Dubes RI ditarik pulang. Menkopolhukam dan Menlu pun berkomentar keras
(ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Hubungan Indonesia dan Australia kembali menghadapi ujian berat.
Pemerintah Indonesia belakangan ini kesal dengan Australia, yang tidak
membenarkan dan tidak membantah soal skandal penyadapan yang diungkap
media massa dari hasil bocoran Edward Snowden - mantan kontraktor badan
intelijen AS (NSA) yang tengah menjadi buronan Washington dan kini
menetap di Rusia.
Kekesalan Jakarta atas
Canberra bertambah setelah muncul laporan terbaru dari dua koran yang
selama ini getol memberitakan bocoran Snowden, The Guardian dan Sydney Morning Herald.
Kali ini muncul kabar bahwa telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan para menterinya, bahkan sampai Ibu Negara Ani Yudhoyono pun, pernah
disadap intelijen Australia.
Jakarta meradang lagi,
kali ini disertai langkah yang lebih tegas. Sebagai reaksi atas kabar
penyadapan telepon itu, pemerintah RI memanggil pulang Duta Besar Nadjib
Riphat Kesoema untuk "konsultasi" dengan pemerintah pusat selama waktu
yang tidak ditentukan.
Penarikan dubesnya dari
Australia ini bukan kali pertama dilakukan pemerintah Indonesia. Sebelum
masalah penyadapan ini, pada Maret 2006 pun Pemerintah
Indonesia menarik dubesnya dari Australia. Pemulangan dubes RI saat itu
untuk memprotes keputusan Australia memberikan visa kepada 42 pencari
suaka asal Papua.
Untuk masalah saat ini,
pantas saja Indonesia kembali kesal karena Australia tidak mampu memberi
penjelasan yang memuaskan atas skandal penyadapan telepon para pejabat
tinggi RI.
"[Masalah penyadapan] ini
merupakan perbuatan yang tidak bersahabat dan berdampak serius bagi
hubungan kedua negara," kata Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa,
saat mengumumkan pemulangan Dubes Nadjib dari Australia, Senin 18
November 2013.
The Guardian dan The
Sydney Morning Herald menjelaskan cukup gamblang atas skandal penyadapan
telepon SBY dan para pejabatnya oleh Australia.
Suatu hari pada bulan
Agustus 2009, ada panggilan telepon dari Thailand yang masuk ke ponsel
E90-1 milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panggilan itu dari nomor
tak dikenal. Badan Intelijen Australia (Defence Signals Directorate)
bersiap menjalankan misinya: mencegat dan menyadap panggilan telepon
itu. Sayang perbincangan telepon itu tak berlangsung lama. DSD tak
berhasil memenuhi tugasnya.
“Informasi lebih lanjut
saat ini nihil (tak memenuhi batas waktu – perbincangan hanya
berlangsung satu menit,” demikian catatan yang tertulis di bagian bawah
slide presentasi berjudul ‘Indonesian President Voice Intercept (August
’09) milik Departemen Pertahanan Australia dan DSD. Kata-kata ‘Top
Secret’ tercantum di bagian atas slide berformat PowerPoint itu.
Itulah salah satu dokumen yang dibocorkan mantan kontraktor Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA) Edward J. Snowden, dan dipublikasikan luas oleh Guardian Australia bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald, Senin 18 November 2013. Penyadapan semacam ini dilakukan Australia sejak teknologi 3G masuk ke Asia.
Bukan hanya Presiden SBY yang disadap, tapi juga Ibu Negara Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono dan 8 pejabat RI lainnya, yakni Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal yang kini menjadi Duta Besar RI untuk AS, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.
Kesepuluh nama orang penting di RI itu terpampang berurutan dalam slide berjudul ‘IA Leadership Targets + Handsets.’ Di samping nama-nama mereka, tercantum pula jenis ponsel yang mereka gunakan. Presiden SBY, Ani Yudhoyono, Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan Sofyan Djalil pada tahun 2009 sama-sama memakai ponsel Nokia E90-1, Boediono dan Dino Patti Djalal menggunakan BlackBerry Bold 9000, Jusuf Kalla menggunakan Samsung SGH-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71-1, dan Widodo AS menggunakan Nokia E66-1. Satu hal jelas, seluruh ponsel itu memiliki teknologi 3G.
Pada slide lain yang diberi judul ‘Indonesia President Voice Events,’ terpampang grafik panggilan yang masuk ke dan keluar dari ponsel Nokia E90-1 SBY selama 15 hari pada bulan Agustus 2009. Rekaman data ini mencatat spesifik jumlah panggilan masuk dan panggilan keluar, lama panggilan, nomor penelepon, nomor tujuan yang ditelepon, dan jenis panggilannya – apakah komunikasi suara atau pesan singkat (SMS). DSD yang prosedur standarnya melakukan pengawasan, disebut The Guardian memperluas operasinya dengan menyadap panggilan dari orang-orang yang berkomunikasi dengan SBY.
Isu penyadapan Australia terhadap Indonesia bukan kali ini saja diungkap Guardian dan Sydney Morning Herald. Beberapa waktu lalu mereka menyebut DSD membangun pos penyadapan dengan kode ‘Stateroom’ di dalam gedung Kedutaan Besar Australia di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Itulah salah satu dokumen yang dibocorkan mantan kontraktor Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA) Edward J. Snowden, dan dipublikasikan luas oleh Guardian Australia bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald, Senin 18 November 2013. Penyadapan semacam ini dilakukan Australia sejak teknologi 3G masuk ke Asia.
Bukan hanya Presiden SBY yang disadap, tapi juga Ibu Negara Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono dan 8 pejabat RI lainnya, yakni Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal yang kini menjadi Duta Besar RI untuk AS, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.
Kesepuluh nama orang penting di RI itu terpampang berurutan dalam slide berjudul ‘IA Leadership Targets + Handsets.’ Di samping nama-nama mereka, tercantum pula jenis ponsel yang mereka gunakan. Presiden SBY, Ani Yudhoyono, Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan Sofyan Djalil pada tahun 2009 sama-sama memakai ponsel Nokia E90-1, Boediono dan Dino Patti Djalal menggunakan BlackBerry Bold 9000, Jusuf Kalla menggunakan Samsung SGH-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71-1, dan Widodo AS menggunakan Nokia E66-1. Satu hal jelas, seluruh ponsel itu memiliki teknologi 3G.
Pada slide lain yang diberi judul ‘Indonesia President Voice Events,’ terpampang grafik panggilan yang masuk ke dan keluar dari ponsel Nokia E90-1 SBY selama 15 hari pada bulan Agustus 2009. Rekaman data ini mencatat spesifik jumlah panggilan masuk dan panggilan keluar, lama panggilan, nomor penelepon, nomor tujuan yang ditelepon, dan jenis panggilannya – apakah komunikasi suara atau pesan singkat (SMS). DSD yang prosedur standarnya melakukan pengawasan, disebut The Guardian memperluas operasinya dengan menyadap panggilan dari orang-orang yang berkomunikasi dengan SBY.
Isu penyadapan Australia terhadap Indonesia bukan kali ini saja diungkap Guardian dan Sydney Morning Herald. Beberapa waktu lalu mereka menyebut DSD membangun pos penyadapan dengan kode ‘Stateroom’ di dalam gedung Kedutaan Besar Australia di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Harian Jerman Der Spiegel
bahkan menyebut Jakarta menjadi pusat spionase Australia di Asia.
Jakarta dipilih karena pertumbuhan pesat jaringan telepon seluler di
Indonesia. Namun dalam publikasi itu belum disebut siapa-siapa saja
pejabat RI yang menjadi target penyadapan. Baru awal pekan ini nama SBY
dan para petinggi RI terang-terangan disebut disadap.
Langkah drastis Indonesia
Presiden SBY yang menjadi target utama Australia langsung memerintahkan Kementerian Luar Negeri RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyelidiki dan mendeteksi aksi penyadapan terhadap para pejabat Indonesia. Pemerintah Indonesia lantas mengeluarkan sikapnya yang paling keras terhadap Australia.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto mengatakan, Indonesia akan meninjau ulang seluruh kerjasama dengan Australia, terutama terkait pertukaran informasi antara kedua negara. RI juga meminta Australia menjelaskan secara gamblang soal penyadapan itu di hadapan publik dunia.
“Isu ini membawa dampak tidak baik bagi hubungan bilateral Indonesia-Australia. Australia harus menyatakan komitmennya untuk tidak mengulangi hal tersebut,” ujar Djoko.
Lebih keras lagi, Djoko mengatakan Indonesia kini tengah memanggil pulang duta besarnya di Australia untuk mengonsultasikan hal ini. “Kami sedang mengkaji kerjasama informasi antara pemerintah RI dan Australia, termasuk penugasan pejabat Australia di Kedubes Australia di Jakarta,” kata dia.
Pernyataan Djoko dikuatkan oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa. “Pemerintah RI memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia untuk konsultasi, karena mustahil Duta Besar bisa melakukan tugas-tugasnya di tengah suasana yang mengganggu ini,” kata dia.
Marty belum menentukan berapa lama Indonesia akan menarik duta besarnya dari Australia. Namun menurutnya, hasil konsultasi antara pemerintah RI dengan Dubes RI untuk Australia tak akan selesai dalam dua-tiga hari saja.
Sementara itu, mantan Wapres Jusuf Kalla mengecam tindakan Australia yang menyadap para pejabat RI. “Itu melanggar etika internasional,” ujar JK. Banyak sekali pembicaraan penting via telepon yang ia lakukan kala menjabat wapres. “Perintah ini-itu lewat telepon. Apa saja lewat telepon. Ribuan kali pembicaraan di telepon,” kata Ketua Umum PMI itu.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mendukung sikap tegas pemerintah RI. “Diplomasi Indonesia sopan-santun dan bagus, tapi jangan terlalu lembek. Ada saatnya kita berdiplomasi ala koboi,” ujar Priyo. Ia juga meminta intelijen RI memperkuat diri sehingga pihak asing tak bisa seenaknya menyadap pejabat-pejabat di Indonesia.
Di Australia, Perdana Menteri Tony Abbott menyatakan pemerintahan manapun di dunia pasti mengumpulkan informasi. “Pemerintahan negara itu pasti juga mengetahui bahwa semua administrasi di suatu negara melakukan hal serupa, yaitu mengumpulkan informasi,” kata dia.
Lagipula, kata Abbott, informasi yang diperoleh Australia bukan hanya ditujukan untuk kepentingan dalam negeri Australia, tapi juga bagi negara sahabat, sekutu, dan mitra Australia. “Tugas utama saya melindungi dan meningkatkan kepentingan nasional Australia. Saya tidak akan beranjak dari tujuan itu dan akan terus konsisten dengan tugas itu,” ujar Abbott.
Di sisi lain, Abbott mengatakan tak bermaksud sedikit pun merusak hubungan erat antara negaranya dengan Indonesia. “Hubungan dengan Indonesia merupakan jalinan terpenting yanng terus saya pelihara. Sebuah hubungan yang akan saya pastikan terus berkembang dalam beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan,” kata dia.
Langkah drastis Indonesia
Presiden SBY yang menjadi target utama Australia langsung memerintahkan Kementerian Luar Negeri RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyelidiki dan mendeteksi aksi penyadapan terhadap para pejabat Indonesia. Pemerintah Indonesia lantas mengeluarkan sikapnya yang paling keras terhadap Australia.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto mengatakan, Indonesia akan meninjau ulang seluruh kerjasama dengan Australia, terutama terkait pertukaran informasi antara kedua negara. RI juga meminta Australia menjelaskan secara gamblang soal penyadapan itu di hadapan publik dunia.
“Isu ini membawa dampak tidak baik bagi hubungan bilateral Indonesia-Australia. Australia harus menyatakan komitmennya untuk tidak mengulangi hal tersebut,” ujar Djoko.
Lebih keras lagi, Djoko mengatakan Indonesia kini tengah memanggil pulang duta besarnya di Australia untuk mengonsultasikan hal ini. “Kami sedang mengkaji kerjasama informasi antara pemerintah RI dan Australia, termasuk penugasan pejabat Australia di Kedubes Australia di Jakarta,” kata dia.
Pernyataan Djoko dikuatkan oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa. “Pemerintah RI memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia untuk konsultasi, karena mustahil Duta Besar bisa melakukan tugas-tugasnya di tengah suasana yang mengganggu ini,” kata dia.
Marty belum menentukan berapa lama Indonesia akan menarik duta besarnya dari Australia. Namun menurutnya, hasil konsultasi antara pemerintah RI dengan Dubes RI untuk Australia tak akan selesai dalam dua-tiga hari saja.
Sementara itu, mantan Wapres Jusuf Kalla mengecam tindakan Australia yang menyadap para pejabat RI. “Itu melanggar etika internasional,” ujar JK. Banyak sekali pembicaraan penting via telepon yang ia lakukan kala menjabat wapres. “Perintah ini-itu lewat telepon. Apa saja lewat telepon. Ribuan kali pembicaraan di telepon,” kata Ketua Umum PMI itu.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mendukung sikap tegas pemerintah RI. “Diplomasi Indonesia sopan-santun dan bagus, tapi jangan terlalu lembek. Ada saatnya kita berdiplomasi ala koboi,” ujar Priyo. Ia juga meminta intelijen RI memperkuat diri sehingga pihak asing tak bisa seenaknya menyadap pejabat-pejabat di Indonesia.
Di Australia, Perdana Menteri Tony Abbott menyatakan pemerintahan manapun di dunia pasti mengumpulkan informasi. “Pemerintahan negara itu pasti juga mengetahui bahwa semua administrasi di suatu negara melakukan hal serupa, yaitu mengumpulkan informasi,” kata dia.
Lagipula, kata Abbott, informasi yang diperoleh Australia bukan hanya ditujukan untuk kepentingan dalam negeri Australia, tapi juga bagi negara sahabat, sekutu, dan mitra Australia. “Tugas utama saya melindungi dan meningkatkan kepentingan nasional Australia. Saya tidak akan beranjak dari tujuan itu dan akan terus konsisten dengan tugas itu,” ujar Abbott.
Di sisi lain, Abbott mengatakan tak bermaksud sedikit pun merusak hubungan erat antara negaranya dengan Indonesia. “Hubungan dengan Indonesia merupakan jalinan terpenting yanng terus saya pelihara. Sebuah hubungan yang akan saya pastikan terus berkembang dalam beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan,” kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar