Minggu, 02 Maret 2014

Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar

Last Tiger di Langit Jakarta

Pada 9 Maret 1960, sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang hari, sebuah pesawat tempur jenis Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor 1112 melayang-layang rendah dengan kecepatan tinggi di langit Jakarta dari arah tenggara. Arah yang ditujunya adalah Istana Merdeka. Pesawat itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23 mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan tembakan ke arah sasarannya yang sama.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Pesawat Mig-17 yang dipakai Maukar.

Orang-orang Jakarta yang berada di dekat lokasi kejadian kontan terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran segera berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang sedang rapat di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang tengah memimpin rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20 meter dari arah istana, keluar untuk memeriksa keadaan.

“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar, berhasil menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang masih membumbung tinggi-tinggi ke atas langit.

Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian Rakjat keesokan harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal pesawat ini mengakibatkan sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di Istana Merdeka sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai istana dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya, seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara sebuah mobil yang sedang melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus peluru pada bagian bagasinya.[1] Empat belas korban lainnya merupakan korban yang berada di kawasan Cilincing, yang siang itu dirawat di RSUP. Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat di pekabaran ialah para wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman, Sarah, Surjati, Anim, Djuhri, Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]

Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana Merdeka, masih melanjutkan pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini sendiri direncanakan di tiga titik, meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing), Istana Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3] Selepas menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah Bogor dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana sang pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang dituju, pesawat sudah mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa Barat, karena kehabisan bensin. Dan ketika tertangkap semua orang terkejut, siapa nyana penembak sekaligus pilot pesawat itu adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang mempunyai kode panggilan: Tiger.[4]

Siapa Tiger?

Tiger adalah nama kode panggilan yang diberikan kepada Maukar oleh pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk sebuah sesi latihan menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang relatif cukup dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika ia mendaftarkan diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar sebagai pilot Garuda karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Daniel "Tiger" Maukar tengah.

Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932. Nama lengkapnya adalah Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel Herman Maukar (ayah) dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado, Sulawesi Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam kehidupan keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi—di mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga Maukar, yang dipakai di belakangnya.

Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis tradisi ayahnya. Ia adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen). Setamatnya SMP K Dani hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran, namun urung dilakukan sebab Karel Herman Maukar menganjurkannya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasan ini membuat Dani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang Batu.

Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai pesawat, bahkan ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda. Dani memenangkan salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah ia mengaku keranjingan dengan hal-hal yang berbau penerbangan dan pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita: menjadi pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda. Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Kegagalan ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu. Pekerjaan yang dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang waktu 1952-1954. Dua tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi tidak di Garuda. Ia mendaftarkan dirinya di AURI dan diterima, tepatnya pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliteran di Margahayu, Bandung, Jawa Barat.

Dua tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya melakukan aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama sesudah itu ia ditempatkan di Skuadron 3, sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar terpilih untuk dikirim ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana penuh dengan suatu kerahasiaan yang cukup rumit. Ada fakta yang menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir adalah untuk menyelesaikan misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI khawatir kalau Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi kenyataan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5]

Maukar dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani. Rombongan kecil ini dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17 yang dipesan AURI dari Uni Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958 rombongan kecil ini lantas diberangkatkan ke Mesir. Mereka berada di Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di tanggal terakhir bulan November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night fighter.[6]

Sekelumit Mengenai Dewan Manguni

Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan Maukar di AURI, suhu perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua pergolakan yang besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada 15 Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan pergolakan-pergolakan ini adalah ketidakpuasan masyarakat, khususnya tentara, di daerah bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1) perbaikan yang progresif dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2) penyelesaian kericuhan dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan kecenderungan “sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi”  dan “korupsi” dalam pembangunan.[7] Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan sebenarnya telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang beraliran kiri.[8]

Tuntutan ini semakin memburuk karena peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno yang pertama kalinya. Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah tidak tenang menjadi bergejolak.[9] Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa orang pemimpin militer di Sulawesi untuk menyatukan para bawahan. Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:

Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka lahirlah Perjuangan Semesta,” katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima Permesta”, membacakan “proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 maret 1957.[10]

Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan dengan baik oleh Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta, Pemberontakan Setengah Hati:

Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.[11]

Sekitar lima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi dibuka pukul tiga subuh oleh Komandan TT-VII, Sumual. Ia membacakan proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur.[12]

Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di Makassar, tempat perencanaan proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara dari pula itu, tempat rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di bawah bendera Permesta.[13]

Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan Hasanuddin, yang tidak jadi terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai bagian di dalamnya. Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw dkk. pada akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua), A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein Montolalu sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14] Setelah itu Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam organisasi militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens Saerang.

Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding sebagai dalang dibalik aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa sumber menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di Sulawesi, pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi sesudah Kotamobagu berhasil dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan itu tidak mutlak disebabkan kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya adalah perpecahan di dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus mengenai beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer; pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan di Sumatera, terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada Februari 1960; serta perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat.[15] Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat ketidakcocokan pribadi.[16]

Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada pihak Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15 Februari 1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik. Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada 15 Februari 1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]

Brigade Manguni Mendekati Maukar

Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta ke Republik Indonesia, mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada Maukar. Pendekatan tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah menyebarkan jaringannya sampai ke Jakarta.

Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman dan penembakan dengan pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap presiden. Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh Soekarno. Lain lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an, yang menyebutkan ayah Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan tuduhan menyimpan senjata api.[18] Aksi ini disponsori oleh teman-teman Maukar di Brigade Manguni yang ada di Jakarta. Brigade Manguni secara tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje Sumual dan Sam Karundeng.

Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari Mesir, Daniel Maukar mulai didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah satu yang mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya, namun tak pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya, Herman, untuk menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak ke Sumatera. Herman berencana meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan dermaga, di mana dinamit ini akan meledak jika tersenggol oleh kapal tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya akan membuang-buang waktu dan sangat sia-sia.

Menurutnya, dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya seperti memasang petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil. Lebih gilanya lagi, Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan menyelam memakai snorkel saat pemasangan.[19] Akan tetapi pikiran gila ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud meledakkan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama organisasinya pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.

Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama wartawan India itu. Ia banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan sarana-prasarana di Manado dan ia usai mengadakan kunjungan dari sana. Penuturan-penuturan inilah yang membuat Dani, secara perlahan namun pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk Brigade Manguni dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.

Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian dari rencana makar yang sudah direncanakan sejak tanggal  2 Maret 1960, berbarengan dengan hari jadi Permesta. Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2 Maret) dan keesokan harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana makar tak pernah padam. Bahkan, Dani berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20] Serangan tersebut akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.

Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat menanyakannya secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni yang bisa bertanggung jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada misi penerbangan ke Paris van Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi. Hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang tanggalnya tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal tersebut, Maukar lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini Maukar diberi briefing (pengarahan) daerah mana yang akan menjadi sasaran.

Awalnya Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana Kusuma, namun Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia meminta jika ingin membuat sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran. Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati tiga target yang harus dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat tersebut, ia akan dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir terakhir. Ia takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]

Karena menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan diatur di kawasan Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan Panumbangan yang terpilih sebagai tempat pendaratan karena selain termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan sedang dikuasai oleh Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado, para konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal konsep penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.
 

Inilah Saatnya

Sebetulnya aksi penembakan melalui pesawat Mig-17 ini zonder persiapan sama sekali. Hal ini dikatakan Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta untuk mencari wilayah Panembangan, membikin garis-garis koordinat, selesai. Kekurangan persiapan ini merupakan kelalaian yang berakibat buruk, karena pasca menembaki Istana Bogor, ia kehilangan arah hingga akhirnya mendarat darurat di areal persawahan.

9 Maret 1960, di pagi hari cuaca cerah mengiringi denyut nafas kehidupan Jakarta. Tak terkecuali aktivitas yang dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran.  Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun, pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya. Ternyata ia pergi ke Bandung sehari sebelumnya menemui Sam Karundeng (salah seorang pimpinan Brigade Manguni) dan Herman Maukar. Kunjungan itu dilakukan sebagai tahap persiapan terakhir. Oleh karena itu ia sengaja membawa pesawat MIG-15 untuk melancarkan rencananya.

Pagi hari sekira pukul 04.30, tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk balik ke Jakarta. Sekira pukul 06.00, Dani berlalu dari Bandung bersama Rob Lucas—temannya Herman yang dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Dani lantas larut dalam aktivitas harian skadron. Seorang perwira mengatakan padanya bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan untuk melakukan penerbangan supersonik (supersonic flight).

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Inilah Mig-17 AURI bernomor 1162 yang dipakai Maukar/

Mengenai cara menerbangkan pesawat hingga kecepatan supersonik dengan MIG-17 yang jelas-jelas subsonik, Leo Wattimena selanjutnya menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun list penerbang hari itu. Tiger callsign bagi Letnan Dua Udara Daniel Maukar menempati urutan terakhir list. Tiap-tiap pesawat diberi jeda waktu selama sejam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Ia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.45, Dani tahu bahwa gilirannya telah tiba. Ia mengambil sebuah helm dan dibawanya menuju pesawat MIG-17F Fresco nomor 1112. Pandangannya diarahkan ke selatan, melihat kondisi alam, langit sedikit berawan waktu itu namun hari tetap cerah. Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat lantas naik ke kokpit.

"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"

"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."[1]

"Tiger local flying. Request to start engine, over."

 "Roger, Tiger, you are cleared to start engine."[2]

Sedetik kemudian Dani melongok kepada teknisi yang berdiri di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memerhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan ia mendorong  ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap  untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator, ia memberi tanda segalanya siap.

"Kemayoran tower, from Tiger, over."

"Roger Tiger, come in."

"Tiger request taxi and take off instructions, over."

"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position." Maukar pun menutup kanopi dan selanjutnya mengenakan safety belt lock.

"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."

"Roger, Tiger, you are cleared for take off."

Menurut penjelasan yang diberikan, Daniel Maukar harus membawa pesawat heading ke selatan Jakarta. Akan tetapi ia memiliki rencana lain, setelah sempat menanyai seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka pada pagi, apakah bendera kuning berkibar. Dan ketika yang ditanya berkata tidak, ia yakin presiden Soekarno sedang tidak ada di Istana.

Sasaran pertama yang akan menjadi sasaran tembaknya ialah kilang minyak Shell di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dani mengarahkan pesawatnya ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Kemudian mengaktifkan tombol senjata, flipped on gunsight. Tangki-tangki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tangki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu. Jarinya menekan trigger.

Det… det… det… det… 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tangki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23 mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.

Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. Ia berada di atas Pasar Senen dan dari kejauhan Istana sudah terlihat. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Selepas berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian ia kembali menghujani jalan-jalan Jakarta dengan tembakan dari sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.

Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbo jet seperti merontokkan jantung warga Jakarta siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah nampak keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.

Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit ia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37 mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.

Tiba-tiba, "Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat[3] setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.

Pengadilan Militer

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Maukar dalam persidangan militer.

Terkait peristiwa ini, beragam pendapat mulai muncul. Kolonel Siswadi berpendapat bahwa peristiwa Maukar adalah suatu fragmen saja dari aksi subversif yang sedang berkecamuk di negeri ini.[4] Pada 11 Maret 1960, sekira pukul 09.30, KSAU Suryadarma beserta 120 orang perwira penerbangan AURI menghadap ke Istana Merdeka. Letnan Kolonel Penerbang Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI menyampaikan pernyataan di hadapan Presiden Soekarno, sebagai berikut:[5]

  1. Menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat.
  2. Merasa salah, kurang waspada terhadap usaha-usaha memperalat kami untuk menghilangkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada kami.
  3. Sanggup mengadakan tindakan-tindakan mencegah terulangnya kejadian.
  4. Tetap patuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi dan bersedia menerima segala hukuman.

Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, KSAU Suryadarma mengundur diri, namun permintaan tersebut ditolak Presiden Soekarno. Pada sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena, datang menemui Suryadarma. Ia menyatakan siap menerima tanggung jawab atas ulah anak buahnya.

Sementara itu, 10 Maret 1960, Asisten Direktur Penerbangan AURI Mayor Udara Agus Suroto, langsung mengumumkan bahwa Pengadilan AURI Daerah Pertempuran akan mengadili Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar.[6] Meskipun pada kenyataannya Maukar mulai diadili 20 Juli 1960.[7] Setelah melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dijatuhi hukuman mati, tetapi pelaksanaan eksekusi urung dilakukan. Di saat yang hampir bersamaan, hampir sebagian gerombolan Brigade Manguni diadili.

Dalam periode 11-15 Februari 1961, sekira 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik.[8] Diterangkan pula oleh Mr. Azwar Karim, Penuntut Umum, tujuh orang anggota Brigade Manguni yang bergerak di Jawa Barat akan diadili tanggal 23 Mei 1960. Instruksi Komando Daerah Militer Djakarta Raya, di Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta Raya, di bawah pimpinan Hakim Mr. I Made Lapde.[9] Ketujuh anggota itu adalah Jossy Talumena, Tielaque Henry Tombeng, Uthu, Jeffrie Tumumowu, Wim Molte dan Willem Elean, Jan Tampi, Marcus Sia.[10] Mereka ini dituduh melanggar staadblad tahun 1951 No. 78 pasal 1 ayat 1 dan diancam dengan hukuman mati, yaitu memiliki dan menyimpan senjata api dan sekurun waktu 1959-1960 mengadakan rapat untuk makar di Jalan Lamandow Kebayoran Baru dipimpin oleh Samuel Karundeng.[11]

Pada 22 Juni 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan presiden no. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.[12] Dani pun termasuk salah satu orang yang mendapat amnesti presiden. Ia diampuni Soekarno tahun 1964. Namun baru betul-betul dibebaskan Maret 1968, pada era Soeharto setelah melalui pelbagai proses bolak-balik. Sebagai KSAU, Suryadarma, banyak membantu Dani, sejak proses persidangan hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar