai Komunis Australia juga turut hadir. Konperensi tersebut dipublikasikan dalam media massa kaum komunis. Pertemuan itu menyerukan agar “semua kekuatan antiimperialis bersatu untuk menentang penindasan imperialis dan kaum reaksioner di setiap negeri”. Menurut laporan itu, semua kekacauan dan kesukaran yang terjadi di Burma, Malaya, Filipina, dan Indonesia bersumber pada konperensi tersebut. Secara singkat, keadaan di dalam keenam negeri yang harus saya perhatikan itu tak begitu baik. Mereka bisa diumpamakan sebagai anak-anak di negeri miskin yang terancam oleh angka kematian tinggi. Dan, sebagaimana halnya dengan anak-anak semacam itu, mereka tak mendapat perawatan dan perhatian.
Tak lama kemudian, baru saya sadar bahwa saya ditinggalkan saja dengan anak-anak tiri itu. FE/3 Cabang Asia Tenggara tak mendapat perhatian cukup dari kepala divisi kami. Ia lebih banyak memperhatikan Cabang 1 (Jepang dan Korea) dan Cabang 2 (Cina). Baik tenaga maupun waktu sangat dikonsentrasikan pada kedua wilayah itu. Ke sanalah operasi-operasi terbesar dipelototkan. Memang benar, di kedua wilayah itulah drama perang dan revolusi sedang terjadi. Para pemimpin divisi itu sangat menginginkan agar peranan mereka punya dampak yang besar terhadap kedua wilayah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar