Minggu, 20 Oktober 2013

Kivlan Zen Sang kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD”


Demi independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan Zen bertahan untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU 42 Tahun 2008, terkait syarat pencalonan presiden, secara langsung memang telah mengandaskan peluang para calon presiden independen.    
Dengan keputusan itu, calon presiden RI harus melalui mekanisme partai. Hanya partai/gabungan partai yang memperoleh suara 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional saja yang bisa mencalonkan pasangan presiden/wakil presiden.
Di antara calon presiden alternatif yang telah menyatakan diri sebagai calon presiden, Mantan Kepala Staf Kostrad, Kivlan Zen, termasuk yang legowo dengan keputusan MK tersebut.
Sejak awal, pensiunan mayor jenderal ini berjanji akan menyejahterakan Indonesia dalam waktu satu bulan jika terpilih menjadi Presiden RI periode 2009-2014. Kivlan mentargetkan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 15 persen.
Kendati harapan menjadi presiden terhambat, hal itu tidak mengubur ambisi Kivlan untuk mendharmabaktikan diri demi kemajuan bangsa.
Pensiunan jenderal kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 1946 ini memang terkenal teguh memegang prinsip, apalagi jika terkait kedaulatan NKRI. Bahkan, Kivlan berani berseberangan dengan koleganya di dunia militer.
Kivlan dengan lantang sempat mengungkapkan bahwa Jenderal (Purn) LB Moerdani dan Jenderal (Purn) Wiranto bersekongkol merencanakan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Tak hanya itu, Kivlan juga menuding Wiranto telah “main mata” dengan Wapres Habibie untuk menggulingkan Soeharto.
Keberanian Kivlan menentang arus diakui kawan ataupun lawan. Atas keberaniannya, ayah dari lima orang anak ini, mendapat nama baru, “Sutiyogo”.
“Suti” dalam bahasa sansekerta berarti kebenaran, dan “yogo” berarti putra atau anak. Lengkapnya, Kivlan Zen sang “Putra Kebenaran”
Sejalan dengan itu, demi independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan bertahan untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satunya, Yayasan Kesejahteraan Bangsa Indonesia, di mana Kivlan sebagai ketua umum.
Bidang sosial dan keagamaan memang lekat dengan penyandang gelar Magister Social Development dari Universitas Indonesia ini. Semua itu tidak lepas dari pengalaman hidup anak pedagang sederhana ini. Sejak kecil Kivlan digembleng kerasnya kehidupan. Bahkan untuk biaya sekolah Kivlan pernah menarik becak.
Sebelum masuk Akademi ABRI, Kivlan sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara. Fakultas kedokteran dipilih semata-mata karena Kivlan ingin menyumbangkan ilmunya untuk kehidupan sosial.
Saat menjadi pelajar, Kivlan bergabung di Pelajar Islam Indonesia (1962). Pada 1965, Kivlan menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan. Pada tahun yang sama Kivlan dipercaya menjadi Ketua Depertemen Penerangan KAMI Medan. Tak hanya itu Kivlan juga tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI).
Berbekal pengalaman hidup, Kivlan tampil sebagai sosok yang disegani. Di dunia militer, “Akmil 71” ini termasuk perwira yang cemerlang. Dimulai dari Komandan Peleton Akbri pada 1971 hingga akhirnya Kepala Staf Kostrad, hampir semua jabatan Kivlan di posisi komando tempur.
Berbagai penghargaan dan kenaikan pangkat luar biasa mengiringi karir Kivlan. Pada 1974, pasukan Kivlan berhasil meringkus gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Demikian juga waktu bertugas di Timor Timur, Kivlan mendapat kenaikan pangkat luar biasa.
Bahkan, jenjang kepangkatan Kivlan dari kolonel hingga meraih jenderal bintang satu hanya butuh waktu 18 bulan.
Di dunia internasional, kiprah lulusan Sekoad 1990 tidak bisa dipandang sebelah mata. Secara khusus, Presiden Filipina Fidel Ramos menganugerahi medali kehormatan untuk Kivlan Zen. Kivlan dinilai berhasil membujuk pimpinan MNLF, Nur Misuari, agar mengakhiri konflik Moro di Filipina Selatan.
Ketika itu Kivlan memimpin Kontingen Garuda XVII, Pasukan Konga 17, yang bertugas di Filipina. Kivlan dan pasukannya juga menjadi pengawas genjatan senjata setelah adanya perundingan antara MNLF dengan pemerintah Filipina.
Suara Sumbang
Di balik cemerlangnya karir, suara sumbang mengiringi langkah Kivlan. Penulis buku kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD” ini dituding masuk dalam pusaran isu persaingan “ABRI Hijau” versus “ABRI Merah Putih”
Bersama Prabowo Subianto, Kivlan berada dalam barisan “ABRI Hijau” yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Kelompok ini sukses melengserkan Jenderal Benny Moerdani dari kursi Panglima ABRI. Benny yang diplot menjadi wakil presiden, kabarnya didukung kelompok “ABRI Merah Putih”.
Atas inisiatif Kivlan, kelompok perwira muda eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merapatkan barisan membentuk “Group 7” untuk melawan Benny Moerdani.
Skenario “Group 7” adalah mengganjal kelompok Benny dengan menaikkan Wiranto. Atas usulan Prabowo, Wiranto berhasil menjadi ajudan Presiden Soeharto. Hanya saja, dalam perjalannya Wiranto justru dipandang mendukung Benny. Sehingga perlu dicari penggantinya. Pilihan jatuh pada Feisal Tanjung, yang sebelumnya telah dimasukkan kotak oleh kelompok Benny Moerdani.
Konflik elit TNI AD semakin menguat setelah Jenderal Wiranto menggantikan Jenderal Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada Mei 1993, sementara Prabowo Subianto diangkat sebagai Panglima Konstrad.
Kudeta
“Tragedi Mei 1998” menjadi ujian bagi ketegaran Kivlan Zen menyuarakan kebenaran. Ketika korban berjatuhan dalam kerusuhan 12-21 Mei 1998, meskipun memegang kendali pasukan Kostrad, Kivlan tidak dapat berbuat banyak. Kendali keamanan tetap ada di tangan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.  
Di mata Kivlan, Wiranto sebagai Panglima ABRI, telah gagal mengatasi kerusuhan Mei 1998. Wiranto melarang pengerahan pasukan pada 14 Mei 1998. Menurut Kivlan, ia  telah dihubungi Kasum ABRI, Letjen Fachrurazi agar tidak mengerahkan pasukan atas permintaan Wiranto. Wiranto sendiri justru berada di Malang, Jawa Timur, meresmikan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) ABRI.
Tak salah jika Kivlan ngotot bahwa kerusuhan Mei 1998 Jakarta bisa terungkap jika ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Pada 16 Mei 1998, Kivlan dalam kapasitas sebagai Kepala Staf Kostrad, mengancam akan menangkap Amien Rais, yang merencanakan people power  mengepung Istana Negara. Banjir darah ala “Tiananmen 1989” pun berhasil dicegah.
Nama Kivlan kembali mencuat ketika pasukan Kostrad berada di sekitar Monumen Nasional (Monas), Istana Presiden dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra Kuningan, Mei 1998, pada detik-detik pengangkatan Habibie sebagai presiden. Pengerahan pasukan ini belakangan, dituding sebagai upaya Prabowo cs melakukan kudeta.
Pagi, 22 Mei 1998, Kivlan ditugasi Prabowo menghadap Habibie untuk membawa surat dari Jenderal Besar AH Nasution yang berisi usulan pemisahan Menhankam dan Pangab. Kivlan juga membawa surat dukungan 320 ulama Jawa Timur yang mendukung Habibie.
Hanya saja, dengan tudingan akan melakukan kudeta, 22 Mei malam, Probowo justru dicopot dari jabatan Pangkostrad, dan digantikan oleh Mayjen Johny Lumintang.
Menyusul kemudian, pada 20 Juni 1998, Kivlan Zen juga harus meletakkan jabatan Kepala Staf Kostrad. Kivlan dituduh ikut membahas keabsahan jabatan Habibie dan perubahan UUD 1945 di Hotel Regent.
Dalang Kerusuhan
Untuk menjaga proses pergantian kepemimpinan nasional secara demokratis, diperlukan aturan yang jelas, untuk itu digelar Sidang Istimewa (SI) MPR pada 10-13 Nopember 1998.
Ironisnya, upaya menggagalkan SI MPR cukup kuat karena tidak ada kekuatan massa yang mendukung SI secara terang-terangan. Pilihan jatuh pada pengerahan pasukan pendukung SI (belakangan disebut Pam Swakarsa).
Kivlan Zen kembali disebut. Kivlan mengambil inisiatif merekrut massa dari kalangan ormas Islam. Sekitar 30 ribu massa pendukung SI yang tergabung dalam Komite Islam Bersatu Penyelamat Konstitusi (KIBLAT) mengadakan apel akbar di Parkir Timur Senayan empat hari menjelang digelarnya SI.
Muncul sinyalemen lain, Kivlan bersama Burzah Zarnubi, juga telah menyusupkan empat mahasiswa dalam moment SI di gedung DPR-MPR. “Perwakilan” itu untuk memperkuat klaim ada perwakilan mahasiswa ikut mendengarkan pidato pertangung jawaban Habibie.
Menurut Kivlan, keberadaan Pam Swakarsa atas perintah Wiranto dan diketahui Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol. Nugroho Jayusman, Pangdam Jaya Mayjen Djaya Suparman.
Disebut-sebut, pengusaha Setiawan Djodi memberikan bantuan dana Pam Swakarsa. Selain itu, kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (Truba), di mana Kivlan menjabat komisaris, juga menggelontorkan dana. Diketahui, Yayasan Kartika Eka Paksi memiliki hampir semua saham PT Truba.
Dalam buku bertajuk “Bersaksi di Tengah Badai”, Wiranto menyangkal keras terkait keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Wiranto juga sempat mengancam akan menuntut Kivlan.
Bentrokan demi bentrokan berdarah telah menewaskan pendukung SI ataupun anti-SI. Bahkan enam mahasiswa tewas dalam bentrokan dengan aparat. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa Semanggi I”.
Terbunuhnya kelompok dari suku tertentu dalam bentrok pendukung SI-anti SI pada 13 November 1998 berbuntut dendam. Massa yang terlibat, bentrok kembali di Ketapang Jakarta Pusat, pada 22-23 November 1998.
Kerusuhan berlanjut di Kupang pada 30 November 1998, hingga akhirnya meletus kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999.
Kembali Kivlan menjadi tertuduh. Kali ini tuduhan dilontarkan oleh KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur menyebut “Mayjen K” sebagai provokator kerusuhan Ambon. Atas tuduhan itu Kivlan sempat mendatangi Gus Dur di rumahnya di Ciganjur untuk meminta klarifikasi. Pada kesempatan itu Gus Dur membantah bahwa “Mayjen K” yang dimaksud adalah Kivlan Zen.
Menurut Kivlan, klarifikasi perlu dilakukan karena putra Kivlan yang sekolah di sebuah SMA di Malang diteror dengan cemooh sebagai “anak provokator”. Bagi Kivlan, peristiwa sejarah harus diluruskan. Sejak 1945 sejarah Indonesia carut marut karena karena pembelokan sejarah. Semua tidak diluruskan sejak dahulu. Masa depan itu terjadi karena masa sekarang. Masa sekarang terjadi karena masa lampau. Berikut cuplikan wawancaranya dengan INTELIJEN pada April 2009 di Jakarta:
TNI Kurang Ofensif
Seringkali fakta yang Anda ungkap berbuntut kontroversi dan perseteruan. Apa motivasi Anda sebenarnya?
Setiap informasi harus saya berikan kepada bangsa. Karena banyak terjadi pengaburan  atau penyimpangan sejarah. Akibatnya, bangsa ini tidak tahu harus berbuat apa ke depan.
Sejarah harus diungkap, misalnya terkait kudeta tahun 1950, 1962, 1965, 1974, 1983, 2006 dan sampai sekarang.
Dari memoar para pelaku sejarah bisa ditarik keterkaitannya. Memang, ada yang saling menutupi agar nama baik yang bersangkutan tetap terjaga.
Fakta yang saya ungkap saya pertanggungjawabkan secara ilmiah. Saya mengalami peristiwa itu, dan saya berani diuji. Buku “Konflik dan Integrasi TNI-AD” itu tesis saya untuk mendapatkan gelar Master Social Development di Universitas Indonesia.
Fakta tentang Pam Swakarsa sampai saat ini menjadi polemik. Anda melihat itu sebagai pengaburan sejarah?
Habibie dan Wiranto sangat tidak fair terkait masalah Pam Swakarsa. Pam Swakarsa adalah fakta sejarah, pasti ada pihak di belakangnya. Banyak pihak mengganggap Pam Swakarsa salah. Padahal, Pam dibentuk untuk konstitusi. Jika Sidang Istimewa (SI) diserang massa anti SI, berarti  SI tidak legitimit. Menggagalkan sidang istimewa itu tidak konstitusional.
Saya dan teman-teman terlibat di dalamnya. Habibie yang merancang. Habibie memerintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swakarsa. Ironisnya Habibie tidak mau  mengakui.
Semua itu ada rencana operasinya. Habibie dan Wiranto cuci tangan. Wiranto tidak gentlemen. Pam Swakarsa dibiarkan digebuk oleh massa dan media massa.  
Untuk mengungkap semua itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR 2006) telah dibentuk, namun dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi di bawah Jimly Asidiqi?
Itu tidak benar, menipu sejarah dan tidak gentlemen. Sudah ada niat untuk rekonsiliasi, mengapa lembaganya dibubarkan. Artinya, ada pihak yang takut oleh perbuatannya sendiri.
Perbedaan pengungkapan sejarah Indonesia, sehingga banyak versi,  terpengaruh adanya faksi-faksi di tubuh militer?
Bangsa ini sejak dahulu memang memiliki faksi-faksi. Sejarah TNI pun dibentuk oleh faksi-faksi. Pasca reformasi, memang masih ada “pertemanan” karena backgroup persamaan daerah. Nepotisme kedaerahan memang kadang digunakan untuk tarik menarik demi kesuksesan bersama.
Untuk mendapatkan jabatan atau karir, faksi-faksi itu masih ada. Saat ini, jabatan pada level tertentu di TNI didominasi salah satu kelompok kedaerahan. Mereka menarik kelompoknya masing-masing.
Nepotisme menjadi tidak biasa ketika masuk dalam wilayah perebutan kekuasaan?
Memang akan berbahaya jika dilakukan dengan cara yang tidak demokratis. Buntutnya memang akan terjadi kekacauan. Ada satu kelompok kedaerahan yang saat ini berusaha menguasai TNI. Tetapi semua itu tidak ada gunanya untuk merebut kekuasaan. Kecuali jika mereka melakukan kudeta. Berdasarkan sejarah kudeta dari tentara di Indonesia tidak pernah berhasil.
Kelompok-kelompok itu terlibat dalam persaingan Pemilu 2009?
Kelompok TNI tidak ada, karena sudah masuk kandang. Justru saat ini polisi yang muncul ke panggung persaingan politik. Misalnya, kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jawa Timur juga melibatkan polisi. Tangan kanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini adalah polisi.
Di sejumlah partai politik banyak pensiunan jenderal TNI. Artinya, mereka masih berorientasi pada kekuasaan?
Sifat militer di Indonesia sebenarnya bukan orientasi kekuasaan. Kami memiliki misi bagaimana NKRI bisa tetap tegak. Agar NKRI tidak terpisah. Yang pasti TNI tidak pernah mendukung gerakan separatisme.
Apa kelemahan dan kekurangan TNI saat ini?
TNI dalam posisi yang defensif. Belum melakukan langkah ofensif terkait citra. Misalnya banyaknya kasus-kasus yang dihubungkan dengan kiprah TNI. Jika mendapat serangan dari pihak luar Puspen harus berbicara dengan fakta.
Seharusnya Mabes TNI atau Pepabri menghadirkan para pelaku sejarah untuk mengungkap suatu kasus. Selama ini keduanya diam tidak bereaksi. Padahal, para pelaku sejarah bisa dimintai keterangan atau klarifikasi. Jangan berbicara secara liar, karena ini menyangkut harkat dan martabab TNI. 
Intelijen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar