Dalam lima tahun ke depan, bisnis perawatan pesawat (Maintenance,
Repair and Overhaul/ MRO) di Indonesia memerlukan tambahan 6.000
teknisi. Jumlah itu untuk mengantisipasi pertumbuhan bisnis penerbangan
yang tumbuh 15-20% per tahun. Tambahan teknisi tersebut untuk
meningkatkan kapasitas MRO nasional dari 30-40% menjadi 50-60%. Sisa
kapasitas masih akan diambil oleh MRO asing. Demikian ujar President
IAMSA, Richard Budihadianto dalam konferensi The 2st Aviation MRO
Indonesia (AMROI) 2014 Conference & Exhibition di Grand Mercure
Hotel Jakarta, hari ini, Selasa (29/4/2014).
Menurut Richard yang juga direktur utama Garuda Maintenance Facility,
saat ini jumlah teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat di Indonesia
diperkirakan di bawah 3.000 orang. “Institusi pendidikan yang ada
sekarang hanya mampu menghasilkan maksimal 600 orang teknisi per tahun.
Karena itu diperlukan terobosan pemerintah dan pelaku industri MRO dalam
upaya memenuhi kebutuhan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat,”
ujarnya.
Teknisi yang diperlukan sekarang adalah teknisi dengan pendidikan
setara Diploma 3 (D3). Lulusan D3 diperlukan karena sudah mempunyai
daya anilis yang tinggi. Dengan demikian lama pendidikan lanjutan (type
rating) bisa dipangkas dari 18 bulan menjadi hanya 9 bulan. dan
kemudian untuk menjadi teknisi profesional dibutuhkan waktu lagi selama
4 tahun.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perhubungan EE Mangindaan
menyatakan akan membantu pengadaan SDM untuk bisnis MRO. “Kami akan
coba meningkatkan kapasitas sekolah-sekolah yang dikelola Kementrian
Perhubungan. Kami juga akan bekerjasama dengan IAMSA untuk peningkatan
itu,” ujarnya.
Menurut Richard Budihadianto, pertumbuhan industri MRO di Indonesia
tidak lepas dari bisnis penerbangan nasional yang tumbuh positif. Selain
itu, terjadi migrasi pekerjaan perawatan untuk airframe dari Amerika
Utara dan Eropa ke kawasan Asia Pasifik. Amerika Utara dan Eropa akan
fokus menggarap industri teknologi tinggi dan padat modal sehingga
pekerjaan airframe beralih ke kawasan Asia Pasifik dan Amerika Selatan.
Apalagi jumlah pesawat yang beroperasi di Asia Pasifik terus bertambah.
Berdasarkan laporan ICF SH&E, jumlah pesawat yang beroperasi akan
mencapai 35.600 unit pada tahun 2022. Sebanyak 29% di antaranya dimiliki
maskapai-maskapai dari Asia Pasifik. Tidak mengherankan jika pasar
perawatan pesawat di Asia Pasifik menjadi yang terbesar di dunia dengan
nilai USD 25 miliar pada tahun 2022.
Pertumbuhan bisnis aviasi dan perawatan pesawat di Asia Pasifik
sejalan dengan pertumbuhan dalam negeri. Dalam catatan Indonesia
National Air Carrieer Association (INACA) hingga tahun 2013, total
pesawat yang dioperasikan oleh maskapai-maskapai domestik mencapai 754
pesawat, termasuk pesawat carter. Jumlah ini diperkirakan meningkat
pesat di tahun 2017 menjadi 1.000 pesawat lebih yang menerbangi langit
Indonesia. Karena itu, pasar perawatan pesawat nasional juga meningkat
drastis dari USD 1,1 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 2 miliar pada
tahun 2017.
Richard Budihadianto mengatakan untuk meningkatkan serapan pasar
pemerintah dan industri MRO nasional harus bersinergi membenahi
kekurangan dan meningkatkan daya saing. Sinergi yang solid adalah kunci
penting menghadapi tantangan yang ada selama ini. “Kelangkaan teknisi
dan tenaga ahli perawatan pesawat itu salah satu tantangan yang harus
kita cari jalan keluarnya bersama-sama,” katanya. Selain institusi
pendidikan penerbangan, MRO nasional juga memiliki tanggung jawab
mencetak dan mengembangkan teknisi dan tenaga handal perawatan pesawat
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar