Untuk memperkuat posisi dan strategi tempurnya di Irian Barat (Papua),
militer Belanda membentuk pasukan tempur yang berasal dari penduduk
lokal pada 1961. Pasukan yang disebut Papuan Volunteers Corps (PVC) ini sebenarnya pernah dibentuk Belanda pada masa Perang Dunia II, tapi dibubarkan selepas perang usai.
Pembentukannya kembali dimotori oleh pemimpin kabinet Belanda, Jan de
Quay, yang sangat mengutamakan keamanan demi menunjang pertumbuhan
ekonomi pasca-perang. Bagi Jan de Quay, Belanda perlu menguasai Papua
mengingat sumber daya alamnya yang melimpah.
Jadi, PVC dibentuk lebih karena alasan politik ketimbang militer. Ketika dibentuk, PVC awalnya berkekuatan 200 personel, tapi akhirnya meningkat jadi 660 personel.
Jadi, PVC dibentuk lebih karena alasan politik ketimbang militer. Ketika dibentuk, PVC awalnya berkekuatan 200 personel, tapi akhirnya meningkat jadi 660 personel.
Namun, Gubernur Belanda untuk Papua, Plateel, lebih menghendaki jika PVC
berkekuatan 300 - 450 personel. Pemerintah Belanda akhirnya mengucurkan
dana 8,5 juta Gulden untuk membiayai pembentukan PVC dan memerintahkan
komando tertinggi AL Belanda di Papua untuk merahasiakan pembentukannya.
Melalui seleksi terhadap ribuan pendaftar, hanya 200 orang yang lulus dan kemudian mendapat pendidikan militer di Arfai Training Camp, 15 kilometer selatan Manokwari. Untuk mengomandani PVC, dipercayakan pada Letkol WA van Heuvel dari AL Belanda. Dengan persenjataan Mauser, Karaben, dan senapan mesin Uzi.
Di bawah komandonya, PCV dibagi menjadi lima peleton berkekuatan 37 pasukan. Setiap peleton, komandan dan wakilnya adalah personel Belanda.
Namun dalam pertempuran hutan, personel PVC-lah yang membuktikan kemampuannya. Personel PVC bahkan tidak suka dengan ransel besar yang disandangnya karena menimbulkan kesulitan saat bertempur di hutan.
Mereka memilih membawa bekal seadanya dan lebih mencari bahan makanan sendiri di hutan. Karena memiliki pengetahuan hutan ini dan akrab dengan penduduk lokal, PVS kemudian jadi ujung tombak marinir Belanda.
Jumlah total pasukan PVC di Papua hingga tahun 1963 mencapai 450 personel. Tapi sayangnya pasukan ini diharuskan bubar seiring tercapainya perundingan damai Indonesia dan Belanda. Sebagian bergabung dengan TNI, sebagian lainnya memilh jadi warga sipil. Ironisnya, veteran perang Belanda yang pernah bertugas di Papua tidak mau mengakui keberadaan PVC itu.
Melalui seleksi terhadap ribuan pendaftar, hanya 200 orang yang lulus dan kemudian mendapat pendidikan militer di Arfai Training Camp, 15 kilometer selatan Manokwari. Untuk mengomandani PVC, dipercayakan pada Letkol WA van Heuvel dari AL Belanda. Dengan persenjataan Mauser, Karaben, dan senapan mesin Uzi.
Di bawah komandonya, PCV dibagi menjadi lima peleton berkekuatan 37 pasukan. Setiap peleton, komandan dan wakilnya adalah personel Belanda.
Namun dalam pertempuran hutan, personel PVC-lah yang membuktikan kemampuannya. Personel PVC bahkan tidak suka dengan ransel besar yang disandangnya karena menimbulkan kesulitan saat bertempur di hutan.
Mereka memilih membawa bekal seadanya dan lebih mencari bahan makanan sendiri di hutan. Karena memiliki pengetahuan hutan ini dan akrab dengan penduduk lokal, PVS kemudian jadi ujung tombak marinir Belanda.
Jumlah total pasukan PVC di Papua hingga tahun 1963 mencapai 450 personel. Tapi sayangnya pasukan ini diharuskan bubar seiring tercapainya perundingan damai Indonesia dan Belanda. Sebagian bergabung dengan TNI, sebagian lainnya memilh jadi warga sipil. Ironisnya, veteran perang Belanda yang pernah bertugas di Papua tidak mau mengakui keberadaan PVC itu.
nationalgeographic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar