Meski kebanyakan kegiatan operasi Seroja berlangsung di wilayah daratan,
tapi tidak bisa dipungkiri dukungan operasi lintas laut dan udara juga
memegang peranan yang vital. Dari serangkain babak operasi Seroja, awal
pendaratan pasukan TNI menjadi momen yang krusial, disinilah peran dari
unsur armada kapal perang sebagai elemen pelindung dan kapal
pendarat/LST (landing ship tank) mengambil porsi yang menentukan.
Disadur dari buku Perjuangan Integrasi Timor Timur, karya Hendro
Subroto, berikut disarikan beberapa kejadian yang melibatkan peran
artileri kapal perang.
25 Agustus 1975 – Mengingat gawatnya situasi di Dili. Lepas tengah
malam di pagi buta, KRI Monginsidi 343 dibawah Mayor (Laut) Harinto
selaku Komandan, membawa satu kontingen yang dipimpin oleh Kolonel (Art)
Soebijakto untuk melaksanakan perintah menjemput pengungsi di Dili
memenuhi permintaan Pemerintah Portugal.
KRI Monginsidi 343 dengan awak 175 personel diikuti empat kapal
dagang yang diperbantukan dari Indonesia Timur untuk mengangkut
pengungsi. Semula Mayor Harianto akan membuang sauh agak jauh dari
pelabuhan untuk menghindari kemungkinan terjadinya serangan mortir,
tetapi Kolonel Soebijakto lulusan Artillery Advanced Course Amerika
Serikat tahun 1962, memerintahkan kepadanya aga lego jangkar di dekat
pelabuhan.
Menurut Kolonel Soebijakto, mortir sebagai senjata lengkung, sulit
untuk menembak sasaran secara tepat (pin point). Menurut teori,
kemungkinan perkenaan tembakkan mortir sebagai senjata lengkung untuk
dapat mengenai sasaran adalah 2.500 berbanding 1.
Akhirnya KRI Monginsidi lego jangkar pada jarak kira-kira satu
kilometer dari dermaga Dili dan menutup jalur keluar masuk ke pelabuhan
menjelang pukul 03.00 pagi. Saat itu ancaman yang potensial diwaspadai
adalah mortir kaliber sedang 80 mm milik Fretilin.
29 Agustus 1975 – KRI Monginsidi beserta
empat kapal dagang yang mengangkut Konsulat RI dan Konsultan Taiwan
beserta keluarganya. Arah pengungsian mengambil tujuan ke Kupang,
Makassar, dan Denpasar. Setelah KRI Monginsidi meninggalkan Dili, maka
Ibu Kota Timor Timur itu pecah petempuran kembali.
21 November 1975- Pukul 20.00, KRI Ratulangi
melakukan penembakkan kanon 100 mm (3,9 inchi) ke arah Atabae, Tailaco,
dan Bebao. Lalu pada pukul 04.00 keesolah harinya, KRI Ratulangi
melakukan bantuan tembakkan kapal gelombang kedua.
Dalam pelayaran menuju Dili, Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri
selaku komandan kapal tender kapal selam KRI Ratulangi, Kolonel Laut
(P) Rudolf Kasenda dan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi berkumpul di ruang
radar, setelah menerima laporan bahwa pada layar radar tampak dua echo
yang sangat tajam. Echo itu dapat dipastikan berasal dari kapal perang.
Hal ini sesuai dengan laporan kapten pesawat AC-47 Gunship TNI AU yang
mengatakan bahwa dua kapal perang tidak dikenal menuju ke perairan
Timor. Salah satu kapal perang itu kemudian diketahui bernama Alfonso de
Albuquerque.
Dalam buku Jane’s Fighting Ships 1974-1975 yang menjadi patokan
petunjuk bagi kapal-kapal perang AL Dunia menyebutkan bahwa Alfonso de
Albuquerque (A526) adalah eks frigat HMS Dalrymple dan HMS Luce Bay dari
AL Inggris kelas Bay. Frigat ini diluncurkan di galangan kapal
Devenport, Inggris pada tahun 1945, dibeli oleh Portugal pada tahun
1966, kemudian dimodifikasi menjadi kapal survei yang dibekali radar dan
sonar.
Sebuah kapal perang AL Portugal lainnya, mungkin dari kelas
Comandante Joao Belo yang dipersenjatai dengan tiga kanon kaliber 100 mm
atau frigat kelas Almirante Pereira da Silva dengan empat kanon kaliber
76 mm. Baik kapal perang Alfonso de Albuquerque maupun sebuah frigat AL
Portugal telah diketahui keberadaannya di sekitar Laut Timor sejak 1
Oktober 1975.
Bahkan ketika salah satu kapal perang Portugal itu berpapasan dengan
KRI Ratulangi pada 23 Oktober 1975, komandan frigat AL Portugal
menyampaikan ucapan, “Have a Nice Stay” kepada komandan KRI Ratulangi
yang dikirim dalam bentuk morse. Kedua kapal perang AL Portugal itu
masuk ke area lepas pantai Dili pada 7 Desember 1975 pagi bertepatan
dengan berlangsungnya pendaratan amfibi dan penerjunan operasi lintas
udara.
Menengok sejarah Perang Pasifik, armada AL Kerajaan Jepang di bawah
pimpinan Laksamana Nagamo menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941.
Hari H yang dipilih oleh Laksamana Nagamo adalah hari Minggu pagi,
ketika AL AS tidak bersiaga. Uniknya tanggal 7 Desember 1975 juga
bertepatan dengan hari Minggu. Melihat pertimbangan diatas, dan
dikaitakan dengan suhu politik yang memanas, maka cukup alasan bagi
Laksamana J.B Pinheiro de Azwedo, mantan KSAL Portugal baru tiga bulan
menjabat sebagai Perdana Menteri untuk mewaspadai tanggal 7 Desember
sebagai hari yang mungkin dipilih sebagai H penyerbuan.
Jika tanggal 7 Desember diproyeksikan sebagai “Hari-H”, maka
kemungkinan besar, “Jam-J” akan dimulai menjelang fajar untuk
memanfaatkan pendadakan di pagi hari dan melakukan konsolidasi pada
siang hari.
7 Dsember 1975 – Saat melakukan persiapan pendaratan
amfibi di Kampung Alor, Dili. Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja di
bawah pimpinan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi dibanyang-bayangi oleh dua
kapal perang Portugal. Menjelang fajar kedua kapal Portugal itu nampak
samar-samar, ternyata kanon kapal perangnya ditutup dengan terpal
sebagai tanda tidak bermusuhan.
“Seandainya kapal perang Portugal itu tidak menutup kanonnya dengan
terpal, mungkin kami terpaksa menembak lebih dahulu,” ujar Laksamana TNI
(Purn) Rudol Kasenda. Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri,
memproyeksikan 4 kanon kaliber 100 mm untuk menghadapi kapal perang
Portugal dan 8 kanon kaliber 57 mm untuk mendukung pendaratan amfibi.
Menjelang pukul 05.00 BTP-5/Infantri Marinir melakukan pendaratan amfibi
di Kampung Alor, didukung tembakkan kanon dari KRI Ratulangi. Jarak
antara KRI Ratulangi dan frigat AL Portugal hanya 4 mil atau sekitar 7
km, suatu jarak yang sangat dekat untuk pertempuran laut.
Bila dilihat dari perimbangan jangkauan tembakkan dan bobot
proyektil, maka kapal perang TNI AL jauh lebih unggul. Kanon kaliber 100
mm pada KRI Ratulangi mempunyai jangkauan tembakkan 30 persen lebih
besar ketimbang dengan kanon berkaliber yang sama buatan Barat. KRI
Ratulangi eks kapal tender kapal selam Uni Soviet kelas Don,
dipersenjatai dengan 4 kanon 100 mm dan 8 kanon kaliber 57 mm. Sedangkan
korvet KRI Barakuda dalam komando Tugas Amfibi dipersenjatai kanon 37
mm juga merupakan kapal perang eks Uni Soviet dari kelas Kronstadt.
Kanon 100 mm pada KRI Ratulangi maupun pada dua frigat eks Soviet
kelas Riga, masing-masing KRI Lambung Mangkurat dan KRI Nuku, memiliki
jarak tembak sejauh 18 km. Kanon berkaliber yang sama buatan Barat
umumnya hanya memiliki jarak tembak maksimal 11.000 sampai 12.000 meter.
Selain itu, proyektil kanon buatan Uni Soviet berbobot 16 kg, yang
berarti lebih berat dibanding proyektil kanon kaliber yang sama buatan
Barat. Kanon kaliber 100 mm pada frigat kelas Commandante Joao Belo
milik AL Portugal, sejenis dengan kanon Creusot Loure 100 mm pada
destroyer kelas La Galissonniere milik AL Perancis, yaitu berjarak
tembak maksimal 11.000 meter dengan proyektil seberat 13,5 kg.
Mungkin berdasarkan pada perbedaan jarak tembak itu, maka frigat AL
Portugal memilih mendekat pada Komando Tugas Amfibi Operasi seroja, agar
tembakkan kanon perangnya dapat menjangkau sasaran. Langkah itu diambil
sebagai tindakan berjaga-jaga seandainya pecah pertempuran laut.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda, mantan KSAL menambahkan, “Jika
sebuah saja peluru kanon 100 mm pada kapal perangnya tepat mengenai
sasaran frigat Portugal, maka akan dapat melumpuhkannya.”
Tapi disisi lain, kekurangan suku cadang pada kapal-kapal perang eks
Uni Soviet dalam jajaran TNI AL dapat mempengaruhi jalannya pertempuran
laut. Misalnya jika gyro stabilizer, yaitu suatu bagian pada alat
pengendali tembakkan untuk mempertahankan elevasi kanon sesuai dengan
sudut yang telah diprogram tidak bekerja dengan baik, maka akan
mengakibatkan perkenaan tembakkan kanon yang dioperasikan secara manual
itu akan melenceng dari sasaran.
Seperti telah diketahui sejak tahun 1965, Uni Soviet enggan menjual
suku cadang peralatan militernya kepada Indonesia. Sebaliknya kanon 100
mm pada frigat kelas Commandate Joao Belo milik AL Portugal merupakan
kanon jenis baru buaatan tahun 1969 yang memiliki peralatan serba
otomatis dan kubahnya dioperasikan tanpa awak. Kanon 100 mm standar AL
Perancis yang pembuatannya berdasar pada program Director Techloque des
Constructions Navale ini mampu menembakkan 60 proyektil per menit.
Jika frigat AL Portugal itu adalah kelas Almirante Pereira da Silva,
maka persenjataanya berupa empat kanon kaliber 76 mm dan dua kanon
Bofors kaliber 40 mm, masing-masing dengan 4 laras.
Pukul 02.00, kapal-kapal Komando Tugas Amfibi TNI AL tiba di lepas
pantai Dili. Tiba-tiba pada pukul 03.00, seluruh listrik kota
dipadamkan. Berarti Fretilin telah mengetahui kedatangan kapal-kapal
perang TNI AL, sehingga faktor pendadakan dalam suatu serangan telah
hilang. Malam itu seluruh kapal menyalakan lampu. Pada jarak lebih dari
10 km dari Dili maupun dari Pulau Atauro, kapal-kapal perang itu tidak
akan terlihat dengan mata telanjang pada malam gelap. Di Dili tidak
terdapat radar, satu-satunya kemungkinan yang dapat melihat keberadaan
konvoi TNI AL adalah radar kapal perang AL yang memang sejak awal
membayang-bayangi.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda memastikan bahwa frigat AL Portugal
telah memberikan informasi kedatangan Komando Tugas Amfibi Operasi
Seroja kepada Fretilin di Dili. Informasi itu dapat disampaikan lewat
markas Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro atau langsung ke markas
besar Fretilin di Dili. Sebenarnya pemadaman lampu kota Dili dapat juga
terjadi secara kebetulan. Misalnya Fretilin sedang melakukan latihan,
tetapi kemungkinan itu sangat kecil dan dapat diabaikan. Nyatanya di
kemudian hari memang dapat dibuktikan bahwa terjadi komunikasi radio
‘segi tiga’ antara Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro, Markas Besar
Fretilin di Dili dengan kapal perang AL Portugal.
Menurut R. Kasenda, dalam rapat gabungan di Kupang pada 4 Desember
1975, telah diputuskan bahwa kapal perang TNI AL tidak melakukan
penembakkan dari laut. Namun demikian karena faktor kerahasiaan dan
pendadakan kedatangan Komando Tugas Amfibi telah diketahui lawan,
akhirnya Brigjen TNI Suweno selaku Pangkosgasgab memerintahkan
penembakkan ke pantai, atau popular dengan istilah BTK (bantuan
tembakkan kapal).
Pertimbangan penembakan ini dilakukan untuk menurunkan moril lawan
dan mengangkat moril pasukan pendarat. KRI Ratulangi menembak dengan
kanon 57 mm, KRI Barakuda dan KRI Martadinata menembak dengan kanon
kaliber 76 mm. Sedangkan KRI Jaya Wijaya, eks USS Askari menembakkan 4
kanon laras ganda Bofors dengan proyektil high explosive seberat 0,96
kg. Sasaran tembakkan adalah daerah pantai yang akan menjadi lokasi
pendaratan dan markas Fretilin. Tembakkan dari kapal perang TNI AL itu
bukan saja membuat kalang kabut warga kota Dili, tetapi juga mencemaskan
pengungsi Portugal di kampong Makadade di Pulau Atauro. Dua pleton
pasukan elite dan warga Portugal yang sedang menantikan kedatangan kapal
perang AL Portugal yang akan mengungsi ke Australia, buru-buru menuju
ke dermaga untuk kemudian diangkut dengan LCM menuju frigat.
Dengan demikian, dimulailah operasi pendaratan amfibi terbesar yang
dilakukan Korps Marinir TNI AL. Unsur pendaratan yang tegabung dalam
BTP-5 terdiri dari unsur pasukan tempur juga dilengkapi tank amfibi PT-76 dan pansam BTR-50.
Selain pendaratan lewat laut, pada hari yang sama, elemen TNI AD
(Kopassus/Kostrad) dan Paskhas TNI AU juga melakukan penerjunan pasukan
lintas udara untuk menduduki posisi-posisi strategis di Dili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar