Salah satu penyebab mudahnya pesawat-pesawat asing tanpa izin memasuki
wilayah pertahanan udara Indonesia adalah karena Indonesia kekurangan
radar udara militer. Dari sekitar 32 radar udara militer yang
dibutuhkan, Indonesia hanya memiliki sebanyak 20 radar.
Hal tersebut disampaikan oleh Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), Marsekal Muda TNI Hadiyan Suminta Admadja, ketika melakukan kunjungan evaluasi pertahanan udara di Lhokseumawe, Aceh, Rabu, 23 April 2014.
"Sementara ini yang punya kita radar militer itu 20 radar dari Sabang sampai Merauke, ditambah dengan radar-radar penerbangan sipil, itu kita manfaatkan juga. Maksimalnya, paling tidak radar militer sendiri harus ada sebanyak 32," ujar Marsekal Muda TNI Hadiyan Suminta Admadja.
Ia menambahkan, saat ini untuk menutup kekurangan tersebut pihak TNI Angkatan Udara memanfaatkan radar udara penerbangan sipil. "Saat ini kekurangan tersebut diatasi dengan cara memanfaatkan radar-radar penerbangan sipil. Kan ada radar di Medan, Cengkareng, Ambon, itu datanya kita ambil," katanya.
Panglima Kohanudnas tersebut mengakui, kekurangan itu menjadi penyebab lemahnya pertahanan udara Indonesia. Sehingga dalam beberapa kali kesempatan, pertahanan udara Indonesia dengan mudah dimasuki oleh pesawat-pesawat asing tanpa izin.
Terakhir TNI AU berhasil memaksa pesawat jenis Swearingen SX 300 untuk mendarat di Lanud Soewondo, Medan, pada 10 April 2014. Pesawat yang dipiloti warga negara Swiss tersebut memasuki wilayah Indonesia tanpa izin.
Pesawat-pesawat asing tanpa izin tersebut berhasil lolos dari pantauan pertahanan Indonesia. "Ada, ada beberapa, karena pada saat itu kita tidak punya tangannya tadi itu (kekurangan radar)," katanya lagi.
Panglima Kohanudnas direncanakan mengunjungi sejumlah daerah melakukan pemantauan dan evaluasi pertahanan udara. Setelah dari Lhokseumawe, ia direncakan mengunjungi Medan, Dumai, Surabaya, Malang, dan Congot Kulon Progo.
Anggaran Terbatas
Sementara itu, Hadiyan mengaku keterbatasan anggaran menjadi alasan banyaknya celah pertahanan udara Indonesia. Sehingga upaya yang dilakukan masih jauh dari yang diharapkan. "Keterbatasan anggaran yang di plotkan untuk TNI kan belum mencukupi, harus kita akui," ujar Hadiyan.
Menurutnya, anggaran atau dana yang dibutuhkan untuk penyediaan radar udara militer tersebut sangat mahal. Namun Hadiyan enggan menyebutkan berapa harga radar tersebut satunya. "Waduh, saya tidak bisa menyebutkan harganya. Yang jelas untuk menciptakan aman itu memang mahal," ucapnya.
Akibat dari kekurangan alat radar militer tersebut, dia mengatakan hampir setiap saat ada yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin. Kata dia, pesawat-pesawat tersebut datang dari berbagai negara tanpa dokumen dan izin lengkap.
Kekurangan tersebut menjadi penyebab lemahnya pertahanan udara Indonesia. Sehingga dalam beberapa kali kesempatan, pertahanan udara Indonesia dengan mudah dimasuki oleh pesawat-pesawat asing tanpa izin.
Hal tersebut disampaikan oleh Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), Marsekal Muda TNI Hadiyan Suminta Admadja, ketika melakukan kunjungan evaluasi pertahanan udara di Lhokseumawe, Aceh, Rabu, 23 April 2014.
"Sementara ini yang punya kita radar militer itu 20 radar dari Sabang sampai Merauke, ditambah dengan radar-radar penerbangan sipil, itu kita manfaatkan juga. Maksimalnya, paling tidak radar militer sendiri harus ada sebanyak 32," ujar Marsekal Muda TNI Hadiyan Suminta Admadja.
Ia menambahkan, saat ini untuk menutup kekurangan tersebut pihak TNI Angkatan Udara memanfaatkan radar udara penerbangan sipil. "Saat ini kekurangan tersebut diatasi dengan cara memanfaatkan radar-radar penerbangan sipil. Kan ada radar di Medan, Cengkareng, Ambon, itu datanya kita ambil," katanya.
Panglima Kohanudnas tersebut mengakui, kekurangan itu menjadi penyebab lemahnya pertahanan udara Indonesia. Sehingga dalam beberapa kali kesempatan, pertahanan udara Indonesia dengan mudah dimasuki oleh pesawat-pesawat asing tanpa izin.
Terakhir TNI AU berhasil memaksa pesawat jenis Swearingen SX 300 untuk mendarat di Lanud Soewondo, Medan, pada 10 April 2014. Pesawat yang dipiloti warga negara Swiss tersebut memasuki wilayah Indonesia tanpa izin.
Pesawat-pesawat asing tanpa izin tersebut berhasil lolos dari pantauan pertahanan Indonesia. "Ada, ada beberapa, karena pada saat itu kita tidak punya tangannya tadi itu (kekurangan radar)," katanya lagi.
Panglima Kohanudnas direncanakan mengunjungi sejumlah daerah melakukan pemantauan dan evaluasi pertahanan udara. Setelah dari Lhokseumawe, ia direncakan mengunjungi Medan, Dumai, Surabaya, Malang, dan Congot Kulon Progo.
Anggaran Terbatas
Sementara itu, Hadiyan mengaku keterbatasan anggaran menjadi alasan banyaknya celah pertahanan udara Indonesia. Sehingga upaya yang dilakukan masih jauh dari yang diharapkan. "Keterbatasan anggaran yang di plotkan untuk TNI kan belum mencukupi, harus kita akui," ujar Hadiyan.
Menurutnya, anggaran atau dana yang dibutuhkan untuk penyediaan radar udara militer tersebut sangat mahal. Namun Hadiyan enggan menyebutkan berapa harga radar tersebut satunya. "Waduh, saya tidak bisa menyebutkan harganya. Yang jelas untuk menciptakan aman itu memang mahal," ucapnya.
Akibat dari kekurangan alat radar militer tersebut, dia mengatakan hampir setiap saat ada yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin. Kata dia, pesawat-pesawat tersebut datang dari berbagai negara tanpa dokumen dan izin lengkap.
Kekurangan tersebut menjadi penyebab lemahnya pertahanan udara Indonesia. Sehingga dalam beberapa kali kesempatan, pertahanan udara Indonesia dengan mudah dimasuki oleh pesawat-pesawat asing tanpa izin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar