Minggu, 09 Maret 2014

Singapore Airshow 2014: Potensi Pasar Giring Potensi Konflik


Delapan pesawat jet T-50B Golden Eagle dari AU Republik Korea yang tergabung dalam tim aerobatik Black Eagles, menunjukkan kehebatan manuver mereka di langit Changi. Berbagai aksi formasi maupun solo yang mendebarkan ditampilkan. Lagu tradisional Arirang pun ikut mengiringi tarian udara. Penampilan jet supersonik T-50 di Singapore Airshow (SAS) 2014 yang berlangsung dari 11-16 Februari selain menarik mata, juga memiliki arti lebih jauh. Berikut laporan lengkap wartawan Angkasa RB Sugiantoro, A. Darmawan, Dudi Sudibyo, dan Reni Rohmawati langsung dari Changi.

            Setidaknya menunjukkan betapa Korea kini telah menjadi produsen sistem pertahanan yang patut diperhitungkan dunia. Hal ini pun diperkuat oleh enam pesawat turboprop KT-1B WongBee, juga asal Korea, yang dengan mulus dan sempurna ditampilkan oleh tim aerobatik Jupiter (Juru Pendidik Terbang) Aerobatic Team (JAT) TNI AU pada ajang yang sama. Inilah penampilan perdana JAT di SAS. Pada saat hampir bersamaan, di Jakarta pun berlangsung seremoni penyerahan 16 pesawat T-50i dari Kemhan kepada TNI AU. Dengan telah diterimanya pesawat ini oleh Indonesia, maka Korea menjadi negara keenam di dunia yang telah mengekspor jet supersonik.

            Keberhasilan Korea Selatan dalam penguasaan teknologi dan industri pertahanan, tidaklah terlepas dari situasi geopolitik yang dihadapinya. Ancaman dari Korea Utara sangatlah nyata, ditambah lagi dengan relasi kurang kondusif dengan Jepang dan China, baik sebagai dampak kepahitan sejarah masa lalu maupun konflik wilayah perairan dan pulau-pulau karang. Konflik segitiga ini tak terbatas hanya pada soal prestis atau kebanggaan nasional, namun dikarenakan pula oleh keyakinan bahwa dasar laut yang mereka sengketakan itu kaya minyak dan gas alam. Hal ini pun serupa dengan konflik di Laut China Selatan yang melibatkan enam negara sekaligus.

            Sebagaimana halnya Israel yang selalu merasa terancam dalam, sehingga memaksanya menguasai teknologi sistem pertahanan yang maju, maka Korsel pun merasa sebagai keharusan hidup-mati untuk menguasai teknologi. Setelah menguasai dan mewujudkannya sebagai produk, maka kerja selanjutnya selain memanfaatkan untuk kepentingan sendiri, adalah memasarkannya. Ketegangan di beberapa kawasan Asia Pasifik tentu membantu pemasaran. “Setiap kali Korea Utara mengeluarkan ancaman, maka itu membantu penjualan kami,” aku pejabat Raytheon, produsen sistem hanud Patriot dari AS.

            Korsel pun merasakan hal serupa. Dia tidak hanya menjual mobil dan telepon pintar, tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini Seoul tercatat sebagai salah satu pengekspor alat pertahanan yang peningkatannya terpesat di dunia. Salah satu kunci keberhasilannya, karena pemerintah kompak mendukung sepenuhnya. Nilai ekspor pertahanannya tahun lalu mencapai 3,4 miliar dolar, padahal 2006 baru 250 juta dolar. Setelah mengekspor 16 T-50 ke Indonesia, Korsel berhasil menjual 24 jet ke Irak, dan kini pada tahap akhir menjual 12 jet ke Filipina, guna menghadapi sikap agresif China dalam sengketa Kepulauan Spratly. Taiwan pun kabarnya tertarik T-50, untuk menggantikan ke-60 F-5E/F Tiger yang lima tahun lagi masuk pensiun.

            Penampilan T-50 di Singapura, juga tak lepas dari impian terbesarnya, yaitu menjual pesawat ini kepada AS, yang berencana mengganti armada pesawat latih lanjut AU AS yang telah tua. Apabila penjualan ke AS yang akan mencapai lebih dari 300 pesawat terwujud, maka dapat dipastikan jet Korsel ini menjadi best-seller di dunia. Selain KT-1 dan T-50 dengan berbagai variannya, Korsel pun berambisi mengekspor helikopter serba-guna Surion, dengan target hingga tahun 2020 terjual sekitar 300 unit.

            Selain berupaya keras mandiri dalam pengadaan sistem dan alat pertahanan, saat ini Korsel pun terus meningkatkan kekuatannya. Pengadaan pesawat tempur tercanggih Lockheed Martin F-35JSF sebanyak 40 buah sudah diprogramkan walau belum diteken. Seoul memutuskan membeli F-35 karena Jepang pun melengkapi diri dengan pesawat serupa, sementara China terus mengembangkan pesawat tempur berkemampuan siluman. Seoul tetap menjadi sasaran utama Boeing untuk F-15 Silent Eagle, yang diklaim sulit terlacak radar. Sedangkan untuk modernisasi F-16 yang lebih dari 130, Korea telah mengontrak BAE Systems, termasuk pemasangan radar tercanggih AESA (active electronically scanned array).

            Masih dalam upaya kemandirian, Korsel kini memulai lagi program KF-X, pembuatan pesawat jet tempur generasi 4,5 yang dikerjasamakan dengan Indonesia. Program ini sempat terhenti akibat silang pendapat politisi Korsel, karena dari mereka ada yang bersikukuh bahwa dananya lebih baik dipakai untuk pengadaan pesawat yang sudah siap di pasaran daripada membuat sendiri.

Jepang mulai berubah
              Dalam situasi konflik politik dan wilayah perairan dengan China maupun Korea, Jepang pimpinan PM Shinzo Abe sejak akhir 2012 mulai menunjukkan perubahan sikap semakin keras. Untuk anggaran pertahanan 2014, pemerintahnya minta kenaikan tiga persen dari tahun lalu. Ini berbeda dengan pendahulunya yang malah cenderung menguranginya. Memang, sikap baru Jepang ini tidaklah lepas dari agresivitas China, baik dalam peningkatan kekuatan maupun sikapnya dalam sengketa teritori, baik di Laut China Timur maupun Selatan. Seperti pengumuman sepihak China beberapa bulan lalu tentang diberlakukannya Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), yang juga meliputi gugusan pulau yang saling diklaim oleh kedua pihak.

            Peningkatan anggaran pertahanan oleh Jepang segera diwujudkan dalam Strategi Keamanan Nasional, berupa komitmen untuk pengadaan 28 dari 42 pesawat F-35 yang pembeliannya telah diputuskan. Dari jumlah ini, empat F-35A pertama akan diterima pada 2016 dari Lockheed Martin, sedangkan sisanya dikerjakan di fasilitas Mitsubishi Heavy Industries di Nagoya, dengan rencana pesawat pertama dirampungkan 2017.

            Selain itu Jepang akan membeli 17 tiltrotor MV-22 Osprey dari Bell-Boeing, seperti yang dioperasikan Marinir AS di Okinawa. Pesawat ini diarahkan untuk mendukung pertahanan pulau-pulau terluar. Dengan demikian Jepang akan menjadi negara pertama di luar AS yang mengoperasikan pesawat ini. AS menampilkan sepasang Osprey Marinir AS di Changi, salah satunya untuk demo terbang. Pesawat ini dipromosikan di kawasan Asia Pasifik, mengingat Samudera Pasifik dikelilingi tak kurang dari 42 negara, dan dari jumlah ini sekitar 10 negara memiliki  korps marinir yang tentunya memerlukan sarana angkut dinamis seperti Osprey.

Meski batal memboyong CN-235 versi Patroli Maritim akibat selisih paham penamaan KRI Usman-Harun, PT Dirgantara Indonesia tetap mampu menoreh sukses di ajang Singapore Airshow 2014. Mereka berhasil mengajak Airbus Helicopters membangun kerjasama strategis regional di bidang maintenance, repair and overhaul (MRO). Kerjasama untuk membangun kepuasan operator helikopter buatan AH ini akan melengkapi kebangkitan DI setelah melewati fase restrukturisasi dan penyehatan finansial.

Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama ditandatangani Dirut DI Budi Santoso dan Dirut Airbus Helicopters Guillame Faury, 12 Februari di ajang Singapore Airshow 2014. Lewat perjanjian skala regional ini kantor pusat AH di Marignane, Perancis, akan mengolah pembagian kerja yang baru di antara fasilitas MRO di sejumlah perwakilannya di Asia Tenggara manakala DI sudah siap memulai bisnis di bidang yang sama. AH tak mengkhawatirkan persaingan yang tidak sehat mengingat pasar yang amat besar di wilayah ini.

Seperti disampaikan Budi Santoso, kerjasama DI-Airbus Helicopters sebenarnya telah berlangsung lama dan dibangun atas dasar kepercayaan. Untuk itu kedua pihak masih terus berusaha mencari celah bisnis  yang saling menguntungkan. “DI adalah mitra terpenting kami. Lewat kerjasama ini kami berharap dapat mengejar aspek-aspek yang baru,” sambut Guillame Faury.

DI mendapati bidang perawatan dan perbaikan helikopter di dalam negeri sebagai celah bisnis yang amat prospektif, terutama karena populasi helikopter buatan AH di Indonesia yang amat besar. Bagi AH, kerjasama ini dinilai strategis karena akan menyeleraskan proyek-proyek yang ada dengan kapabilitas yang dimiliki AH Malaysia, Singapura dan Indonesia (Cibubur, Jawa Barat). Dalam waktu dekat, ketiga perwakilan tersebut dan DI akan dipanggil duduk bersama melihat peta pasar yang ada. 

Saat ini, populasi helikopter buatan AH di dalam negeri mencapai 500 unit. Dari jumlah tersebut, ragamnya cukup bervariasi mulai dari NAS-330 Puma, NAS-332 Super Puma, NBO-105, EC-725 Cougar, AS-365 Dauphin sampai EC-120 Colibri. Oleh karena semua butuh dukungan teknis berkala untuk menjamin kelayakan terbangnya,  permintaan akan kontrak perawatan serta perbaikan masih cukup besar untuk dikerjakan fasilitas MRO di ketiga perwakilan AH Asia dan DI kelak.

Menanggapi inisiatif strategis ini, pimpinan AH berjanji akan memfasilitasi kebutuhan DI. “Salah satu yang paling kami perlukan adalah EASA Certificate untuk CASR 145. Dengan sertifikat ini, nantinya fasilitas perawatan DI bisa merawat dan memperbaiki helikopter buatan AH dengan approval dari EASA (Badan Kelaikan Udara Eropa). Untuk mendapatkannya memang tidak mudah, karena Indonesia bukan anggota komunitas Eropa. Tetapi dengan perjanjian bisnis yang saling menguntungkan, hal ini bisa dipecahkan,” ungkap Kepala Divisi Pemasaran DI, Arie Wibowo, kepada Angkasa.

Ia mengungkap, tak dimilikinya sertifikat EASA (sejauh ini hanya berbekal sertifikat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) telah membuat jasa service and support di perusahaannya sulit berkembang. Hal itu bisa dimaklumi karena operator lebih suka “menitipkan” helikopternya di fasilitas dengan sertifikat berstandar internasional. Begitu pun, dirinya tak menampik bahwa sejumlah problem internal telah ikut memperburuk citra fasilitas DI di pasar regional.

“Agar kepercayaan bisa dibangun, kelemahan-kelemahan internal itu harus diperbaiki dulu. Untuk itu dalam setahun kami akan kerja keras membenahi struktur dan kualitas SDM, serta merevitalisasi peralatan agar nanti benar-benar sesuai standar yang ditetapkan EASA. Kami berharap sertifikat EASA bisa diterima pada 2016,” ungkapnya optimis.

Berlari cepat
Angkasa mencatat, kerjasama DI-AH (sebelumnya, Eurocopter) telah berlangsung sejak awal berdirinya DI (sebelumnya, IPTN) pada 1976. Kala itu selain membuat pesawat sayap tetap NC-212 dan CN-235, pabrik pesawat terbang yang terletak di Bandung, Jawa Barat ini, juga membuat NBO-105 rancangan MBB, Jerman (selanjutnya bergabung dengan Eurocopter). Heli lincah ini terbilang laku, terbukti dengan angka penjualan yang mencapai 122 unit. Selain itu, DI juga ikut membuat/merakit NAS-330 (terjual 11), NAS-332 (20) dan AS-365 (2).

Setelah ini, hubungan keduanya masih berlanjut dengan adanya kontrak pembuatan tailbooms heli EC-725 dan EC-225 (Cougar versi sipil), yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan upper & lower fuselage heli yang sama. Untuk kontrak jangka panjang pengerjaan komponen EC-725/225 yang dikabarkan telah dimulai sejak 2008 ini, DI mendapat 43 juta dolar AS. Disamping AH, DI juga merupakan mitra setia Airbus Military (sebelumnya CASA) yang belum lama ganti nama jadi Airbus Defence & Space. Dengan anak perusahaan Airbus ini, DI membuat, merakit dan mengembangkan NC-212 serta CN-235, dan selanjutnya CN-295.

Operator utama NC-212, CN-235 dan CN-295 di dalam negeri adalah TNI AD, AL dan AU. Setelah menyerahkan satu unit CN-235 versi Patroli Maritim, Oktober 2013, tahun ini DI akan menyerahkan lagi kepada TNI AL dua unit lainnya yang telah dipesan. “CN-235 masih menjadi favorit, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pesawat ini dibeli Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Brunei, Uni Emirat Arab, Pakistan, Senegal dan lainnya,” ujar Direktur Komersial dan Restrukturisasi DI, Budiman Saleh, menguti Kompas (15/2/2014).

Atas berbagai kontrak bisnis tersebut, kini kondisi DI memang telah berangsur pulih. Dalam beberapa tahun, perusahaan ini telah menangguk laba. “Jika pada 2013 kami telah memperoleh laba bersih Rp 10,272 miliar, tahun ini ditargetkan mencapai Rp 66,5 miliar,” tambahnya.

2014 akan menjadi tahun menentukan. Pasalnya, selain harus merakit pesawat dan berbagai komponen pesanan pesanan luar negeri, DI harus “berlari cepat” mengerjakan komuter 19 kursi N-219. Pesawat yang utamanya dipesan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ini ditargetkan selesai pada 2015. Pun di ajang SAS, program pembuatan pesawat ini cukup menyedot perhatian. Tak saja dari calon pembelinya, tetapi juga dari vendor-vendor yang ingin ikut terlibat di dalamnya.

Telah dipastikan, Pratt & Whitney akan menyuplai mesin PT6-42 sementara Garmin akan membuatkan avionik untuk pesawat murah berbobot 15.000 pound ini. Kepada Angkasa, dengan mata berbinar, Manager Pengembangan Teknologi & Produk Baru DI sekaligus Chief Engineer N219, Palmana Banandhi mengungkap, dari titik impas sebanyak 20 unit, pesanan atas pesawat ini sudah melampaui 100 unit.  Tingginya minat customer atas pesawat ini boleh jadi dilatari konsep yang melandasi perancangannya.

Bentuknya sederhana, harganya murah dan dirancang mudah ditangani. DI tak mau merancang yang muluk-muluk karena pesawat ini akan dioperasikan di daerah terpencil. Misinya untuk menghidupkan perekonomian daerah dan menjadi feeder bagi pesawat-pesawat yang lebih besar. “Jika pesawat sekelasnya rata-rata dihargai 7-7,5 juta dolar AS, pesawat ini cukup 5 juta dolar saja,” pungkas Palmana.

Singapore Airshow yang digelar setiap dua tahunan, tiap kali digelar semakin kental menonjolkan kemampuan industri strategis militer negeri yang sedikit lebih luas dari Pulau Batam itu. Sehingga terasa nuansanya semakin kental ke peralatan militer dibanding industri angkutan udara sipil.

            Dalam arena pameran statis SAS, kehadiran pesawat penumpang yang jumlahnya menyusut dibanding sebelumnya, kalah pamor dengan digelarnya pesawat militer milik AU Singapura, terutama sekali ujung tombaknya pesawat tempur supersonik Boeing F-15SG Eagle, lengkap dengan persenjataannya. Sayapnya selain dipersenjatai rudal AIM-9P Sidewinder, rudal andalan F-16 Fighting Falcon TNI AU, juga ditambahi rudal AMRAAM yang lebih ampuh dan bom pintar GBU-10 dan 12 Paveway.  

Tidak hanya satu F-15SG, tapi tiga pesawat dipamerkan pada arena pameran statis, mengundang antrian mengular panjang para pengunjung dapat kesempatan duduk di dalam kokpit. Terlihat warga Singapura sangat bangga memiliki pesawat tempur lini depan angkatan udaranya, satu-satunya negara anggota ASEAN yang mengoperasikan jet tempur ini, yang juga andalan AU AS.

            Tidak saja F-15SG, tapi juga jet tempur F-16 Block 52 yang paling mutakhir dipamerkan, bersanding dengan pesawat tempur Northrop F-5E/F Tiger yang di-retrofit industri pertahanan Singapura sehingga menambah kemampuannya.

            Kemampuan retrofit pesawat militer, merupakan salah satu achievement industri strategis militer Singapura yang telah berhasil dikuasai negeri Lee Kuan Yew, disamping peralatan militer lainnya yang tidak ada hubungan langsung dengan kedirgantaraan. Seperti senjata yang dilengkapi peralatan optik, kendaraan lapis baja, kendaraan serba-guna militer yang dapat digunakan di darat maupun di air.

            Kehadiran peralatan militer semakin mengentalkan bahwa ke depannya SAS akan lebih menonjolkan segala hal yang berkaitan industri pertahanan (untuk membedakannya dengan Dubai Airshow yang telah mencuri posisi Singapura di bidang industri pesawat angkut sipil). Di sisi lain, pencapaian Singapura secara militer menumbuhkan kepercayaan diri dalam mempertahankan negeri kepulauan ini dari ancaman yang (mungkin) akan muncul.

            Mungkin tidak salah bila disebut, Singapura meniru jejak Israel mengingat setelah pisah dari Federasi Malaysia di tahun 1960-an, langsung membuka hubungan diplomatik disusul kerjasama militer dan pertukaran ilmu dengan negara tersebut. Di luar Israel dengan pencapaian industri pertahanan tinggi, tercatat negara kecil Swedia dan Swiss yang sektor industri strategisnya diakui dalam dunia persenjataan.          Saab dari Swedia yang di Indonesia lebih dikenal dengan produk mobilnya, merupakan produsen jet tempur Saab Gripen yang diakui dunia.

Di panggung SAS, diperkenalkan helikopter tanpa awak dan sejumlah pesawat tanpa awak (UAV) buatan tuan rumah Singapura dan Super Heron HF buatan Israel yang dipamerkan di depan Israel Aerospace Industries (IAI) Chalet CD03. HF adalah singkatan heavy fuel yakni bahan bakar Jet A1 (diesel) sebagai sumber bahan propulsinya.

Kalah pamor
            Langkah Singapura ini tampaknya merupakan upaya negara ini merebut kembali posisi peringkat ketiga pameran kedirgantaraan dunia, setelah Paris Airshow di Perancis dan Farnborough Air Show di Inggris yang tahun 2013 lalu bergeser ke Dubai Airshow dengan transaksi 200 miliar dolar AS saat pameran ditutup. Sementara SAS 2014 ditutup dengan transaksi senilai 34 miliar dolar, masih belum berhasil merebut kembali peringkat yang bertahun-tahun pernah disandangnya.

            Pameran tahun ini mungkin belum, tapi kemungkinan dua tahun mendatang akan lain mengingat pasar dunia sudah bergeser ke belahan bumi Asia sebagai pertumbuhan tercepat pasar penerbangan dunia. Airbus memproyeksikan China akan menggantikan AS dalam jumlah pesanan pesawat kurun waktu hingga 2030 bersama negara Asia lainnya termasuk Indonesia dan India yang memiliki potensi pemesanan besar pesawat udara.

            Kehadiran pesawat mid-size widebody Airbus A350XWB, satu-satunya produk terbaru di SAS buatan pabrik Eropa Airbus diharapkan dapat mendongkrak keharuman pameran ini, mengingat inilah untuk pertama kali pesawat badan lebar tersebut dipamerkan kepada publik dunia. Tahun lalu memang pesawat yang dijuluki hush airliner karena mesinnya yang nyaris tidak terdengar saat terbang, hadir di Paris Airshow. Tetapi hanya terbang lintas dan tidak dipamerkan secara statis.

            Meski ada pesaing 787 Dreamliner yang dipinjam Boeing dari Qatar Airways untuk dipamerkan, tidak ayal lagi primadona pameran adalah A350XWB yang terbang anggun mempesona serta mengundang kekaguman luar biasa para peserta dan pengunjung. Meski demikian kehadirannya kurang mampu menggeser kekaguman yang disajikan industri strategis militer tuan rumah Singapura.

            Airbus memproyeksikan kawasan Asia-Pasifik kurun waktu 20 tahun mendatang butuh sekitar 29.200 pesawat penumpang dan kargo senilai 4,4 triliun dolar AS, di antaranya 7.270 pesawat twin aisle badan lebar jenis A330 dan A350XWB, termasuk produk rivalnya Boeing 787 Dreamliner dan varian baru Boeing 777X, selain 1.170 very large aircraft (sejenis jumbo dan superjumbo) dan 20.240 pesawat lorong tunggal (single aisle).

            “Armada pesawat yang dioperasikan maskapai penerbangan Asia-Pasifik saat ini sebanyak 4.960, kurun waktu 20 tahun mendatang akan mengoperasikan 12.130 pesawat,” ungkap John Leahy, Airbus Chief Operating Officer Customers pada pemaparannya hari pertama pameran sebelum pucuk pimpinan Airbus Fabrice Bregier meneken kontrak pesanan pasti dan opsi 90 Airbus A320 senilai 9,1 miliar dolar AS  dengan maskapai berbiaya murah Vietnam VietJet Air. Pesanan pasti tersebut terdiri dari 42 Airbus A320neo, 14 A320ceo, dan tujuh A321ceo.

Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tak pernah ketinggalan memasarkan produknya di Singapore Airshow. Kali ini kontrak besar yang ditandatangannya adalah dengan Honerywell dan Sriwijaya Air, yang menyepakati kerjasama senilai 2 juta dolar AS per tahun dengan rentang waktu dua tahun.

Sejak 1998, GMF tidak pernah absen membuka stan di ajang pameran kedirgantaraan di Singapura itu. Bahkan beberapa tahun kemudian, pameran sejenis di Dubai pun kerap diikutinya. Pasar Asia bahkan pasar global, menjadi target utama pemasaran fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul).

Tahun ini di Singapura, GMF  menyepakati kerjasama dengan Sriwijaya Air dan Honeywell International Inc. untuk mendukung perawatan wheel and brake pesawat B737 Next Generation dan B737 Classic milik Sriwijaya Air. Perjanjian ini  ditandatangani EVP Base Operation GMF, Agus Sulistyono dan Direktur Teknik Sriwijaya Air, Ananta Wijaya, serta Brian Davis, VP Airlines Asia Pacific Region Honeywell pada 12 Februari lalu. 

            Kata Agus, model kerjasama ini merupakan terobosan menarik untuk ketiga pihak. Masing-masing pihak memiliki peran berbeda sesuai bisnis intinya. Honeywell sebagai OEM (Original Equipment Manufacturing) berperan memroduksi perlengkapan orisinilnya. Perusahaan dari AS yang menjadi salah satu pemasok utama perlengkapan dan peralatan pesawat komersial ini membuat wheel and brake untukB737-NG dan B737 Classic. Sementara Sriwijaya sebagai operator memiliki hak khusus untuk mendapatkan material dari OEM. GMF sebagai penyedia perawatan pesawat mendapat limpahan kemudahan dari Sriwijaya untuk mendapatkan material tersebut.

             “Material yang kami dapat dari OEM itu untuk mendukung perawatan Sriwijaya Air,” kata Agus, seraya menambahkan bahwa limpahan kemudahan kepada GMF dari Sriwijaya tidak lepas dari kerjasama yang sudah terjalin lama dan menjadi salah satu langganan setia GMF sejak operator ini beroperasi 10 November 2003. Apalagi kali ini Sriwijaya menyerahkan total care armadanya kepada GMF. Tak tanggung-tanggung, Sriwijaya juga menyerahkan perawatan engine CFM56-7 yang pertama kepada GMF.

Mesin juga
GMF memang sudah memiliki kapabilitas dalam perawatan engine/mesin. Kapabilitas itu, antara lain, untuk perawatan CFM56-3, Spey, APU GTCT 85 Series, TSCP 700, dan CFM56-7B, hingga tahap overhaul. Kapabilitas baru GMF dalam melakukan perawatan CFM56-7 sampai overhaul sudah mendapatkan approval dari EASA (European Aviation Safety Agency) dalam audit pada akhir Januari lalu. Untuk memaksimalkan kapabilitasnya ini, GMF berpartner dengan General Electric (GE) dan mendapatkan approval nomor AS9110 dari GE. 

            Untuk aktivitas perawatan APU (Auxiliary Power Unit) baru, APU GTCP-131 9A dan 9B, GMF didukung oleh Honeywell International SARL. Dukungan ini diberikan melalui penandatanganan kerjasama Material Supply and Part Repair Agreemen selama lima tahun, pada hari kedua Singapore Airshow 2014. Honeywell akan memasok kebutuhan material untuk perawatan dan perbaikan jenis APU untuk pesawat B737-800NG Garuda Indonesia dan A320 Citilink.

            Pada waktu yang sama, GMF juga menandatangani kerjasama perawatan APU GTCP 131 9B dengan Aersale. Perjanjian ini ditandatangani oleh Dwyne Adcock, VP Airframe Material Sales Aersale dan Agus itu meraih potensi pendapatan sekitar 275.000 dolar AS dari satu unit APU yang dirawat.

            Menurut Agus, GMF berkomitmen untuk mengembangkan kapabilitas dan kapasitasnya, dengan menguasai perawatan pesawat-pesawat tipe terbaru, terutama B737-NG dan A320, termasuk perawatan engine-nya. Populasi kedua jenis pesawat tersebut, baik di Indonesia maupun di luar negeri, terus bertambah setiap tahun. Sampai saat ini, GMF merupakan fasilitas MRO terbesar di Indonesia dan sudah menguasai sedikitnya 70 persen perawatan pesawat dalam negeri.

Perawatan kabin
Bukan cuma perawatan airframe dan engine pesawat, GMF juga merambah perawatan kabin dan interior. Untuk memperkuat layanan MRO kabin dan interior itu, anak perusahaan Garuda Indonesia ini menggandeng Regent Aerospace Corporation, salah satu perusahaan manufaktur serta MRO kabin dan interior terbesar di dunia. Penandatanganan Master Agreement of Joint Operation Establishment-nya dilakukan oleh CEO GMF AeroAsia Richard Budihadianto dan President of Regent Aerospace Corporation, Reza Soltanian. 

Kerjasama ini ternyata untuk mendukung sang induk perusahaan merealisasikan targetnya menjadi “Airline Skytrax Bintang Lima”. Salah satu syaratnya adalah penampilan, kebersihan, dan fungsionalitas fitur-fitur di dalam kabin pesawat yang dioperasikan oleh sebuah maskapai penerbangan. Regent bersedia memfasilitasi kebutuhan mesin dan tenaga ahli pendamping, sedangkan GMF menyediakan fasilitas dan tenaga kerja untuk layanan MRO.
“Dengan kemampuan ini, peluang pengembangan bisnis perusahaan makin besar. Selain untuk mendukung Garuda Indonesia, layanan ini juga kami pasarkan untuk airlines lain, baik domestik maupun internasional,” kata Richard.

Di ajang Singapore Airshow 2014 itu, GMF memang melakukan banyak aktivitas untuk menjaring peluang bisnisnya agar kian besar. Selain yang disebutkan di atas, beberapa perjanjian dan kerjasama juga dilakukan, seperti dengan Air Asia Indonesia dan JAS Engineering. Dengan JAS Engineering, kerjasama dalam hal line maintenance, sedangkan dengan Air Asia Indonesia untuk perawatan pesawat. “Kami sudah lama menjalin kerjasama dengan GMF dan sudah memperpanjangnya lagi. Di sini hanya mengukuhkan saja,” ujar Soeratman dari Air Asia Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar