Dragon,
begitu nama sebutan bagi para pilot F-16 Fighting Falcon di Skuadron
Udara 3, Wing 3, Pangkalan TNI AU (Lanud) Iswahjudi ini. Konon, nama itu
dipilih gara-gara naga dianggap bandel dan punya api. Dan begitulah
kesan tentang mereka, militan bahkan bisa dibilang nekat.
Jangan tanya jumlah mereka, karena itu salah satu rahasia negara. Anggap
saja jumlah mereka ada beberapa belas orang. Salah satu ruangan di
Skuadron 3 ini juga tidak boleh dimasuki orang luar karena berisi tabel
jadwal latihan mereka beserta manuver-manuver yang dilatih. ”Orang boleh
tahu berapa jumlah pesawat kita. Akan tetapi, justru berapa jumlah
pilot dan apa keahlian mereka masing-masing, nah itu sebenarnya kekuatan
kita,” kata Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto, Komandan Skuadron Udara 3
Lanud Iswahjudi.
Walaupun
latihan mereka mengikuti silabus dengan program tertentu, setiap pilot
memiliki kekhasan yang kemudian menjadi kekuatannya. Salah
seorang pilot menggemari seni mahir dalam manuver-manuver rumit karena
daya imajinasinya tinggi. Pilot yang tenang akan maju untuk penyerangan
yang membutuhkan ketelitian tinggi seperti mengebom sasaran di darat.
Sekilas,
ciri khas setiap pilot ini bisa dilihat dari call sign alias nama
panggilan mereka. Nama itu biasanya diberikan komandan atau pelatih yang
melihat karakteristik muridnya. Nama diambil dari nama hewan, seperti
Letkol Ian ”Hyena” Fuadi, Mayor Ali ”Unicorn” Sudibyo, Mayor Setiawan
”Gryphon”, dan Mayor Firman ”Foxhound” Dwi Cahyono.
”Setiap
hari rasanya seperti ujian,” kata Letda Ferry Rachman, siswa transisi
angkatan terbaru. Walaupun menjadi salah satu lulusan terbaik Sekolah
Penerbang, Ferry yang tahun ini genap berusia 25 tahun itu mengaku harus
bekerja keras. Selain adaptasi, ada hal-hal yang baru seperti
keterampilan basic fighter manuver atau air combat manuver dan kecepatan
mengambil keputusan. ”Di sini harus lebih kerja keras, soalnya di sini
semuanya sama hebatnya,” tuturnya di sela-sela makan malam di warung sop
buntut kesukaannya di pasar di Madiun.
Selain
sehat—termasuk tanpa gigi berlubang dan mata minus—prestasi akademik
calon pilot F-16 harus unggul juga. Setelah lulus tentunya dengan nilai
memuaskan dari Akademi Angkatan Udara, tahap berikutnya adalah Sekolah
Penerbang. Hanya 5-10 lulusan terbaik Sekolah Penerbang yang boleh
menjadi pilot pesawat tempur. Dari lulusan terbaik itu, biasanya tiap
tahun peringkat pertama dan kedua masuk ke Skuadron 3 untuk dilatih
menjadi pilot F-16. ”Di sini memang kawah candradimuka,” cerita Fajar.
Belajar dan bekerja keras
Hari-hari para dragon ini memang dipenuhi belajar dan bekerja keras.
Pengetahuan awal yang harus dikuasai seorang pilot F-16 adalah
karakteristik mesin pesawat yang akan ia gunakan. Setelah itu baru ilmu
perang, manuver, dan hal-hal yang menyertainya, seperti penggunaan bahan
bakar hingga faktor legal. ”Seperti waktu kita cegat pesawat tempur AS.
Kita harus punya dasar legal dan tahu bahwa mereka tidak meratifikasi
UNCLOS 1982,” kata Fajar.
Malam-malam,
mereka harus mempersiapkan manuver yang akan dilaksanakan besok. Bagi
siswa transisi seperti Ferry, keesokan harinya mereka mencoba
pengetahuan barunya di simulator. Sering kali instruktur memberikan
situasi darurat seperti mesin yang tiba-tiba mati. ”Yang penting adalah
bagaimana bereaksi saat emergency,” kata Mayor Sondhi selaku kepala
fasilitas latihan.
Setelah
berbulan-bulan berlatih dengan simulator, saat yang paling ditunggu
adalah ketika instruktur menyatakan pilot transisi sudah layak terbang
dengan F-16. Tahap membanggakan selanjutnya adalah saat sudah boleh
terbang solo dengan F-16. Tradisinya, telur akan dipecahkan di kepalanya
setelah itu dia diguyur ramai-ramai. Butuh waktu bertahun-tahun untuk
menjadi wingman hingga element leader, flight leader, instruktur
penerbang, dan pilot tes yang masing-masing memiliki kemampuan untuk
memimpin sejumlah pesawat.
Untuk
membawa pesawat tentu dibutuhkan keahlian dan keterampilan. Namun,
memimpin beberapa pesawat membutuhkan kemampuan yang kompleks. Algoritma
berpikir jika A maka B bisa berlapis-lapis. Sebagai pemimpin, seorang
pilot harus bisa memetakan di mana posisi pesawat timnya serta di mana
mereka berada detik berikutnya. Ia juga harus mengenal karakter anggota
timnya.
Itu
harus dipikirkan, sementara sang pilot tengah mengalami tekanan sebesar
9 G alias sembilan kali gaya gravitasi. Ini belum termasuk memikirkan
strategi untuk memenuhi misi, misalnya menembak sasaran berukuran 10
meter x 10 meter dari jarak beberapa kilometer. ”Toleransi meleset yang diterima itu 5 meter,” kata Mayor Firman ”Foxhound” Dwi Cahyono, Wakil Komandan Skuadron Udara 3.
Setiap
hari, para pilot F-16 ini berlatih terbang dari pukul sembilan pagi
hingga sore hari. Mereka juga harus menguasai terbang di malam hari. Pasalnya,
ancaman di udara bisa datang tanpa mengenal waktu. ”Biasanya malah pas
lagi libur tuh ada black flight (pesawat penyusup), makanya kami harus
standby selalu,” tutur Fajar.
Keputusan
jitu yang diambil dalam sepersekian detik di udara membutuhkan
persiapan berjam-jam dan latihan bertahun-tahun. Di samping kemampuan
fisik yang dijaga setiap hari, ada ratusan orang di belakang sebuah
pesawat yang menjaga kelaikan pesawat itu agar bisa terbang dengan aman
dan maksimal.
Seperti hari itu, 30 Desember, hari terakhir latihan pada 2009. Misi hari itu disebut Redwolf Flight, sesuai dengan nama pemimpinnya, Fajar ”Redwolf” Adriyanto, yang didampingi Mayor Yulmaizir, adalah latihan air surface attack di kawasan Lumajang. Skenario latihan, ada target yang harus dihancurkan di jarak 1.000 kilometer dari pangkalan. Lettu Pandu Eka dan Kapten Bambang Apriyanto sudah mempersiapkan diri sejak malam sebelumnya.
Ada dua pesawat yang dikerahkan untuk misi hari itu. Awalnya, kedua pesawat itu akan terbang di ketinggian normal, yaitu 25.000 kaki. Mendekati sasaran, untuk menghindari radar, ketinggian diubah hanya 500 kaki di atas tanah. Radar memang dapat dihindari, tetapi ada bukit-bukit yang menjadi halangan. Sementara sasaran harus secepat mungkin dibereskan.
”Pagi-pagi kami brifing dengan tutor, secara rinci manuver-manuver seperti apa yang harus dilakukan,” cerita Kapten Bambang Apriyanto. Sebelum bertemu tutor, ada brifing pangkalan untuk mengetahui jadwal latihan hari itu serta kondisi cuaca dan arahan dari Komandan Lanud Iswahjudi Marsekal Pertama TNI Bambang Samoedro.
Tes kesehatan
Sementara mereka berdiskusi, para teknisi sudah mempersiapkan pesawat. Ada sekitar 180 orang di Skuadron Udara 3 yang menjadi sistem pendukung dari para pilot itu. Diperlukan kira-kira satu setengah jam untuk before flight inspection dan preflight inspection.
Setelah brifing, saatnya cek kesehatan. Dokter jaga mengukur denyut nada dan tekanan darah serta mengajukan pertanyaan, mulai dari soal ”apakah sedang batuk atau pilek” hingga ”apakah sedang bermasalah dengan pasangan”. ”Kalau tidak memenuhi syarat kesehatan, ya tidak boleh terbang,” kata Kapten (Kes) dr Tri Supriyanto.
Tes kesehatan harian sama wajibnya dengan tes indoktrinasi latihan aerofisiologi (ILA) yang diadakan dua tahun sekali. Penerbang dimasukan ke ruang tertutup yang kondisinya sama seperti di ketinggian 25.000 kaki. Tes ini untuk melihat batas ketahanan akan hipoksia, yaitu keadaan di mana tubuh kekurangan oksigen akibat perubahan ketinggian. ”Kita disuruh menghitung dan simulasi gerakan pesawat, sampai di mana pikiran kita masih bisa mengambil keputusan,” cerita Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto.
Seusai tes kesehatan, para pilot masuk ke ruang peralatan. Masing-masing memiliki helm yang memang dicetak khusus agar cocok dengan bentuk kepala pilot. Suhu di ruang peralatan ini sekitar 20 derajat celsius agar segala peralatan tetap kering. Di sinilah tersimpan G-suit serta tas berisi perlengkapan, seperti helm, sarung tangan, dan check list kondisi darurat. Dari sini, mereka telah siap berjalan ke hanggar tempat F-16 telah disiapkan.
Di hanggar, setelah menerima laporan dari penerbangan selanjutnya, lagi-lagi dilakukan cek terhadap pesawat. Selain cek instrumen, pesawat F-16 ini juga diraba dengan jari seluruh permukaan tubuhnya. Alasannya, agar bisa dengan mudah mendeteksi kebocoran.
Kalau semuanya beres, barulah mesin dinyalakan. Pada saat yang sama, di dispatch ada pilot lain yang memantau perkembangan. Pilot jaga ini minimal sudah mencapai posisi wingman agar bisa memberi masukan sesuai manual. Sebagai catatan, salah satu perbedaan penting antara Sukhoi dan F-16, pesawat asal AS ini memiliki buku manual yang lengkap, sementara Sukhoi semuanya ada di kepala perwakilannya sehingga ilmu itu baru keluar saat ditanyakan.
Penuh tekanan
Setelah semuanya siap, pesawat pun mengangkasa. Sekembalinya dari misi, para pilot beristirahat di Dragon Nest sambil makan siang. Sore hari, para dragon ini telah ada di ruang kebugaran dan bergantian mengangkat beban.
Tugas mereka memang penuh tekanan. Seperti yang diceritakan Mayor Setiawan ”Gryphon” yang mulai jadi pilot F-16 pada 1997. ”Kekhawatiran pasti ada, pernah saya mau terbang tiba-tiba ada masalah. Akan tetapi, yang penting semuanya kita harus siapkan dengan teliti,” katanya.
Salah satu keandalan F-16 adalah dalam pertempuran jarak dekat. Untuk itu, diperlukan keterampilan pesawat bermanuver. Secanggih apa pun pesawatnya, manusia tetap menjadi unsur terpenting. Dalam berbagai latihan dengan negara tetangga, Fajar memuji pilot-pilot dari Singapura yang disebutnya sangat profesional dalam segi keamanan dan brifing yang rinci. Ada cerita tentang pilot-pilot negara tetangga lain yang memiliki pesawat dengan kelas yang lebih tinggi dari F-16 Indonesia, sayangnya mereka minimalis dan tidak ingin mengeksplorasi kemampuan pesawatnya.
Sayangnya, kemampuan dan semangat juang di Indonesia sering tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Letkol Fajar, misalnya, setelah sekitar 15 tahun menjadi pilot pesawat tempur, sesuai dengan pangkatnya, kira-kira mendapatkan gaji sebesar Rp 5 juta per bulan. Ada pendapatan tambahan sekitar Rp 400.000 per bulan karena ia memiliki brevet penerbang.
Coba bandingkan dengan nasib pilot tempur di Singapura yang menurut www.mindef.gov.sg mendapatkan gaji sekitar Rp 50 juta. Itu belum termasuk tabungan dan bonus dari negara. ”Ini pekerjaan berisiko tinggi. Memang terkadang kami merasa tidak terperhatikan oleh negara. Akan tetapi, sebagai prajurit kami tetap laksanakan tugas,” kata Fajar.
Seperti hari itu, 30 Desember, hari terakhir latihan pada 2009. Misi hari itu disebut Redwolf Flight, sesuai dengan nama pemimpinnya, Fajar ”Redwolf” Adriyanto, yang didampingi Mayor Yulmaizir, adalah latihan air surface attack di kawasan Lumajang. Skenario latihan, ada target yang harus dihancurkan di jarak 1.000 kilometer dari pangkalan. Lettu Pandu Eka dan Kapten Bambang Apriyanto sudah mempersiapkan diri sejak malam sebelumnya.
Ada dua pesawat yang dikerahkan untuk misi hari itu. Awalnya, kedua pesawat itu akan terbang di ketinggian normal, yaitu 25.000 kaki. Mendekati sasaran, untuk menghindari radar, ketinggian diubah hanya 500 kaki di atas tanah. Radar memang dapat dihindari, tetapi ada bukit-bukit yang menjadi halangan. Sementara sasaran harus secepat mungkin dibereskan.
”Pagi-pagi kami brifing dengan tutor, secara rinci manuver-manuver seperti apa yang harus dilakukan,” cerita Kapten Bambang Apriyanto. Sebelum bertemu tutor, ada brifing pangkalan untuk mengetahui jadwal latihan hari itu serta kondisi cuaca dan arahan dari Komandan Lanud Iswahjudi Marsekal Pertama TNI Bambang Samoedro.
Tes kesehatan
Sementara mereka berdiskusi, para teknisi sudah mempersiapkan pesawat. Ada sekitar 180 orang di Skuadron Udara 3 yang menjadi sistem pendukung dari para pilot itu. Diperlukan kira-kira satu setengah jam untuk before flight inspection dan preflight inspection.
Setelah brifing, saatnya cek kesehatan. Dokter jaga mengukur denyut nada dan tekanan darah serta mengajukan pertanyaan, mulai dari soal ”apakah sedang batuk atau pilek” hingga ”apakah sedang bermasalah dengan pasangan”. ”Kalau tidak memenuhi syarat kesehatan, ya tidak boleh terbang,” kata Kapten (Kes) dr Tri Supriyanto.
Tes kesehatan harian sama wajibnya dengan tes indoktrinasi latihan aerofisiologi (ILA) yang diadakan dua tahun sekali. Penerbang dimasukan ke ruang tertutup yang kondisinya sama seperti di ketinggian 25.000 kaki. Tes ini untuk melihat batas ketahanan akan hipoksia, yaitu keadaan di mana tubuh kekurangan oksigen akibat perubahan ketinggian. ”Kita disuruh menghitung dan simulasi gerakan pesawat, sampai di mana pikiran kita masih bisa mengambil keputusan,” cerita Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto.
Seusai tes kesehatan, para pilot masuk ke ruang peralatan. Masing-masing memiliki helm yang memang dicetak khusus agar cocok dengan bentuk kepala pilot. Suhu di ruang peralatan ini sekitar 20 derajat celsius agar segala peralatan tetap kering. Di sinilah tersimpan G-suit serta tas berisi perlengkapan, seperti helm, sarung tangan, dan check list kondisi darurat. Dari sini, mereka telah siap berjalan ke hanggar tempat F-16 telah disiapkan.
Di hanggar, setelah menerima laporan dari penerbangan selanjutnya, lagi-lagi dilakukan cek terhadap pesawat. Selain cek instrumen, pesawat F-16 ini juga diraba dengan jari seluruh permukaan tubuhnya. Alasannya, agar bisa dengan mudah mendeteksi kebocoran.
Kalau semuanya beres, barulah mesin dinyalakan. Pada saat yang sama, di dispatch ada pilot lain yang memantau perkembangan. Pilot jaga ini minimal sudah mencapai posisi wingman agar bisa memberi masukan sesuai manual. Sebagai catatan, salah satu perbedaan penting antara Sukhoi dan F-16, pesawat asal AS ini memiliki buku manual yang lengkap, sementara Sukhoi semuanya ada di kepala perwakilannya sehingga ilmu itu baru keluar saat ditanyakan.
Penuh tekanan
Setelah semuanya siap, pesawat pun mengangkasa. Sekembalinya dari misi, para pilot beristirahat di Dragon Nest sambil makan siang. Sore hari, para dragon ini telah ada di ruang kebugaran dan bergantian mengangkat beban.
Tugas mereka memang penuh tekanan. Seperti yang diceritakan Mayor Setiawan ”Gryphon” yang mulai jadi pilot F-16 pada 1997. ”Kekhawatiran pasti ada, pernah saya mau terbang tiba-tiba ada masalah. Akan tetapi, yang penting semuanya kita harus siapkan dengan teliti,” katanya.
Salah satu keandalan F-16 adalah dalam pertempuran jarak dekat. Untuk itu, diperlukan keterampilan pesawat bermanuver. Secanggih apa pun pesawatnya, manusia tetap menjadi unsur terpenting. Dalam berbagai latihan dengan negara tetangga, Fajar memuji pilot-pilot dari Singapura yang disebutnya sangat profesional dalam segi keamanan dan brifing yang rinci. Ada cerita tentang pilot-pilot negara tetangga lain yang memiliki pesawat dengan kelas yang lebih tinggi dari F-16 Indonesia, sayangnya mereka minimalis dan tidak ingin mengeksplorasi kemampuan pesawatnya.
Sayangnya, kemampuan dan semangat juang di Indonesia sering tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Letkol Fajar, misalnya, setelah sekitar 15 tahun menjadi pilot pesawat tempur, sesuai dengan pangkatnya, kira-kira mendapatkan gaji sebesar Rp 5 juta per bulan. Ada pendapatan tambahan sekitar Rp 400.000 per bulan karena ia memiliki brevet penerbang.
Coba bandingkan dengan nasib pilot tempur di Singapura yang menurut www.mindef.gov.sg mendapatkan gaji sekitar Rp 50 juta. Itu belum termasuk tabungan dan bonus dari negara. ”Ini pekerjaan berisiko tinggi. Memang terkadang kami merasa tidak terperhatikan oleh negara. Akan tetapi, sebagai prajurit kami tetap laksanakan tugas,” kata Fajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar