Tugas Soleman saat itu adalah menemani Ketua Pelaksana Harian Aceh Monitoring Mision (AMM), Letnan Jenderal Bambang Darmono. Dan Soleman menemani Bambang untuk memberikan wawasan mengenai intelijen dan dunia internasional.
Soleman mengatakan saat itu ada beberapa hal kecil yang dapat membuat perdamaian di Aceh gagal tercapai. Pasalnya situasi saat itu sedang menuju perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Permasalahan kecil yang dapat mengganjal seperti penggunaan pin berlogo GAM, pengibaran Bendera GAM, dan penggunaan senjata api," jelas Soleman di Hotel Borobudur dalam acara peluncuran buku bertajuk 'TNI dan Perdamaian di Aceh', Rabu (6/11).
Bambang mengatakan Soleman adalah sekretaris yang tidak pernah luput dalam mendokumentasikan perbincangan formal maupun informal. "Dalam perdebatan yang ramai pun tidak ada yang lepas dalam catatannya. Kecuali ketika dia (Soleman) tidak ada," kenangnya.
Lengkapnya data dokumentasi mengenai rapat untuk menuju kedamaian Aceh, maka ini mempermudah Soleman untuk menggabungkannya menjadi satu. Dan dalam buku ini banyak bercerita mengenai keseharian TNI selama di Aceh.
Ketika ditanyai mengenai polemik terumit, Bambang mengatakan ketika sedang ingin menandatangani MoU Helsinki sempat terjadi perdebatan. "Ketika itu kami akan lakukan apapun agar UUD 45 dapat diterima oleh GAM. Karena memang itu sumpah kita sebagai anggota TNI," jelas Bambang.
Tetapi Soleman menambahkan, "Ketika bersama Pak Bambang, cuman tau sekitar 450 senjata. Tetapi GAM mengatakan bahwa kami (TNI) akan memberikan 840 senjata." Untungnya 'miss comunication' ini dapat diselesaikan.
Bambang dalam kesempatan ini menyampaikan rasa bangganya kepada Soleman. Sebab dia merasa Soleman adalah perpanjangan tangan dari TNI. "Ini adalah kali pertama seorang TNI menulis tentang TNI," tutupnya bangga.
Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar