Jumat, 15 November 2013

Keunikan Pendaratan Helikopter Di Geladak Kapal Perang

 
Perjalanan dengan KRI Surabaya 591 meliput Armada Jaya XXXI/2012 Oktober lalu sangat mengesankan. Selain bisa menyaksikan dari dekat penembakan rudal Yakhont, Angkasa juga bisa menyimak pengoperasian helikopter di kapal perang TNI AL.  Oleh karena luas geladak terbatas, pendaratan dan lepas-landas harus dilakukan ekstra hati-hati dan prosedural. Berikut pengamatan langsung di Perairan Sulawesi.
                KRI Surabaya 591 adalah satu dari lima kapal Landing Platform Dock (LPD) yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Meski disebut kapal perang, secara umum profil kapal ini tak sama dengan kapal perang dari kelas Van Speijk atau Sigma yang memiliki meriam, rudal dan persenjataan tempur lain. LPD hanya memiliki meriam 20 mm untuk sista antipesawat udara, namun (kelebihannya) bisa menjadi pangkalan militer terapung untuk dukungan operasi amfibi.
LPD, sejatinya pula, telah dirancang sebagai kuda beban yang amat moveable. Ia bisa berlayar kemana saja non-stop 23 hari dengan kecepatan 14 knot, tanpa isi bahan bakar. Selain bisa difungsikan menjadi kapal markas komando, ia juga bisa membawa ratusan pasukan pendarat, sejumlah tank, beberapa kendaraan tempur, kapal pendarat, serta helikopter-helikopter untuk mendukung gugus tugas armada laut. Geladak atasnya bisa didarati tiga helikopter. Dengan demikian, kapal perang yang sepintas mirip kapal induk kelas Tarawa ukuran mini ini juga bisa dikerahkan untuk dukungan misi kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena bencana.
                Khusus untuk lepas-landas dan pendaratan helikopter, kapal ini memiliki ruang kontrol penerbangan yang unik, dalam arti tidak besar namun proporsional. Ruang kontrol bernama Heli Control Room ini terletak di belakang anjungan, menghadap langsung geladak atau dek di buritan kapal, tempat helikopter-helikopter itu mendarat dan lepas-landas. Sementara di depan geladak ada hanggar untuk satu heli yang juga bisa dikontrol lewat HCR.
                Dari balik kaca ruang kontrol seluas 2 x 3 meter yang menempel di belakang anjungan ini, seorang perwira operasi yang didampingi seorang kelasi bisa melihat ke semua sisi geladak. Mereka bisa memantau kerja petugas ground-handling. Dari sini, mereka juga bisa memantau kedatangan helikopter dan memberi dukungan sinyal dan informasi slope dan arah untuk penerbang. Perwira operasi bisa berasal dari skadron udara tempat asal helikopter atau bisa pula perwira dari kapal yang bersangkutan.
Beda teknik approaching
                Mengoperasikan helikopter di kapal perang atau kapal laut menuntut keterampilan khusus karena lebih sulit ketimbang mendaratkan atau lepas landas dari pangkalan di daratan. Keterampilan khusus ini diperlukan karena helikopter-helikopter ini harus didaratkan atau lepas-landas di atau dari medium yang bergerak, di atas geladak yang luasnya terbatas. Penerbang harus menguasai teknik approaching yang amat berbeda dengan teknik pengoperasian di darat karena faktor kecepatan angin di atas laut yang beragam atau gampang berubah.
                “Keterampilan seperti ini wajib dikuasai setiap penerbang dan harus terus-menerus di-update. Ini penting karena, bahkan, sampai sekarang pun masih terjadi kecelakaan yang tidak perlu terjadi akibat penerbang salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar, kecepatan dan arah angin atau kecepatan kapal,” tutur Letkol Laut (P) Muhammad Tohir, Komandan Skwadron 400 , Pusat Penerbangan TNI AL, kepada Angkasa dalam wawancara khusus di atas KRI Surabaya 591.
                Permasalahan seperti itu boleh jadi terdengar absurd namun faktual. Hal ini bisa dicontohkan dengan kasus terjungkalnya helikopter milik AL Kanada beberapa waktu lalu di ujung geladak gara-gara salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar. Usut punya usut, musibah ini disebabkan oleh minimnya marking di atas  geladak.
Kasus tersebut terbilang aneh tapi nyata oleh karena menurut aturan internasional, marking dinyatakan harus ada, lengkap, jelas dan harus disertifikasi. Begitu juga dengan kelengkapan lampu-lampu (lighting) pemandu pendaratan dan lepas-landas. Permasalahan ini termasuk salah satu yang dibahas dalam pertemuan tahunan HOSTAC (Helicopter Operation from Ships other Than Aircraft Carriers) yang rajin dihadiri Letkol Tohir.
HOSTAC adalah program internasional beranggotan 34 negara untuk standarisasi penerbangan helikopter militer di atas kapal laut selain kapal induk. “Di pertemuan rutin ini, setiap permasalahan akan dicarikan pemecahan dan dibuatkan prosedur untuk mengatasinya. Ini demi mencegah kesalahan serupa di masa datang,” ujar Letkol Tohir.
                Untuk itu baik penerbang maupun perwira operasi yang bertugas di HCR memang bisa saja menolak pendaratan atau lepas landas jika kondisi atau keadaan memang tidak memungkinkan. Tak peduli bahwa yang helikopter tersebut sedang mengangkut helikopter atau logistik yang amat penting.
----------------
Sekilas LPD



                Kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan akan peralatan tempur yang mumpuni telah mendorong berbagai pabrikan untuk menciptakan alat utama sistem senjata yang tepat sesuai kebutuhan customer, tak terkecuali untuk kapal-kapal pendarat pasukan. Landing Platform Dock adalah salah satu alat utama yang terus-menerus diperbaharui rancangannya oleh sebab kebutuhan tersebut. Seperti dituntut petinggi Angkatan Laut AS, kini sebuah LPD baru bisa dikatakan layak jika mampu mengangkut sekaligus enam sampai tujuh Landing Craft Air Cushion dan bisa mendukung operasi Expenditionary Strike Group.
Kebutuhan masa kini dan masa datang juga menuntut LPD  bisa didarati helikopter sehingga harus memiliki geladak atau deck yang layak dan bersertifikasi. Dengan demikian, selain sangat layak difungsikan kapal transpor untuk para marinir, LPD juga bisa dimanfaatkan sebagai kapal markas dan pangkalan operasional di tengah laut. Dan untuk alasan tertentu, kapal ini juga harus bisa dikerahkan untuk misi pertolongan ke daerah bencana.
Oleh karena spektrum fungsi yang luas, berbagai negara pun antusias membeli LPD. Bahkan sampai ada yang sampai memesan menurut kebutuhan yang spesifik. TNI AL sendiri sejauh ini sudah memiliki lima unit yang sama-sama berasal dari Kelas Makassar. KRI Makassar 590 adalah LPD kedua buatan Daesun Shipbuilding & Engineering Co., Korea Selatan, yang dirancang berdasarkan LPD pertama, KRI Tanjung Dalpele. KRI Tanjung Dalpele selanjutnya berubah nama dan fungsi jadi KRI Dr Suharso, satu-satunya kapal rumah sakit yang dimiliki TNI. LPD ketiga adalah KRI Surabaya. Sementara LPD keempat dan kelima, yakni KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593, tidak lagi dibangun di Korea Selatan tapi di fasilitas PT PAL, Surabaya.
Meski berasal dari satu kelas, dalam beberapa sisi, KRI Surabaya 591 dan KRI Banjarmasin 592 toh memiliki perbedaan. Misalnya, dalam hal luas geladak untuk pendaratan helikopter. Geladak KRI Surabaya lebih kecil dan hanya bisa didarati dua helikopter, sementara geladak KRI Banjarmasin lebih luas dan bisa didarati tiga helikopter. Lebih jauh tentang fisik teknis KRI Surabaya, simak boks spesifikasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar