Di jalanan Jakarta, mudah bagi kita menemukan
mobil-mobil merek Jepang berseliweran. Di dalam rumah, berbagai alat
elektronik Jepang menjadi medium hiburan dan gantungan bagi ibu rumah
tangga dalam membantu pekerjaan. Cengkeraman industri Jepang di
Indonesia tak bisa lepas dari penandatanganan perjanjian pemberian uang
pampasan perang pada 1958.
Ceritanya, setelah Jepang menyatakan kalah pada Perang Dunia II, Indonesia mulai memasuki babak baru sebagai negara merdeka. Tak sampai situ, kubu Sekutu menyeret Jepang untuk menandatangani perjanjian San Fransisco. Perjanjian tersebut, salah satunya menuntut Jepang bertanggung jawab secara moral dan material kepada negara-negara jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Tidak seperti negara jajahan lainnya, negosiasi uang pampasan perang Jepang ke Indonesia ini terbilang alot karena memakan waktu hingga delapan tahun lamanya. Semula ada dua kubu di Jepang yang ikut campur dalam proses negosiasi ini. Pertama, pihak mantan militer yang menginginkan agar bantuan ini ke depannya mampu memulihkan citra Jepang sekaligus menjaga jalinan khusus dengan Indonesia. Sedangkan pihak kedua, yaitu para pebisnis ingin ikut serta dalam negosiasi ini karena melihat Indonesia punya ladang bisnis yang bisa dimanfaatkan.
Ada dua persoalan yang menggelayuti lobi uang pampasan perang itu. Pertama, pihak Indonesia meminta USD 17,5 miliar, tetapi Kementerian Luar Negeri Jepang menolak dengan alasan kerusakan yang ditimbulkan Jepang tidak banyak, apalagi perang yang digelar Jepang bukan melawan Indonesia. Bahkan melalui kementeriannya, Jepang mengklaim telah memberikan banyak sumbangan kepada Indonesia lewat banyaknya suplai makanan, pakaian dan amunisi ke Indonesia.
Tak menemukan jalan keluar, perundingan dilanjutkan lagi oleh kabinet Juanda. Lagi-lagi Indonesia tidak terima disamakan kompensasinya dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar dan Filipina yang masing-masing mendapatkan USD 200 juta dan USD 550 juta.
Akhirnya, sidang bilateral digelar, sidang dipimpin oleh Nishijima Shigetada dan pihak Indonesia diwakili Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, Iwa Kusumasumantri dan M. Hatta. Disepakati bahwa kompensasi yang diterima berupa dana pampasan atau biaya ganti rugi perang senilai USD 223,08 juta yang dibayarkan dalam bentuk sarana dan fasilitas serta pinjaman sebesar USD 80 juta. Keputusan ini ditandatangani Soekarno di kantor kementerian luar negeri pada 1958.
Kompensasi itu dibayarkan dalam kurun 12 tahun dengan pembayaran USD 20 juta per tahun dan USD 3,08 juta pada tahun terakhir. Uang sebesar itu sangat tinggi nilainya ketika itu. Jika dibandingkan dengan angka sekarang mempertimbangkan inflasi, uang USD 223 juta sebanding dengan USD 1,8 miliar saat ini (menggunakan kalkulator inflasi). Dengan kurs 1 USD sekitar Rp 11.000, uang pampasan perang itu kira-kira senilai dengan Rp 20 triliun sekarang.
Selain menjadi awal cengkeraman industri, pengamat internasional dari Global Future Institute Hendrajit menilai dana pampasan perang juga semacam uang tutup mulut terhadap tiga kejahatan perang Jepang yaitu romusha, juugun ianfu, dan heiho atau wajib militer. "Mereka ingin membersihkan masa lalu Jepang yang buruk," ujar Hendrajit pada merdeka.com, Minggu (3/11).
Oleh Bung Karno, dana pampasan perang digunakan membangun proyek-proyek prestisius. Berbagai kontroversi muncul seiring penggunaan dana pampasan perang Jepang. Ada sisi positif, ada pula sisi negatif.
Ceritanya, setelah Jepang menyatakan kalah pada Perang Dunia II, Indonesia mulai memasuki babak baru sebagai negara merdeka. Tak sampai situ, kubu Sekutu menyeret Jepang untuk menandatangani perjanjian San Fransisco. Perjanjian tersebut, salah satunya menuntut Jepang bertanggung jawab secara moral dan material kepada negara-negara jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Tidak seperti negara jajahan lainnya, negosiasi uang pampasan perang Jepang ke Indonesia ini terbilang alot karena memakan waktu hingga delapan tahun lamanya. Semula ada dua kubu di Jepang yang ikut campur dalam proses negosiasi ini. Pertama, pihak mantan militer yang menginginkan agar bantuan ini ke depannya mampu memulihkan citra Jepang sekaligus menjaga jalinan khusus dengan Indonesia. Sedangkan pihak kedua, yaitu para pebisnis ingin ikut serta dalam negosiasi ini karena melihat Indonesia punya ladang bisnis yang bisa dimanfaatkan.
Ada dua persoalan yang menggelayuti lobi uang pampasan perang itu. Pertama, pihak Indonesia meminta USD 17,5 miliar, tetapi Kementerian Luar Negeri Jepang menolak dengan alasan kerusakan yang ditimbulkan Jepang tidak banyak, apalagi perang yang digelar Jepang bukan melawan Indonesia. Bahkan melalui kementeriannya, Jepang mengklaim telah memberikan banyak sumbangan kepada Indonesia lewat banyaknya suplai makanan, pakaian dan amunisi ke Indonesia.
Tak menemukan jalan keluar, perundingan dilanjutkan lagi oleh kabinet Juanda. Lagi-lagi Indonesia tidak terima disamakan kompensasinya dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar dan Filipina yang masing-masing mendapatkan USD 200 juta dan USD 550 juta.
Akhirnya, sidang bilateral digelar, sidang dipimpin oleh Nishijima Shigetada dan pihak Indonesia diwakili Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, Iwa Kusumasumantri dan M. Hatta. Disepakati bahwa kompensasi yang diterima berupa dana pampasan atau biaya ganti rugi perang senilai USD 223,08 juta yang dibayarkan dalam bentuk sarana dan fasilitas serta pinjaman sebesar USD 80 juta. Keputusan ini ditandatangani Soekarno di kantor kementerian luar negeri pada 1958.
Kompensasi itu dibayarkan dalam kurun 12 tahun dengan pembayaran USD 20 juta per tahun dan USD 3,08 juta pada tahun terakhir. Uang sebesar itu sangat tinggi nilainya ketika itu. Jika dibandingkan dengan angka sekarang mempertimbangkan inflasi, uang USD 223 juta sebanding dengan USD 1,8 miliar saat ini (menggunakan kalkulator inflasi). Dengan kurs 1 USD sekitar Rp 11.000, uang pampasan perang itu kira-kira senilai dengan Rp 20 triliun sekarang.
Selain menjadi awal cengkeraman industri, pengamat internasional dari Global Future Institute Hendrajit menilai dana pampasan perang juga semacam uang tutup mulut terhadap tiga kejahatan perang Jepang yaitu romusha, juugun ianfu, dan heiho atau wajib militer. "Mereka ingin membersihkan masa lalu Jepang yang buruk," ujar Hendrajit pada merdeka.com, Minggu (3/11).
Oleh Bung Karno, dana pampasan perang digunakan membangun proyek-proyek prestisius. Berbagai kontroversi muncul seiring penggunaan dana pampasan perang Jepang. Ada sisi positif, ada pula sisi negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar