Rabu, 30 April 2014

Dibutuhkan 6.000 Teknisi Pesawat


Dalam lima tahun ke depan, bisnis perawatan pesawat (Maintenance, Repair and Overhaul/ MRO) di Indonesia memerlukan tambahan 6.000 teknisi.  Jumlah itu untuk mengantisipasi pertumbuhan bisnis penerbangan yang tumbuh 15-20% per tahun.  Tambahan teknisi tersebut untuk meningkatkan kapasitas MRO nasional dari 30-40% menjadi 50-60%. Sisa kapasitas masih akan diambil oleh MRO asing. Demikian ujar President IAMSA, Richard Budihadianto dalam konferensi The 2st Aviation MRO Indonesia (AMROI) 2014 Conference & Exhibition di Grand Mercure Hotel Jakarta, hari ini, Selasa (29/4/2014).

Menurut Richard yang juga direktur utama Garuda Maintenance Facility, saat ini jumlah teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat di Indonesia diperkirakan di bawah 3.000 orang. “Institusi pendidikan yang ada sekarang hanya mampu menghasilkan maksimal 600 orang teknisi per tahun. Karena itu diperlukan terobosan pemerintah dan pelaku industri MRO dalam upaya memenuhi kebutuhan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat,” ujarnya.
Teknisi yang diperlukan sekarang  adalah teknisi dengan pendidikan setara Diploma 3 (D3).  Lulusan D3 diperlukan karena sudah mempunyai daya anilis yang tinggi. Dengan demikian lama pendidikan lanjutan (type rating) bisa dipangkas dari 18 bulan menjadi hanya 9 bulan.  dan kemudian untuk menjadi teknisi  profesional dibutuhkan waktu lagi selama 4 tahun.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perhubungan EE Mangindaan menyatakan akan membantu pengadaan SDM untuk bisnis MRO.  “Kami akan coba meningkatkan kapasitas sekolah-sekolah yang dikelola Kementrian Perhubungan. Kami juga akan bekerjasama dengan IAMSA untuk peningkatan itu,” ujarnya.

Menurut Richard Budihadianto, pertumbuhan industri MRO di Indonesia tidak lepas dari bisnis penerbangan nasional yang tumbuh positif. Selain itu, terjadi migrasi pekerjaan perawatan untuk airframe dari Amerika Utara dan Eropa ke kawasan Asia Pasifik. Amerika Utara dan Eropa akan fokus menggarap industri teknologi tinggi dan padat modal sehingga pekerjaan airframe beralih ke kawasan Asia Pasifik dan Amerika Selatan. Apalagi jumlah pesawat yang beroperasi di Asia Pasifik terus bertambah. Berdasarkan laporan ICF SH&E, jumlah pesawat yang beroperasi akan mencapai 35.600 unit pada tahun 2022. Sebanyak 29% di antaranya dimiliki maskapai-maskapai dari Asia Pasifik. Tidak mengherankan jika pasar perawatan pesawat di Asia Pasifik menjadi yang terbesar di dunia dengan nilai USD 25 miliar pada tahun 2022.

Pertumbuhan bisnis aviasi dan perawatan pesawat di Asia Pasifik sejalan dengan pertumbuhan dalam negeri. Dalam catatan Indonesia National Air Carrieer Association (INACA) hingga tahun 2013, total pesawat yang dioperasikan oleh maskapai-maskapai domestik mencapai 754 pesawat, termasuk pesawat carter. Jumlah ini diperkirakan meningkat pesat di tahun 2017 menjadi 1.000 pesawat lebih yang menerbangi langit Indonesia. Karena itu, pasar perawatan pesawat nasional juga meningkat drastis dari USD 1,1 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 2 miliar pada tahun 2017.

Richard Budihadianto mengatakan untuk meningkatkan serapan pasar pemerintah dan industri MRO nasional harus bersinergi membenahi kekurangan dan meningkatkan daya saing. Sinergi yang solid adalah kunci penting menghadapi tantangan yang ada selama ini. “Kelangkaan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat itu salah satu tantangan yang harus kita cari jalan keluarnya bersama-sama,” katanya. Selain institusi pendidikan penerbangan, MRO nasional juga memiliki tanggung jawab mencetak dan mengembangkan teknisi dan tenaga handal perawatan pesawat ini.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar