Selasa, 15 April 2014

Jejak Langkah Laksamana Udara S. Soerjadarma


Sebagai Perintis dan Pendiri AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) Soerjadarma tidak hanya berperan dalam mengembangkan TNI AU  atau dunia kedirgantaraan nasional pada bidang kemiliteran, namun juga sebagai pelopor pada penerbangan komersial. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, Soerjadarma telah menjadikan dirgantara sebagai bagian dari jiwa dan kehidupannya

Soerjadarma merupakan tokoh besar dalam catatan sejarah TNI Angkatan Udara (TNI AU).  Ia merupakan tokoh perintis sekaligus pendiri AURI, yang selama 16 tahun - dari 9 April 1946 sampai Februari 1962 - menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Pada 18 Februari 1960 jabatannnya ditingkatkan menjadi Menteri Kepala Staf Angkatan Perang/KASAP (setingkat Panglima TNI saat ini). Ketika dilantik sebagai KASAU pada 9 April 1946, Soerjadarma berusia 33 tahun 4 bulan dengan pangkat Komodor Udara (pangkat Angkatan Udara setingkat Brigadir Jendral pada TNI Angkatan Darat).  

Sejak awal kelahirannya, tokoh AURI yang dikenal dengan mottonya “Kembangkan Terus Sayapmu Demi Kejayaan Tanah Air Tercinta, Jadilah Perwira Sejati Pembela Tanah Air”, mungkin telah ditakdirkan sebagai warga negara Indonesia yang bertugas merintis tumbuh kembangnya AURI. Hal ini terbukti dari semangat juang dan pengorbanannya nya dalam mengatasi berbagai tantangan dan hambatan, dalam meraih cita-citanya serta kemauan keras hatinya untuk menjadi penerbang militer sebagai profesi hidupnya.

Asal-usul meniti karier
Soerjadarma yang dilahirkan di Banyuwangi pada 6 Desember 1912 merupakan anak R. Suryaka Soerjadarma, yang memiliki garis keturunan Keraton Kanoman Cirebon. Pendidikan Umum dijalani di Europese Lagere School (ELS) dan Hagere Burgere School (HBS) di Bandung, kemudian pindah ke Koning Willem School (KWS) III di Batavia sampai lulus. Sejak kecil Soerjadarma bercita-cita menjadi penerbang. Namun  pada waktu  itu di Indonesia belum ada sekolah penerbang sipil, yang ada adalah sekolah penerbang militer. Sedangkan persyaratan untuk dapat mengikuti pendidikan penerbang harus seorang Opsir lulusan Koniklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.

Tahun 1931, Soerjadarma mengikuti pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) Breda. Ia merupakan salah satu dari empat puluh bumiputera yang diterima di KMA pada era Hindia Belanda. September 1934 ia lulus dan dilantik sebagai perwira pertama dengan pangkat Letnan Dua. Pada awalnya Soerjadarma ditugaskan di Nijmigem Belanda kemudian pada Oktober 1934 dipindahkan ke Batalyon Infanteri-I di Magelang. Dua tahun kemudian, tepatnya Desember 1936 dipindahkan ke Luchtvaart Afdeling (bagian penerbangan) KNIL di Bandung. Selanjutnya mengikuti pendidikan afiliasi kursus persenjataan. Pada Desember 1937, pangkatnya naik menjadi Letnan Satu dan masuk Sekolah Penerbang KNIL.

            Juli 1938, Letnan Satu Soerjadarma mengikuti pendidikan Warnamer School dan ditugaskan sebagai navigator pada Vliegtuing Group Glenn Martin di Lanud Andir, Bandung. Januari 1941 ditugaskan sebagai instruktur pada Vliegen Waarnemer School di Kalijati, dan setahun kemudian menjabat sebagai Wakil Komandan Satuan 2 VLG pada Grup 7 kesatuan pengebom di Lanud “Z” (Vlieg Baziz Z) Sumatera. Tugas utamanya mengamankan iring-iringan armada kapal perang Belanda dari serangan kapal selam Jepang, melakukan pengintaian terhadap kapal-kapal selam Jepang dan menyerang iring-iringan armada kapal perang Jepang serta Angkatan Laut Jepang yang dipusatkan di sebelah barat Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Pengalaman Operasi Udara
Soerjadarma memiliki segudang pengalaman  dalam operasi-operasi udara Angkatan Udara Belanda, terutama ketika Belanda terdesak oleh invasi Jepang. Ia terkenal akan keberaniannya sebagai navigator dengan tiga pesawat pengebom Glenn Martin B-10, yang mengebom armada Jepang di Tarakan tanpa disertai fighter escort. Pada 13 Februari 1942 bersama kawan-kawannya berhasil memimpin pengeboman atas kapal penjelajah (cruiser) Jepang. Namun kemudian mereka diserang balik pesawat-pesawat Zero, sehingga hanya pesawat pengebom yang dipiloti Soerjadarma yang berhasil kembali ke homebase meskipun dalam keadaan rusak.

Karena jasanya tersebut, Pemerintah Belanda menganugerahi Medals for Distinguished Service During Combat untuk Jan Lukkien Sang Komandan Skadron sungguhpun sebetulnya peran Soerjadarma sangat besar dalam mengambil keputusan bersama Kapten Lukkien. Waktu itu Soerjadarma berusia 30 tahun dengan pangkat Kapten. Atas jasanya, kerajaan Belanda juga memberikan anugerah bintang Willems Orde, namun penghargaan itu ditolaknya dengan alasan kawan-kawan yang gugur dalam operasi itulah sebenarnya yang lebih berhak menerimanya.

            Tugas di kesatuan 2VLG Grup 7 dilaksanakan secara gemilang dan tuntas sampai dengan pendaratan tentara Jepang di Indonesia pada 8 Maret 1942. Pada saat Jepang melakukan invasi, Soerjadarma tidak ikut tentara Belanda mengungsi menuju Australia. Untuk “mengamankan dirinya” dari kemungkinan ditangkap Jepang, dengan bantuan Komisaris Polisi Yusuf teman baiknya, Soerjadarma diterima menjadi anggota Kepolisian Bandung dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Administrasi Kantor Pusat Bandung.

Tugas di kepolisian ia jalani sampai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada awalnya Soerjadarma ragu dengan tawaran ini, mengigat ia telah banyak menjatuhkan bom terhadap kapal-kapal Jepang selama Perang Dunia II. Sehingga jika pihak Jepang mengetahui bahwa dia dulu adalah perwira Belanda dan pernah menjatuhkan bom di atas kapal-kapal Jepang pasti tidak akan diterima bahkan mungkin dipenjara. Namun ternyata Soerjadarma berhasil lolos dari lubang jarum. Ia lolos dari penelitian Jepang yang cukup ketat dan ia diterima sebagai polisi Jepang pada bagian Ekonomi.

Merintis AURI dan Kedirgantaraan
Pada awal masa kemerdekaan, Soerjadarma bersama Arudji Kartawinata, diperintah Bung Karno untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung, sekaligus sebagai ketuanya. Usaha pertama yang ditempuh BKR  bersama rakyat adalah merebut pangkalan-pangkalan udara Jepang dan berbagai bekas pangkalan udara Jepang tersebut, terutama di Pulau Jawa, dan dibentuk organisasi-organisasi BKR-Oedara (BKR-O). Tidak lama kemudian, pada September 1945, Soerjadarma di panggil Jenderal Oerip Soemohardjo ke Markas Tertinggi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) di Yogyakarta untuk mereorganisasi BKR dan BKR-Oedara. (Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar