Pitch Black 2012 Sukhoi TNI AU dan F-18 RAAF (cazasyhelicopteros.com)
Dasar pemikiran strategis dari Pimpinan
TNI, khususnya TNI AU serta Kemenhan untuk memodernisasi daya pukul
alutsista TNI AU membawa angin segar dalam bidang pertahanan Indonesia.
Kebutuhan akan Angkatan Udara yang kuat dan disegani tersebut disetujui
oleh Presiden SBY, dan kemudian mendapat apresiasi dan persetujuan
DPR. Sebuah kesadaran dan kebersamaan yang cerdas dalam mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara. Upaya untuk mencapai kekuatan pokok
minimum, MEF (Minimum Essential Force) pertahanan masih menjadi fokus kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI ke depan.
Setelah melalui jalan panjang, TNI
AU mulai dibenahi oleh pimpinan nasional yang melihat betapa pentingnya
peran angkatan udara disebuah negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat
memainkan USAF sebagai sarana pendikte dan mementahkan kekuatan militer
Libya, dalam membantu pemberontakan di Libya terhadap Kolonel Khadafi.
Demikian juga operasi clandestine CIA yang menggunakan pesawat tanpa
awak untuk mengejar dan membunuh tokoh-tokoh Al-Qaeda dinyatakan sukses
dengan kertugian sangat minim.
TNI AU mulai menggunakan keluarga
Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah batalnya kontrak pembelian 12 unit
Su-30MKI pada 1996. Kontrak tahun 2003 mencakup pembelian 2 unit
Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK senilai 192 juta dolar AS tanpa paket
senjata. Itulah awal kebangkitan kekuatan udara Indonesia dalam
mengimbangi kekuatan udara negara tetangga.
Disamping itu Indonesia sudah
menandatangani kerjasama dengan Korea Selatan, berpartisipasi membangun
pesawat tempur generasi 4,5 KFX/IFX (Korean-Indonesian Fighter
Xperimental), Boramae, yang dalam rencana awalnya TNI AU akan memiliki
sebanyak 50 buah pada tahun 2020. Masa depan KFX/IFX Boramae menjadi
tidak jelas setelah Pemerintah Korea Selatan menyatakan memotong
anggaran proyek tersebut.
Dari sejarah Indonesia menyangkut
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, konflik dan ancaman
kedaulatan negara hanya terjadi karena gesekan dengan negara tetangga.
AU Indonesia mulai lebih disegani setelah acara MAKS 2007 di Moskow,
dimana Departemen Pertahanan mengumumkan kontrak untuk pembelian 3 unit
Sukhoi-27SKM dan 3 unit Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS. Kini TNI
AU sudah memiliki 10 Sukhoi dan akan lengkap menjadi satu skadron pada
2014. Disamping pada 2014 mendatang, TNI AU akan memiliki 34 F-16
setara Block 52 ( 24 F-16 C/D asal dari hibah dan 10 upgrade F-16 TNI
AU sepaket dengan hibah F-16).
Kegundahan Australia
Dalam meninjau ancaman, intelijen udara
mengukur dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanan baik unsur
penyerang maupun unsur pertahanan musuh ataupun calon musuh. Standar
analisa intelijen udara di negara manapun menggunakan standar yang sama,
3K dan 1N(Niat). Sejak operasi Trikora pada 1961, Australia walaupun
tidak secara langsung menempatkan Indonesia sebagai ancaman, mengatakan
bahwa musuh akan datang dari Utara. Australia menggelar kekuatannya
lebih fokus ke Utara, pengamatan wilayah dilakukan dengan over the
horizon radar, yang mampu memonitor hingga pulau Jawa dan Kalimantan.
Sejak TNI AU mengikuti latihan bersama
Pitch Black 2012, pemerintah Australia, khususnya RAAF merasakan
kegundahan dan keterkejutan, dimana Su-30 TNI AU ternyata lebih unggul
dibandingkan F-18F Super Hornet hampir disemua lini. Dari hasil latihan
tersebut, Australia harus membuat pilihan, memilih rencana pengadaan
100 unit F-35 Lightning dari Amerika (joint strike fighter) atau tetap membeli dua skadron 24 F-18 Super Hornet.
The Business Spectator menyatakan,
"Indonesia merencanakan akan membeli 180 pesawat tempur Sukhoi dari
Rusia/India yaitu PAK-FA T-50 atau Su-35S. Jadi pertanyaannya lebih baik
dipilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian dimasa depan
ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan Su-35S atau T-50, maka AU
Australia akan menjumpai masalah besar, demikian kesimpulannya.
Siaran pers resmi yang ditulis
harian Rossiiskaya Gazeta mengatakan bahwa T-50 akan menggabungkan
fungsi dari peran sebagai pesawat serbu dan fungsi sebagai jet tempur.
Pesawat ini dilengkapi dengan avionik modern yang mengintegrasikan
fungsi elektronik dan array radar. Perlengkapan baru tersebut akan
memberikan kesempatan kepada penerbang untuk lebih berkonsentrasi dalam
melakukan tugas pertempuran.
Para pengamat militer di Australia menyatakan bahwa dalam memegang slogan RAAF (first look, first shoot, first kill’),
para pejabat pertahanan harus berjuang keras mencari jalan keluar
dengan tidak mempertahankan Hornet yang dianggap sudah ketinggalan
jaman. Sukhoi oleh Australia dinilai terlalu hebat.
Lebih jauh analis Bisnis Spectator
menyatakan, "Sebagai contoh, JSF (Joint Srike Fighter) dapat beroperasi
secara efektif hanya untuk ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki
(walau masih bisa beroperasi lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang
lebih tinggi). Sebaliknya, Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh
di tingkat yang jauh lebih tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan,
mereka memiliki sistem dan senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF
Australia sebelum mereka memiliki kesempatan menerapkan slogannya."
Ditegaskan oleh BS bahwa tidak ada pertempuran udara yang diperlukan.
Pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh
sebelum dia menyadarinya.
Jalan keluar yang disarankan adalah
apabila Australia (RAAF) memiliki F-22 Raptor atau teknologi Raptor yang
diterapkan pada pesawat tempur pilihan yang dipilih. Yang menjadi
masalah, Amerika tidak mengijinkan F-22 dijual kepada negara lain selain
untuk kepentingan pertahanan dalam negerinya.
Yang menarik, New Australia
merekomendasikan Australia justru memilih Sukhoi seperti yang dilakukan
India, mendapatkan lisensi dengan ijin membangun Sukhoi Australia, baik
Sukhoi Flanker Su-35S atau pesawat Su-32 Fullback. Preferensi saat ini
adalah Su-35S. Saat ini Sukhoi memberikan lisensi pembuatan pesawat
tempur di India dan China. Australia bisa membeli utuh pesawat Sukhoi
dan membangun avioniknya, dan persenjataan lokal. Kini banyak perusahaan
di Rusia, Asia, Israel dan Eropa terlibat dalam pembuatan komponen
Sukhoi. Sukhoi adalah 'open source', demikian menurut New Asia.
Dalam pemikiran strategis, Australia
selain memandang Indonesia sebagai ancaman, juga menempatkan India
sebagai ancaman. Selain itu perkembangan situasi Hankam di kawasan Laut
Pasifik Selatan, menjadi perhatian Australia dengan kerjasamanya bersama
Amerika. Pada pemerintahan Kevin Ruud Australia berposisi anti India,
pada posisi ini menempatkan Australia terpaksa membeli F-35. Dalam
pemerintahan Julian Gillard, Australia akan mendekati India dan menjadi
sekutunya, berpeluang bisa mendapatkan peluang memiliki T-50. Australia
menurut RBTH lebih baik memiliki Super Flankers yang murah (USD 66
juta/buah) dibandingkan harga F-35 (USD 238 juta).
Sukhoi dinilai jauh lebih unggul
dibandingkan JSF. Su-35 memiliki jangkauan efektif sekitar 4.000 km
dibandingkan dengan hanya 2.200 km untuk F-35. . Ini berarti JSF
membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk menutup ruang (wilayah
Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu, kecepatan Su-35 adalah
Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan suara), sedangkan F-35
terbatas pada Mach 1.6. Menurut Victor M. Chepkin, pertama wakil
direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f baru akan memungkinkan jet Rusia
untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner.
Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya. Kesimpulannya
baik F-35 maupun F-18 performance-nya berada dibawah Su-35.
Kini Australia menghadapi dilema
kegundahan. RAAF terus mengikuti perkembangan modernisasi TNI AU.
Dengan memiliki keluarga Flankers, maka Indonesia pada masa mendatang
bukan tidak mungkin akan bisa memiliki pesawat tempur Su-35, dan bahkan
pesawat tempur T-50 generasi kelima. T-50 PAK FA jet tempur (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) kini
sedang mengalami uji engine di Zhukovsky Airfield, Moscow.
Menurut Viktor Bondarev, Commander in Chief Russian Air Force, tes T-50
akan memakan waktu sekitar 2-2,5 tahun, sehingga pada tahun 2015-2016,
T-50 akan sudah dapat di kirim ke AU Rusia.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut,
nampaknya Australia kini berada dalam kondisi mengalami kegundahan
seperti tahun 1961, dimana Tu-16 AURI mampu mencapai daratannya tanpa
terdeteksi dan tidak dapat diantisipasi. Dengan memiliki gabungan
alutsista tempur udara Timur dan Barat, Indonesia kini menjadi negara
yang disegani negara-negara tetangganya.
Australia menjadi lebih gundah setelah
mengetahui Indonesia tertarik untuk mendirikan sebuah pusat perawatan
bersama untuk pesawat fixed dan rotary wing Rusia.
Victor Komardin, wakil kepala Rosoboronexport, eksportir peralatan
perang Rusia, telah mengumumkan hal tersebut di Air show LIMA 2013 di
Malaysia.
Disimpulkan, dengan sudah mengawali
kepemilikan keluarga Flankers (Su 27/30), Indonesia (TNI AU) menjadi
negara yang sangat diperhitungkan oleh Australia dan pasti juga oleh
tetangga lainnya. Alih teknologi ke pesawat yang lebih canggih hanyalah
soal waktu yang tidak terlalu rumit dilakukan TNI AU apabila ada
pengembangan kekuatan. Australia sangat khawatir Indonesia berpeluang
memiliki Su-35 dan bukan tidak mungkin dengan ekonominya yang semakin
baik, suatu saat Indonesia akan memiliki pesawat tempur T-50.
Memang sebaiknya intelijen udara
berfikir jauh dan strategis, memperkirakan perkembangan situasi global
dan regional dan memberikan masukan kepada pimpinan yang up to date.
Yang terutama harus kita fahami adalah betapa pentingnya kemampuan TNI
AU dengan daya "kepruknya." Itulah prinsip dasarnya agar kita diperhitungkan. Semoga bermanfaat.
Oleh : Prayitno Ramelan, Air Vice Marshal (Ret), www.ramalanintelijen.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar