Kamis, 21 November 2013

Australia intai Indonesia sejak 1954

Menurut Philip Dorling, Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah pos mata-mata dinas intelijen Australia (ANTARA/M Agung Rajasa)
Kita bekerjasama erat dengan Indonesia, termasuk dalam bidang keamanan dan intelijen, tapi kita tidak mempercayai mereka"

"Kita telah memata-matai Jakarta sejak lama," kata Dorling.

Dia menyebut Kedutaan Besar Australia di Jakarta yang dibangun pada 1954 sebagai pos mata-mata pertama di luar negeri dari dinas intelijen Australia (Australian Secret Intelligence Service, ASIS).

"ASIS senantiasa menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama," tulis Dorling.

Dia lalu mencatut catatan harian mantan duta besar Australia untuk Indonesia Sir Walter Crocker yang tak pernah dipublikasikan.

Menurut Crocker, Defence Signals Directorate rutin mematai-matai diplomasi Indonesia sejak pertengahan 1950-an.

Pada 1960-an, GCHQ membantu Defence Signals Directorate memecahkan mesin sandi buatan perusahaan Swedia Hagelin yang digunakan Kedubes Indonesia di Canberra.

GCHQ adalah kependekan dari Government Communications Headquarters. Ini adalah dinas intelijen Inggris yang bertanggungjawab dalam menyediakan intelijen sinyal (SIGINT) dan jaminan informasi kepada pemerintah dan angkatan bersenjata Inggris. 

Pada 1970-an, fasilitas radio Defense Signals di Shoal Bay luar kota Darwin memonitor komunikasi militer Indonesia dan memberi informasi dini mengenai hasrat Indonesia menduduki Timor Timur.

Pada 1999, laporan Defence Intelligence yang bocor mengenai Indonesia dan Timor Timur menunjukkan intelijen Australia memiliki akses luar biasa terhadap komunikasi militer dan sipil Indonesia.

"Setiap Perdana Menteri Australia sejak Robert Menzies (PM Australia 1949 - 1966) mendapat pengarahan mendalam mengenai jangkauan penetrasi terus menerus Defence Signals Directorate terhadap komunikasi diplomatik, militer dan sipil Indonesia yang terus meningkat," tulis Dorling.

Saat memata-mata Soeharto, Perdana Menteri Paul Keating berusaha mendapatkan pola pikir Soeharto mengenai diplomasi regional dan hubungan dengan Australia.

Kini, Defence Signals berusaha mendapatkan gambaran lebih mendalam mengenai hubungan politik dan personal Presiden Yudhoyono.

Operasi penyadapan ini, kata Dorling, adalah bagian dari program "Five Eyes" dalam nama sandi "STATEROOM", sedangkan lokasi utamanya adalah di Kedubes Australia di Jakarta, tepatnya daerah Kuningan, Jakarta Selatan.

Spionase ini resminya ditujukan untuk perang melawan terorisme, namun menurut seorang mantan agen rahasia Australia kepada Fairfax Media bahwa fokus utama spionase itu adalah "intelijen politik, diplomatik dan ekonomi."

"Pertumbuhan besar jejaring telepon mobile (Indonesia) adalah anugerah besar (bagi Australia) dan elite politik Jakarta adalah gerombolan orang yang royal bicara. Bahkan saat mereka (elite Indonesia) menganggap dinas intelijennya sendiri sedang mencermati (aktivitas mata-mata), mereka terus saja ngomong," kata sang mantan agen rahasia Australia itu.

Dorling lalu menutup tulisannya dengan mengatakan kasus penyadapan Yudhoyono ini akan sangat mempermalukan Australia, namun negeri itu tak akan berhenti memata-matai Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar