Sepekan
terakhir, Indonesia digemparkan berita penyadapan saluran telepon
seluler sejumlah petinggi RI oleh intelijen Australia pada tahun 2009.
Kabar itu menyebar sejak media massa internasional menulis rahasia yang
dibocorkan Edward Snowden.
Ilustrasi karikatur penyadapan terhadap Presiden SBY oleh editor Herald Sun, Mark Knight | heraldsun.com.au/Mark Knight |
Ini
tentu bukan aksi intelijen sembarangan. Dari data tersebut, diketahui
intelijen Australia berhasil menyadap telepon seluler Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono beserta istri, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf
Kalla, Jubir Presiden Dino Patti Djalal, Andi Malaranggeng, Sekretaris
Negara Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko
Polkam Widodo Adi Sucipto, dan Menteri BUMN Sofyan Djalil.
Tak pelak, hubungan diplomatik Indonesia-Australia yang tadinya hangat kini menjadi panas. Tak hanya memanggil pulang Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, dari Canberra, Presiden SBY juga meminta penjelasan dan permohonan maaf dari pemerintah Australia.
Tapi, alih-alih meminta maaf, Perdana Menteri Australia Tony Abbott malah mendukung apa pun yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, dan saat ini terus mengumpulkan informasi demi kepentingan nasional Australia. Bukannya reda, hubungan antara kedua negara malah tambah renggang.
Bagaimana modus intelijen Australia memata-matai aktivitas para petinggi RI masih menjadi teka-teki sampai detik ini. Faktanya, berdasarkan dokumen yang dibocorkan Snowden, aksi intelijen Negeri Kanguru itu dilakukan pada tahun 2009 dengan menyadap telepon seluler. Namun, tidak dijelaskan dengan teknologi apa, bagaimana caranya, atau bekerja sama dengan pihak mana. Semuanya masih misterius.
Skema penyadapan
Dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, penyadapan bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan peranti lunak maupun peranti keras. Menurut Nonot Harsono, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), penyadapan ponsel bisa dilakukan hanya dengan me-remote.
Salah satu skema konvensional penyadapan ponsel adalah dengan menaruh BTS kamuflase di sekitar ponsel korban. "Misalnya, menggunakan BTS palsu dalam bentuk koper atau dalam bentuk yang tidak terduga. Biasanya digunakan aparat hukum untuk memburu target operandinya," kata Nonot pada VIVAnews, dua hari lalu.
Jika BTS kamuflase itu menyala, cara kerjanya sederhana. Dia menjelaskan, ponsel yang mengirimkan gelombang radio menuju BTS di sekitarnya. Dan, BTS palsu juga akan menangkap gelombang radio tersebut tanpa sepengetahuan pengguna, kemudian menerima informasi percakapan di ponsel.
Skema lain, melalui alat sadap yang dipasang oleh operator telekomunikasi. Tiap-tiap operator seluler, tutur Nonot, mempunyai alat penyadapan atau alat perekam yang dipasangkan di dalam jaringannya. "Ini demi penegakan hukum. Tapi, mereka hanya diperbolehkan membukanya apabila diminta oleh penegak hukum," terangnya.
Berbicara skema yang lebih canggih, penyadapan bisa dilakukan hanya dengan menggunakan peranti lunak. Menurutnya, praktik penyadapan oleh intelijen asing tentu sangat rapi dan rahasia, banyak yang tidak menyadarinya. Pelaku aksi intelijen bisa menyusup dengan menyewa bandwidth ke operator tertentu dengan berpura-pura menjadi penyelenggara jasa Internet (Internet Service Provider/ISP) kemudian membuka jaringan virtual ke pusat intelijen.
Namun, Nonot enggan menduga-duga skenario mana yang ditempuh oleh intelijen Australia untuk menyadap saluran telepon seluler milik para petinggi RI.
Alat sadap Densus 88?
Beda halnya dengan Nonot yang mengulik isu penyadapan dari perspektif teknologi informasi, Indonesia Police Watch (IPW) mencurigai alat penyadapan oleh Australia melalui alat-alat bantu sadap bantuan dari pemerintah Australia yang diberikan pada Datasemen Khusus (Densus) 88.
IPW mendesak Polri segera mengevaluasi berbagai peralatan, khususnya alat-alat sadap bantuan dari Negeri Kanguru itu. "Sebab, bukan mustahil lewat bantuan alat sadap buat Densus 88 antiteror ini, intelijen Australia menyadap komunikasi pejabat Indonesia," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, Rabu 20 November 2013.
"Jika terbukti penyadapan lewat alat sadap bantuan itu, berarti sudah waktunya semua alat tersebut diblokir, dinonaktifkan dan tidak perlu difungsikan lagi," jelasnya.
Kalaupun tidak terbukti, pemerintah diimbaunya agar tetap waspada. Kenapa intelijen Australia dan negara asing lainnya terlalu mudah menyadap para pejabat Indonesia.
Sementara itu, pada kesempatan berbeda, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Moeldoko mengatakan, pihaknya akan memperkuat sistem enkripsi negara guna mengantisipasi penyadapan negara asing, khususnya Australia dan Amerika Serikat.
Pria yang sebelumnya menjabat Kepala Staf TNI AD itu mengaku akan mengembangkan enkripsi bersama Lembaga Sandi Negara supaya para petinggi negara tidak gampang disadap oleh pihak asing. "Untuk kontrainformasi, kami tengah mengembangkan enkripsi yang akan kita buat sendiri," terang Moeldoko pada wartawan di Markas Komando Badan Intelijen Strategis, Jakarta.
Kemarin pagi, Moeldoko telah memberikan arahan kepada para intelijen TNI AD, AL, AU beserta atase-atase pertahanan Indonesia guna mengantisipasi penyadapan dari pihak asing. "Kita beranalogi dengan negara-negara lain. Penyadapan tidak hanya kepada Indonesia, tetapi juga terjadi kepada negara-negara lain. Penyadapan itu syarat teknologi. Kita harus siap," ucapnya.
Kemungkinan BTS palsu
Spekulasi pun muncul. Operator telekomunikasi dituding memfasilitasi intelijen Australia untuk menyadap ponsel Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri di era 2009. Sebagaimana dilaporkan laman The Guardian dan Sydney Morning Herald, ada empat operator telekomunikasi yang disebutkan di dalam dokumen penyadapan, yaitu Telkomsel, XL, Indosat, dan Hutchison (3).
Namun, spekulasi ini langsung buru-buru dibantah. "Nggak benar. Urusan penyadapan kami patuh pada hukum. Kami ikuti arahan penegak hukum, karena mereka yang berhak," bantah Ivan Cahya Permana, VP Technology and System Telkomsel, saat dikonfirmasi VIVAnews, Selasa 19 November 2013.
Dia menjelaskan, secara teknis, Telkomsel dan operator telekomunikasi pada umumnya mempunyai standar keamanan jaringan sesuai persyaratan internasional.
Namun demikian, Ivan mengakui, masih ada masalah dengan kepemilikan alat penyadapan, yaitu perangkat ini bisa dimiliki oleh kalangan di luar penegak hukum.
"Problemnya, tak ada aturan yang mengatakan perangkat itu hanya boleh dimiliki penegak hukum saja. Jadi, kalau Anda punya uang cukup, Anda bisa beli perangkat itu. Harganya 50 miliar rupiah. Memang mahal, makanya terbatas. Kepolisian pun nggak punya banyak," jelas Ivan Permana.
Namun, untuk kasus penyadapan Presiden RI dan sejumlah menteri, Ivan enggan menuding intelijen Australia telah membeli perangkat tersebut. Karena, kemungkinannya masih cukup luas. Menurut Ivan, intelijen Australia dapat memanfaatkan BTS palsu untuk menyadap informasi dari ponsel.
"Alat sadap itu dapat menyaru jadi BTS milik operator, karena itu dipercaya oleh ponselnya, nah ponsel meresponsnya ke alat itu," jelas Ivan.
Senada dengan Telkomsel, Indra Utoyo, Direktur Inovasi dan Strategi Portofolio Telkom yakin tidak ada operator telekomunikasi di Indonesia yang terlibat dalam upaya penyadapan yang membuat hubungan Indonesia-Australia makin panas.
"Untuk penyadapan, kami sudah ikut aturan yang ditetapkan pemerintah. Mungkin mereka (Australia) mempunyai hal yang melampaui aturan kita. Ini di luar domain kami," ujar Indra, saat dijumpai VIVAnews di Jakarta, Rabu 20 November 2013.
"Ini menjadi pembelajaran untuk semua pihak ke depan untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan di era digital bahwa keamanan dan privasi itu sangat penting," ujar dia.
Penyadapan = ilegal
Menanggapi isu penyadapan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun turut bicara. Sejauh ini, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan penyadapan itu belum terbukti dilakukan lewat kerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia.
"Jika terbukti ada yang main mata di kemudian hari, maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE," kata dia.
Gatot memaparkan, penyadapan bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 11/2008 tentang ITE. "Pada pasal 40 dalam UU Telekomunikasi, setiap orang secara tegas dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun," paparnya.
Menurutnya, Kominfo tidak pernah memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali yang digunakan oleh lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40 UU Telekomunikasi dan Pasal 31 UU ITE.
"Kami tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk perangkat anti sadap. Karena itu ilegal," ujar Gatot.
Tak pelak, hubungan diplomatik Indonesia-Australia yang tadinya hangat kini menjadi panas. Tak hanya memanggil pulang Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, dari Canberra, Presiden SBY juga meminta penjelasan dan permohonan maaf dari pemerintah Australia.
Tapi, alih-alih meminta maaf, Perdana Menteri Australia Tony Abbott malah mendukung apa pun yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, dan saat ini terus mengumpulkan informasi demi kepentingan nasional Australia. Bukannya reda, hubungan antara kedua negara malah tambah renggang.
Bagaimana modus intelijen Australia memata-matai aktivitas para petinggi RI masih menjadi teka-teki sampai detik ini. Faktanya, berdasarkan dokumen yang dibocorkan Snowden, aksi intelijen Negeri Kanguru itu dilakukan pada tahun 2009 dengan menyadap telepon seluler. Namun, tidak dijelaskan dengan teknologi apa, bagaimana caranya, atau bekerja sama dengan pihak mana. Semuanya masih misterius.
Skema penyadapan
Dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, penyadapan bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan peranti lunak maupun peranti keras. Menurut Nonot Harsono, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), penyadapan ponsel bisa dilakukan hanya dengan me-remote.
Salah satu skema konvensional penyadapan ponsel adalah dengan menaruh BTS kamuflase di sekitar ponsel korban. "Misalnya, menggunakan BTS palsu dalam bentuk koper atau dalam bentuk yang tidak terduga. Biasanya digunakan aparat hukum untuk memburu target operandinya," kata Nonot pada VIVAnews, dua hari lalu.
Jika BTS kamuflase itu menyala, cara kerjanya sederhana. Dia menjelaskan, ponsel yang mengirimkan gelombang radio menuju BTS di sekitarnya. Dan, BTS palsu juga akan menangkap gelombang radio tersebut tanpa sepengetahuan pengguna, kemudian menerima informasi percakapan di ponsel.
Skema lain, melalui alat sadap yang dipasang oleh operator telekomunikasi. Tiap-tiap operator seluler, tutur Nonot, mempunyai alat penyadapan atau alat perekam yang dipasangkan di dalam jaringannya. "Ini demi penegakan hukum. Tapi, mereka hanya diperbolehkan membukanya apabila diminta oleh penegak hukum," terangnya.
Berbicara skema yang lebih canggih, penyadapan bisa dilakukan hanya dengan menggunakan peranti lunak. Menurutnya, praktik penyadapan oleh intelijen asing tentu sangat rapi dan rahasia, banyak yang tidak menyadarinya. Pelaku aksi intelijen bisa menyusup dengan menyewa bandwidth ke operator tertentu dengan berpura-pura menjadi penyelenggara jasa Internet (Internet Service Provider/ISP) kemudian membuka jaringan virtual ke pusat intelijen.
Namun, Nonot enggan menduga-duga skenario mana yang ditempuh oleh intelijen Australia untuk menyadap saluran telepon seluler milik para petinggi RI.
Alat sadap Densus 88?
Beda halnya dengan Nonot yang mengulik isu penyadapan dari perspektif teknologi informasi, Indonesia Police Watch (IPW) mencurigai alat penyadapan oleh Australia melalui alat-alat bantu sadap bantuan dari pemerintah Australia yang diberikan pada Datasemen Khusus (Densus) 88.
IPW mendesak Polri segera mengevaluasi berbagai peralatan, khususnya alat-alat sadap bantuan dari Negeri Kanguru itu. "Sebab, bukan mustahil lewat bantuan alat sadap buat Densus 88 antiteror ini, intelijen Australia menyadap komunikasi pejabat Indonesia," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, Rabu 20 November 2013.
"Jika terbukti penyadapan lewat alat sadap bantuan itu, berarti sudah waktunya semua alat tersebut diblokir, dinonaktifkan dan tidak perlu difungsikan lagi," jelasnya.
Kalaupun tidak terbukti, pemerintah diimbaunya agar tetap waspada. Kenapa intelijen Australia dan negara asing lainnya terlalu mudah menyadap para pejabat Indonesia.
Sementara itu, pada kesempatan berbeda, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Moeldoko mengatakan, pihaknya akan memperkuat sistem enkripsi negara guna mengantisipasi penyadapan negara asing, khususnya Australia dan Amerika Serikat.
Pria yang sebelumnya menjabat Kepala Staf TNI AD itu mengaku akan mengembangkan enkripsi bersama Lembaga Sandi Negara supaya para petinggi negara tidak gampang disadap oleh pihak asing. "Untuk kontrainformasi, kami tengah mengembangkan enkripsi yang akan kita buat sendiri," terang Moeldoko pada wartawan di Markas Komando Badan Intelijen Strategis, Jakarta.
Kemarin pagi, Moeldoko telah memberikan arahan kepada para intelijen TNI AD, AL, AU beserta atase-atase pertahanan Indonesia guna mengantisipasi penyadapan dari pihak asing. "Kita beranalogi dengan negara-negara lain. Penyadapan tidak hanya kepada Indonesia, tetapi juga terjadi kepada negara-negara lain. Penyadapan itu syarat teknologi. Kita harus siap," ucapnya.
Kemungkinan BTS palsu
Spekulasi pun muncul. Operator telekomunikasi dituding memfasilitasi intelijen Australia untuk menyadap ponsel Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri di era 2009. Sebagaimana dilaporkan laman The Guardian dan Sydney Morning Herald, ada empat operator telekomunikasi yang disebutkan di dalam dokumen penyadapan, yaitu Telkomsel, XL, Indosat, dan Hutchison (3).
Namun, spekulasi ini langsung buru-buru dibantah. "Nggak benar. Urusan penyadapan kami patuh pada hukum. Kami ikuti arahan penegak hukum, karena mereka yang berhak," bantah Ivan Cahya Permana, VP Technology and System Telkomsel, saat dikonfirmasi VIVAnews, Selasa 19 November 2013.
Dia menjelaskan, secara teknis, Telkomsel dan operator telekomunikasi pada umumnya mempunyai standar keamanan jaringan sesuai persyaratan internasional.
Namun demikian, Ivan mengakui, masih ada masalah dengan kepemilikan alat penyadapan, yaitu perangkat ini bisa dimiliki oleh kalangan di luar penegak hukum.
"Problemnya, tak ada aturan yang mengatakan perangkat itu hanya boleh dimiliki penegak hukum saja. Jadi, kalau Anda punya uang cukup, Anda bisa beli perangkat itu. Harganya 50 miliar rupiah. Memang mahal, makanya terbatas. Kepolisian pun nggak punya banyak," jelas Ivan Permana.
Namun, untuk kasus penyadapan Presiden RI dan sejumlah menteri, Ivan enggan menuding intelijen Australia telah membeli perangkat tersebut. Karena, kemungkinannya masih cukup luas. Menurut Ivan, intelijen Australia dapat memanfaatkan BTS palsu untuk menyadap informasi dari ponsel.
"Alat sadap itu dapat menyaru jadi BTS milik operator, karena itu dipercaya oleh ponselnya, nah ponsel meresponsnya ke alat itu," jelas Ivan.
Senada dengan Telkomsel, Indra Utoyo, Direktur Inovasi dan Strategi Portofolio Telkom yakin tidak ada operator telekomunikasi di Indonesia yang terlibat dalam upaya penyadapan yang membuat hubungan Indonesia-Australia makin panas.
"Untuk penyadapan, kami sudah ikut aturan yang ditetapkan pemerintah. Mungkin mereka (Australia) mempunyai hal yang melampaui aturan kita. Ini di luar domain kami," ujar Indra, saat dijumpai VIVAnews di Jakarta, Rabu 20 November 2013.
"Ini menjadi pembelajaran untuk semua pihak ke depan untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan di era digital bahwa keamanan dan privasi itu sangat penting," ujar dia.
Penyadapan = ilegal
Menanggapi isu penyadapan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun turut bicara. Sejauh ini, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan penyadapan itu belum terbukti dilakukan lewat kerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia.
"Jika terbukti ada yang main mata di kemudian hari, maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE," kata dia.
Gatot memaparkan, penyadapan bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 11/2008 tentang ITE. "Pada pasal 40 dalam UU Telekomunikasi, setiap orang secara tegas dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun," paparnya.
Menurutnya, Kominfo tidak pernah memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali yang digunakan oleh lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40 UU Telekomunikasi dan Pasal 31 UU ITE.
"Kami tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk perangkat anti sadap. Karena itu ilegal," ujar Gatot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar