Sebagai Perintis dan Pendiri AURI (Angkatan Udara Republik
Indonesia) Soerjadarma tidak hanya berperan dalam mengembangkan TNI AU
atau dunia kedirgantaraan nasional pada bidang kemiliteran, namun juga
sebagai pelopor pada penerbangan komersial. Tidaklah berlebihan jika
dikatakan, Soerjadarma telah menjadikan dirgantara sebagai bagian dari
jiwa dan kehidupannya
Soerjadarma merupakan tokoh besar dalam catatan sejarah TNI Angkatan
Udara (TNI AU). Ia merupakan tokoh perintis sekaligus pendiri AURI,
yang selama 16 tahun - dari 9 April 1946 sampai Februari 1962 - menjabat
sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Pada 18 Februari 1960
jabatannnya ditingkatkan menjadi Menteri Kepala Staf Angkatan
Perang/KASAP (setingkat Panglima TNI saat ini). Ketika dilantik sebagai
KASAU pada 9 April 1946, Soerjadarma berusia 33 tahun 4 bulan dengan
pangkat Komodor Udara (pangkat Angkatan Udara setingkat Brigadir Jendral
pada TNI Angkatan Darat).
Sejak awal kelahirannya, tokoh AURI yang dikenal dengan mottonya
“Kembangkan Terus Sayapmu Demi Kejayaan Tanah Air Tercinta, Jadilah
Perwira Sejati Pembela Tanah Air”, mungkin telah ditakdirkan sebagai
warga negara Indonesia yang bertugas merintis tumbuh kembangnya AURI.
Hal ini terbukti dari semangat juang dan pengorbanannya nya dalam
mengatasi berbagai tantangan dan hambatan, dalam meraih cita-citanya
serta kemauan keras hatinya untuk menjadi penerbang militer sebagai
profesi hidupnya.
Asal-usul meniti karier
Soerjadarma yang dilahirkan di Banyuwangi pada 6 Desember 1912
merupakan anak R. Suryaka Soerjadarma, yang memiliki garis keturunan
Keraton Kanoman Cirebon. Pendidikan Umum dijalani di Europese Lagere
School (ELS) dan Hagere Burgere School (HBS) di Bandung, kemudian pindah
ke Koning Willem School (KWS) III di Batavia sampai lulus. Sejak kecil
Soerjadarma bercita-cita menjadi penerbang. Namun pada waktu itu di
Indonesia belum ada sekolah penerbang sipil, yang ada adalah sekolah
penerbang militer. Sedangkan persyaratan untuk dapat mengikuti
pendidikan penerbang harus seorang Opsir lulusan Koniklijke Militaire
Academie (KMA) Breda, Belanda.
Tahun 1931, Soerjadarma mengikuti pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) Breda. Ia
merupakan salah satu dari empat puluh bumiputera yang diterima di KMA
pada era Hindia Belanda. September 1934 ia lulus dan dilantik sebagai
perwira pertama dengan pangkat Letnan Dua. Pada awalnya Soerjadarma
ditugaskan di Nijmigem Belanda kemudian pada Oktober 1934 dipindahkan ke
Batalyon Infanteri-I di Magelang. Dua tahun kemudian, tepatnya Desember
1936 dipindahkan ke Luchtvaart Afdeling (bagian penerbangan) KNIL di
Bandung. Selanjutnya mengikuti pendidikan afiliasi kursus persenjataan.
Pada Desember 1937, pangkatnya naik menjadi Letnan Satu dan masuk
Sekolah Penerbang KNIL.
Juli 1938, Letnan Satu Soerjadarma mengikuti pendidikan
Warnamer School dan ditugaskan sebagai navigator pada Vliegtuing Group
Glenn Martin di Lanud Andir, Bandung. Januari 1941 ditugaskan sebagai
instruktur pada Vliegen Waarnemer School di Kalijati, dan setahun
kemudian menjabat sebagai Wakil Komandan Satuan 2 VLG pada Grup 7
kesatuan pengebom di Lanud “Z” (Vlieg Baziz Z) Sumatera. Tugas utamanya
mengamankan iring-iringan armada kapal perang Belanda dari serangan
kapal selam Jepang, melakukan pengintaian terhadap kapal-kapal selam
Jepang dan menyerang iring-iringan armada kapal perang Jepang serta
Angkatan Laut Jepang yang dipusatkan di sebelah barat Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur.
Pengalaman Operasi Udara
Soerjadarma memiliki segudang pengalaman dalam operasi-operasi udara
Angkatan Udara Belanda, terutama ketika Belanda terdesak oleh invasi
Jepang. Ia terkenal akan keberaniannya sebagai navigator dengan tiga
pesawat pengebom Glenn Martin B-10, yang mengebom armada Jepang di
Tarakan tanpa disertai fighter escort. Pada 13 Februari 1942
bersama kawan-kawannya berhasil memimpin pengeboman atas kapal
penjelajah (cruiser) Jepang. Namun kemudian mereka diserang balik
pesawat-pesawat Zero, sehingga hanya pesawat pengebom yang dipiloti Soerjadarma yang berhasil kembali ke homebase meskipun dalam keadaan rusak.
Karena jasanya tersebut, Pemerintah Belanda menganugerahi Medals for Distinguished Service During Combat
untuk Jan Lukkien Sang Komandan Skadron sungguhpun sebetulnya peran
Soerjadarma sangat besar dalam mengambil keputusan bersama Kapten
Lukkien. Waktu itu Soerjadarma berusia 30 tahun dengan pangkat Kapten.
Atas jasanya, kerajaan Belanda juga memberikan anugerah bintang Willems Orde,
namun penghargaan itu ditolaknya dengan alasan kawan-kawan yang gugur
dalam operasi itulah sebenarnya yang lebih berhak menerimanya.
Tugas di kesatuan 2VLG Grup 7 dilaksanakan secara
gemilang dan tuntas sampai dengan pendaratan tentara Jepang di Indonesia
pada 8 Maret 1942. Pada saat Jepang melakukan invasi, Soerjadarma tidak
ikut tentara Belanda mengungsi menuju Australia. Untuk “mengamankan
dirinya” dari kemungkinan ditangkap Jepang, dengan bantuan Komisaris
Polisi Yusuf teman baiknya, Soerjadarma diterima menjadi anggota
Kepolisian Bandung dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Administrasi
Kantor Pusat Bandung.
Tugas di kepolisian ia jalani sampai Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Pada awalnya Soerjadarma ragu dengan tawaran ini, mengigat
ia telah banyak menjatuhkan bom terhadap kapal-kapal Jepang selama
Perang Dunia II. Sehingga jika pihak Jepang mengetahui bahwa dia dulu
adalah perwira Belanda dan pernah menjatuhkan bom di atas kapal-kapal
Jepang pasti tidak akan diterima bahkan mungkin dipenjara. Namun
ternyata Soerjadarma berhasil lolos dari lubang jarum. Ia lolos dari
penelitian Jepang yang cukup ketat dan ia diterima sebagai polisi Jepang
pada bagian Ekonomi.
Merintis AURI dan Kedirgantaraan
Pada awal masa kemerdekaan, Soerjadarma bersama Arudji Kartawinata,
diperintah Bung Karno untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di
Bandung, sekaligus sebagai ketuanya. Usaha pertama yang ditempuh BKR
bersama rakyat adalah merebut pangkalan-pangkalan udara Jepang dan
berbagai bekas pangkalan udara Jepang tersebut, terutama di Pulau Jawa,
dan dibentuk organisasi-organisasi BKR-Oedara (BKR-O). Tidak lama
kemudian, pada September 1945, Soerjadarma di panggil Jenderal Oerip
Soemohardjo ke Markas Tertinggi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) di
Yogyakarta untuk mereorganisasi BKR dan BKR-Oedara. (Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar