Jumat, 22 November 2013

Australia menyadap khawatir Indonesia berpaling ke China

Presiden Susilo Yudhoyono (kanan) tersenyum lebar saat menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott (kiri), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/9). Jakarta tempat pertama yang Abbott datangi setelah dia dilantik pada September lalu. Kini hubungan Jakarta-Canberra menegang lagi karena Canberra menyadap komunikasi petinggi Indonesia. (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)
... dalam kacamata politik internasional Indonesia telah diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur... "
Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno, menilai, latar belakang Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia karena kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan "berpaling" kepada China. 

Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki skenario alias strategi besar membendung pengaruh China di mana-mana, yang dinamakan China Containment.

Dalam konteks China Containment inilah maka perebutan pengaruh Barat dan China itu terjadi secara sengit. 

"Inilah yang sekarang sedang membuat panik kekuatan-kekuatan politik Australia," kata Sumowigeno, Kamis.


China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya membendung peningkatan pengaruh China sebagai negara adidaya baru dalam ekonomi, militer, politik, dan budaya.


Menurut Sumowigeno, pengungkapan skandal penyadapan Australia dari kantor kedutaan besarnya di Jakarta ini, "Pasti merusak strategi yang ditujukan untuk membendung kebangkitan pengaruh China yang sedang muncul menjadi kekuatan adidaya ekonomi, politik dan militer."

Ia mengatakan, komitemen Indonesia terhadap China Containment itu cukup terlihat. 

Indikasinya, Indonesia seolah tidak menganggap intervensi politik dan militer Australia dalam kampanye pelepasan Timor Timur dari Indonesia sebagai tamparan yang seharusnya membekas dalam pada 1999.


Adalah Australia yang berdiri paling depan dalam memberi tekanan politik dan kekuatan militer berupa International Force for East Timor (Interfet) ke Indonesia soal (saat itu) Provinsi Timor-Timur, pada awal 1999. 

Australia sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia pada Agustus 1999, juga "membentengi" jajak pendapat PBB yang diketahui juga tidak berlangsung secara jujur dan adil sepenuhnya. Keberhasilan memereteli wilayah Indonesia oleh Australia pada Timor Timur inipun tidak dianggap hambatan psikologis berarti oleh Indonesia.


Indonesia kemudian cepat membalikkan keadaan, dari krisis menjadi persahabatan dengan Timor Timur, sejalan keberhasilan tim perumus Komisi Kebenaran Persahabatan yang dibentuk bersama.

Dengan Australia, hubungan itu juga diubah segera, terutama setelah dijalin kerja sama pada 2001; padahal kebanyakan kerja sama itu lebih menguntungkan Australia, di antaranya Indonesia menjadi "benteng" pemberantasan gelombang imigrasi gelap ke Australia.

Indonesia, kata dia, tetap menjalin hubungan mesra nyaris seperti sekutu dengan Australia, meskipun dalam kacamata politik internasional telah diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur. 

"Indonesia tidak mendapatkan imbalan sepadan untuk jasanya mencegah kejatuhan Timor Portugis ketangan kelompok kiri atau komunis yang meresahkan Australia sebelum tembok Berlin runtuh," kata dia.

Dalam perspektif Beijing, lanjut dia, sikap ini konfirmasi bahwa Indonesia memang ikut menjadi pilar dari China Containment. China dianggap lebih sebagai ancaman yang nyata ketimbang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat-nya, termasuk Australia.


Ia mengatakan kepanikan Australia saat ini juga karena negara Timor Timur kemudian ternyata juga bukan anak manis bagi Negara Kanguru itu dan berkali-kali menggunakan "kartu China" untuk kepentingan nasionalnya.

Paling jelas adalah menekan Australia agar mau lebih jujur, adil, dan terbuka soal pengelolaan minyak dan gas Bumi di celah Timor. Minyak Bumi di celah Timor yang digembar-gemborkan Australia ada dalam jumlah sangat besar itu diangkut dan dikilang di Australia.

Negara Timor Timur hanya mendapat semacam "bagi hasil" dengan perhitungan deposit pasti minyak Bumi dan gas, eksploitasi mereka, dan keuntungan yang hanya diketahui segelintir pihak saja.  

"Wacana pembukaan pangkalan militer China di negara Timor Timur amat menggetarkan Australia," katanya.

Salah satu faktor yang menghalangi hal itu tidak terwujud adalah karena tiada restu dari Jakarta, dan China masih menimbang perasaaan Indonesia, bila mereka jadi membuka pangkalan militer di dalam wilayah gugusan kepulauan Nusantara.


"Tingkat kepercayaan Indonesia yang menipis pada Austraia bisa membuat Jakarta mengambil sikap berbeda terhadap wacana itu untuk membuat perhitungan," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar