Jumat, 04 April 2014

Malaysia Inginkan Kep. Natuna Menjadi Wilayahnya


Kepulauan Natuna
Kepulauan Natuna
Mustafa Kamal

Sebuah artikel yang ditulis oleh dosen Universitas Sains Islam Malaysia di media  Malaysia www. mStar.com.my menuliskan bahwa Kepulauan Natuna seharusnya milik Malaysia. Artikel yang ditulis oleh Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat ,Ph. D tersebut mengemukakan pertanyaan: “kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?
Kepulauan Natuna
Kepulauan Natuna

Dalam artikel tersebut mereka menyebutkan beberapa hal alasan mengapa seharusnya Kepulauan Natuna milik Malaysia. Alasan tersebut sebagai berikut:
  1. Secara geografis kepulauan Natuna terletak ditengah-tengah yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Serawak Malaysia
  2. Bahasa masyarakat Natuna adalah bahasa melayu dialek Terengganu Malaysia
  3. Natuna awalnya adalah dibawah pemerintahan Kerajaan Pattani dan Kerajaan Melayu Johor Malaysia pada tahun 1597
  4. Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 tidak menempatkan Kepulauan Natuna dibawah kekuasaan Inggris ataupun Belanda,namun dibawah kekuasaan Kerajaan melayu Johor, Malaysia yang sejatinya dibawah pengaruh Inggris
  5. Kesultanan Johor merdeka dari Ingrris pada tahun 1957 dan bergabung menjadi wilayah persekutuan Malaysia
Atas dasar diatas mereka akhirnya menyimpulkan sesuai dengan konsep “utti possideti juris” maka Kepulauan Natuna yang merupakan wilayah kerajaan Johor seharusnya menjadi bagian dari Malaysia. Dengan kata lain karena Kepulauan Natuna tidak pernah menjadi daerah jajahan Belanda, maka seharusnya Kepualauan Natuna bukan bagian dari Indonesia menurut konsep tersebut.
Indonesia memasukkan Kepulauan Natuna menjadi wilayahnya secara resmi pada tahun 1956 setahun sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Karena konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1962- 1966 pemerintah Malaysia tercurah perhatiannya untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga keberadaan Kepulauan Natuna yang diklaim Indonesia terluput dari perhatian.
Diprediksi untuk mempercepat berakhirnya konflik, pemerintah Malaysia kala itu menahan diri untuk tidak mempersoalkan keberadaan Kepulauan Natuna agar bisa berdamai dengan negara jiran serumpun Indonesia. Hingga kini 56 tahun berlalu Malaysia tidak pernah mempersoalkan keberadaan kepulauan tersebut, sehingga sesuai dengan konsep Undang-undang antar bangsa yang mensahkan sebuah wilayah adalah menjadi wilayah negara tertentu dengan tidak ada dibantah oleh negara-negara lain,  maka Indonesia beruntung memiliki Kepulauan Natuna walau dalam sejarahnya seharusnya menjadi milik Malaysia.
Tulisan dua orang dosen malaysia itu menurut penulis harus kita waspadai. Tulisan itu jelas suatu provokasi halus agar Kepulauan Natuna memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Apalagi saat ini gencar-gencarnya Natuna meminta menjadi provinsi sendiri. Tidak mungkin kelak karena “hasutan” malaysia Natuna memisahkan diri dari Indonesia.
Malaysia belakangan ini memang terlihat menganggap enteng Indonesia sejak berhasilnya mereka memiliki Sipadan dan Ligitan yang seharusnya milik Indonesia. Apa jadinya kalau mereka secara ekonomi dan meliter lebih maju dari kita nantinya, bisa jadi mereka akan mengintervensi Kepulauan Natuna nantinya seperti bagaimana Rusia mengintervensi Crimea dan “merebutnya” dari Ukraina.
Walau kecil kemungkinan tersebut terjadi, tapi kemungkinan bisa terjadi pun ada jika Pemerintah Indonesia mengabaikan kesejahteraan Masyarakat Natuna padahal kekayaan alam natuna dari gas dan minyak buminya menyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Jika pemerintah Indonesia abai terhadap pertahanan dan keamanaan di Natuna, maka bisa saja negara luar akan  gampang mendikte kita, seperti baru-baru ini sebagian wilayah natuna dimasukkan China di peta wilayahnya atau seperti Malaysia yang terus melakukan manuver di pulau Anambat.
Saat ini yang sangat dibutuhkan masyarakat Natuna adalah bagaimana mereka bisa melepaskan diri dari keterisoliran dari wilayah lain di Indonesia.  Di kepualauan Natuna harus banyak di bangun bandara, dengan memperbanyak penerbangan murah yang disubsisi pemerintah ke natuna. Saat ini penerbangan ke Natuna sangat sedikit dan harganya mahal berkisar diangka Satu jutaan rupiah. Begitu juga transportasi lautnya yang sangat terbatas bahkan perlu berhari-hari ditengah laut untuk kesana.
Kemudian persoalan pendidikan, sosial budaya,   di Natuna harus menjadi prioritas Utama, saat ini “penyakit masyarakat”mulai dari pesatnya pertumbuhan penderita HIV/AIDS di Natuna, seks bebas di kalangan remaja sehingga di Natuna terkenal istilah 3J (Three Jie) yaitu istilah untuk remaja tanggung (cabe-cabean) yang menjual keperawaanannya dan lain sebagainya adalah buah dari tidaknya jalannya penanaman karakter pendidikan disana.
Pemerintah daerah dan pusat harus mengambil perhatian penuh dengan persoalan ini. Kalau tidak maka generasi muda natuna akan tersinggirkan dan akan gampang terprovokasi dan tentu kedepan kemungkinan “lepas” dari Indonesia bisa saja terjadi!
Save Natuna! - (kompasiana)
Artikel Asli:

Kepulauan Natuna: ‘Bergeografikan Malaysia’ Berdaulatkan Indonesia

Diterbitkan: Sabtu, 7 Disember 2013 12:00 AM
KEPULAUAN Natuna adalah gugusan kepulauan yang berselerakan di tengah-tengah Laut China Selatan yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Sarawak. Ia terletak lebih kurang 450km di utara pulau Singapura. Pulau terbesar di dalam gugusan kepulauan Natuna adalah Pulau Serindit atau nama lainnya, Pulau Bunguran.
Nama antarabangsa yang diiktiraf bagi Pulau Bunguran ialah ‘Natuna’. Walaupun dikatakan terpencil, Kepulauan Natuna terletak di kawasan laluan utama perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat.
Berpusatkan kota Ranai sebagai ibu negerinya, Kepulauan Natuna terdiri daripada 272 buah pulau yang terletak di barat laut Pulau Borneo. Mungkin terdapat sebahagian daripada kita yang bertanya; kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?
Penduduk
Sehingga tahun 2010, dianggarkan penduduk di Kabupaten (Regency) Natuna adalah sebanyak 69,003 orang, yang terdiri daripada 35,741 orang lelaki dan 33,262 perempuan. Lebih kurang 85% penduduk di sana 85.27% adalah berketurunan Melayu dan selainnya adalah berketurunan Jawa, Sumatera dan Cina.
Bahasa pertuturan utama adalah Bahasa Melayu dielek negeri Terengganu dan Islam adalah agama utama penduduk di Kabupaten Natuna.
Sejarah
Sejarah Kepulauan Natuna tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh negeri-negeri di Tanah Melayu. Pemerintahan di Natuna dikatakan bermula pada tahun 1597 yang didirikan hasil gabungan penghijrahan kaum bangsawan Patani dan Johor. Pada sekitar kurun ke-16 iaitu selepas kejatuhan Kesultanan Melayu Melaka ke tangan Portugis, kerajaan Patani dan Johor muncul sebagai kuasa baru di rantau Tanah Melayu.
Kuasa dan pengaruh kesultanan Patani dikatakan lebih tertumpu di kawasan utara merangkumi negeri-negeri Terengganu, Kelantan, Menara (Narathiwat) dan Jala (Yala) sebelum dijajah Siam pada kurun ke-18. Manakala Kesultanan Johor pula menguasai kawasan selatan yang terdiri daripada negeri Pahang, sebahagian pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau.
Susur galur pemerintahan Patani di Natuna bermula apabila salah seorang puteri berketurunan pemerintah asal Natuna bernama Puteri Wan Seri Bulan yang telah berkahwin dengan Datuk Bendahara Lingkai al-Fathani, seorang kerabat diRaja Patani. Zuriat dari pasangan ini telah menjadi Datuk Kaya yang memegang teraju pemerintahan Natuna.
Selain dari itu, antara pemerintah yang terkenal ialah Wan Muhammad al-Fathani yang berketurunan Orang Kaya Aling.
Baginda, yang juga digelar Orang Kaya Perdana Mahkota telah berhubung dengan pihak Inggeris pada tahun 1848 apabila Penguasa Tentera Inggeris bagi negeri-negeri Selat di Tanah Melayu, Leftenan Kolonel Butterworth menghadiahkan sebuah meriam tembaga atas jasa baginda memberikan bantuan kepada sebuah kapal milik pihak Inggeris yang pecah di sekitar pulau Natuna pada 25 Januari 1848.
Sorotan sejarah pemerintahan dan kependudukan awal bangsa Melayu di Natuna ini jelas menunjukkan bahawa kepulauan tersebut mempunyai hubungan yang lebih erat dengan dengan negeri-negeri di Tanah Melayu berbanding dengan kerajaan-kerajaan dari kepulauan Indonesia ataupun pihak penjajah Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).
Pemerintahan Penjajah Barat Di Nusantara
Kepulauan Melayu (Nusantara) adalah gugusan kepulauan yang terbesar di dunia dan Pulau Natuna terletak di kawasan ini. Sejak zaman kerajaan Srivijaya lagi, iaitu bermula dari kurun ke-7 Masihi, kerajaan-kerajaan Melayu sangat aktif dalam bidang perdagangan dan kota-kota Melayu menjadi pusat pelabuhan yang penting, seperti Palembang, Melaka, Kotaraja (Aceh), Patani dan Brunei.
Namun, kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu dan kekayaan sumber-sumber alam kepulauan Melayu ini telah mengundang minat penjajah Barat untuk datang menguasai rantau ini.. Kerajaan Melaka adalah kerajaan yang pertama jatuh ke tangan penguasa Portugis pada tahun 1511.
Melaka kemudiannya dikuasai oleh Belanda pada tahun 1641 sementara Bengkulu, yang terletak di Pulau Sumatera, dikuasai Inggeris pada tahun 1685.
Perlumbaan dalam mengembangkan kuasa dan pengaruh British dan Belanda di Kepulauan Melayu telah menimbulkan rasa tidak puas hati antara kedua-dua kuasa penjajah tersebut.
Bagi menamatkan bibit-bibit konflik dan mengekalkan hubungan baik British-Belanda, Perjanjian Inggeris-Belanda pada 17 Mac 1824 (Perjanjian 1824) telah dimetarai. Perjanjian ini telah membahagikan ‘Dunia Melayu’ di mana kedua kuasa tersebut secara sewenang-wenangnya melakarkan ‘peta kekuasaan’ masing-masing.
Artikel 10 Perjanjian ini berbunyi ‘Kota Melaka diserahkan kepada Raja Inggeris, manakala Raja Belanda dan rakyatnya tidak akan menubuhkan sebarang penempatan di Singapura dan Semenanjung Melaka (Semenanjung Melayu)’. Artikel 9 Perjanjian 1824 mengiktiraf pengaruh Belanda di Pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura.
Dengan termeterainya perjanjian ini, pihak British tidak akan membuka penempatan di pulau-pulau di selatan Singapura dan Belanda juga tidak akan membuka penempatan di Semenanjung Melayu.
Perjanjian 1824 ini telah menjarah sempadan di kepulauan Melayu dan kesannya kekal sehingga ke hari ini.
Kesan Perjanjian 1824 ke Atas Kepulauan Natuna
Secara umum, boleh dikatakan bahawa Perjanjian 1824 tidak meletakkan kepulauan Natuna dengan jelas sama ada di bawah pengaruh Inggeris atau Belanda.
Akan tetapi, Perjanjian 1824 ada mengatakan yang Belanda tidak akan menubuhkan penempatan di utara pulau Singapura dan Semenanjung Melayu yang diiktiraf sebagai wilayah British.
Wilayah Belanda adalah di pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura. Dari sudut geografi, Kepulauan Natuna bukanlah gugusan kepulauan yang terletak di selatan pulau Singapura.
Kepulauan Natuna Sebagai Wilayah di Dalam Indonesia
Kepulauan Natuna telah dimasukkan sebagai salah sebuah wilayah di dalam Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah bertarikh 18 Mei 1956.
Kabupaten Natuna kemudiannya telah ditubuhkan di dalam Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 yang telah dikuatkuasakan pada 12 Oktober 1999.
Namun, jika dilihat pada peta Asia Tenggara, jelas menunjukkan bahawa Kepuluan Natuna secara semulajadinya terletak sejajar dengan lokasi negeri Terengganu, sekiranya garis lurus dilukis dari pesisir negeri berkenaan ke arah timur.
Sempadan Indonesia jelas melengkung ke atas dan bukanlah dalam satu garisan yang lurus.
Kepulauan Natuna menjadi salah satu aset utama dalam menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.
Dalam melukis garis kepulauan bagi membentuk perairan kepulauan, satu garis melengkung telah dilukis dari Pulau Bintan ke arah utara menyambung Kepulauan Anambas dan seterusnya Kepulauan Natuna sebelum garis ini melengkung ke bawah untuk bersambung dengan provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan sumber sejarah, adalah munasabah untuk mengatakan Kepulauan Natuna tidak banyak mempunyai perkaitan dengan negara Indonesia. Kepulauan Natuna berbeza dengan tanah jajahan Belanda yang lain di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Makassar dan Papua.
Wilayah-wilayah ini yang menjadi milik Indonesia yang mewarisinya daripada bekas penjajahnya, Belanda apabila Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Konsep yang wujud di dalam undang-undang antarabangsa ini dipanggil utti possideti juris.
Semasa Perjanjian 1824 dibuat, kepulauan Natuna masih lagi di bawah pengaruh kesultanan Melayu menerusi pemerintahan Baginda Wan Muhammad al-Fathani. Juga, Perjanjian 1824 tidak secara jelas meletakkan kepulauan Natuna di bawah pengaruh Belanda.
Malah, sekiranya Perjanjian 1824 diteliti, Belanda tidak berhak membuka penempatan di mana-mana kawasan di utara pulau Singapura yang jelas berada di dalam kawasan pengaruh British.
Secara logiknya, memandangkan kepulauan Natuna masih berada di dalam wilayah lingkup kerajaan Johor saat Perjanjian 1824 ditandantangani, ianya patut berada di bawah pengaruh British, yang menjadi penaung bagi kesultanan Johor pada ketika itu.
Oleh itu, mungkin timbul hujah yang mengatakan kepulauan Natuna sepatutnya berada bersama Malaysia apabila kesultanan Johor merdeka di dalam Persekutuan Malaya pada tahun 1957 menerusi konsep utti possideti juris.
Tuntutan ke Atas Kepulauan Natuna
Indonesia secara rasmi memasukkan kepulauan Natuna sebagai wilayahnya pada tahun 1956, setahun sebelum Tanah Melayu (Malaysia) mencapai kemerdekaan dan 6 tahun sebelum berlakunya Konfrontasi Malaysia dengan Indonesia.
Tanah Melayu pada ketika itu masih lagi diperintah British dan belum lagi menjadi sebuah negara berdaulat bagi menuntut ketuanan ke atas kepulauan Natuna. Walaupun Tanah Melayu mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 dan menjadi Malaysia pada tahun 1963, Konfrontasi Malaysia-Indonesia yang berlaku pada tahun 1962-1966 berkemungkinan telah mengalih pandangan pemerintah Malaysia pada ketika itu yang lebih menumpukan untuk menamatkan konflik dengan Indonesia.
Manakala Indonesia pula memerlukan kepulauan Natuna supaya garis kepulauan dapat dilukis menghubungkan pulau-pulau di dalam Indonesia bagi mencipta sebuah lingkungan laut kepulauan bagi memenuhi hasratnya menjadi sebuah negara kepulauan (Archipelagic State) berdasarkan undang-undang laut antarabangsa.
Makanya, besar kemungkinan, atas dasar ingin menamatkan konfrantasi dan berbaik-baik dengan jiran serumpun, isu tuntutan kedaulatan ke atas kepulauan Natuna mungkin tidak menjadi keutamaan pemerintah Malaysia pada ketika itu. Sehingga kini, Malaysia mengiktiraf kedudukan kepulauan Natuna sebagai sebuah wilayah dalam negara kepulauan republik Indonesia.
Di bawah konsep undang-undang antarabangsa, sesebuah wilayah itu boleh diperolehi oleh sesebuah kerajaan atau kuasa pemerintah melalui empat cara iaitu perluasan wilayah melalui cara semulajadi (accretion), penyerahan wilayah (cession), penjajahan, dan effective occupation ataupun prescription.
Prescription merujuk kepada tindakan sebuah negara yang mezahirkan kedaulatan dengan cara mengamalkan penguasaan ke atas wilayah tertentu tanpa dibantah oleh negara-negara lain.
Berdasarkan fakta ini, boleh dikatakan bahawa Indonesia telah menguasai Pulau Natuna selama 56 tahun tanpa bantahan dari Malaysia sejak tahun 1956.
Oleh yang demikian, adalah sukar untuk ketika ini bagi Malaysia menuntut hak kedaulatan ke atas kepulauan Natuna walaupun berdasarkan fakta geografi dan sejarah, kepulauan Natuna memang mempunyai pertalian yang kuat dengan negeri-negeri di Semenanjung Melayu.
Kesimpulan
Fakta-fakta sejarah jelas menunjukkan kepulauan Natuna mempunyai perkaitan yang lebih jelas dan kukuh dengan negeri-negeri Tanah Melayu berbanding kerajaan-kerajaan awal di kepulauan Indonesia.
Akan tetapi, tiada tuntutan konsisten pernah dilakukan oleh Malaysia dan kependudukan Indonesia di kepulauan Natuna tidak pernah dibantah oleh Malaysia.
Kedaulatan Indonesia ke atasnya telah mencipta ruang lingkup wilayah Indonesia yang membelah Malaysia kepada dua bahagian. Sehingga kini, kepulauan Natuna kekal sebagai sebuah wilayah Indonesia walaupun yang secara geografinya, kedudukan kepulauan tersebut lebih sejajar dengan kedudukan Malaysia. - www. mStar.com.my
Artikel ini disumbangkan Oleh MOHD HAZMI MOHD RUSLI (Ph. D) pensyarah kanan di Universiti Sains Islam Malaysia dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu. MOHD AFANDI SALLEH (Ph.D) seorang pensyarah kanan Universiti Sultan Zainal Abidin dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu dan WAN IZATUL ASMA WAN TALAAT (Ph. D), seorang profesor madya di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar