Jumat, 22 November 2013

Paradigma Baru Ancaman Intelijen Masa Kini



Perkembangan dinamika dan lingkungan strategis mengakibatkan perubahan paradigma, sehingga spektrum ancaman bergeser dari ancaman bersifat non fisik berubah menjadi perang masa depan bersifat cyber war. Atas dasar itulah intelijen Indonesia harus menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman perang tersebut. Kemajuan teknologi harus menjadi peluang bagi intelijen Indonesia untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional disertai dengan mengintensifkan pengembangan SDM intelijen baik kecerdasannya maupun nasionalisme. Demikian intisari pendapat mantan Deputi Bidang Produksi dan Analisa Badan Koordinasi Intelijen Negara/BAKIN (Red: sekarang BIN) Supono Soegirman, yang juga penulis buku intelijen berjudul “Intelijen Profesi Unik Orang-Orang Aneh”, dalam wawancara di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berikut petikan wawancara dengan mantan Deputi III BAKIN, Supono Soegirman.
Bagaimana perjalanan karir Anda di bidang intelijen?
Awal karir di BAKIN, saya bertugas sebagai liason dengan DPR, setelah mengalami reorganisasi ditempatkan di salah satu Direktorat Riset Deputi Bidang Luar Negeri BAKIN. Saya sempat menjabat sebagai Kepala Seksi Vietnam, Kasubdit Asia Tenggara, kemudian dipindah ke direktorat operasional dan ditugaskan ke luar negeri. Kembali dari luar negeri ditugasi sebagai Direktur Riset dan Analisa di lingkungan Deputi III (Deputi Produksi dan Analisa BAKIN). Kemudian seusai pendidikan Lemhanas saya ditugasi menjadi staf ahli bidang Sosial Budaya, dan puncaknya dipercaya menduduki jabatan eselon I sebagai Deputi III BAKIN.
Apa motivasi Anda menulis buku tentang intelijen?
Terdapat peribahasa latin "verba volant, scripta mament", artinya kata-kata lisan menguap, tulisan langgeng. Peribahasa tersebut merupakan salah satu pertimbangan mendorong saya menulis buku tentang intelijen, agar masyarakat umum punya persepsi yang benar terhadap dunia intelijen. Buku-buku yang saya tulis menggunakan bahasa populer agar mudah dimengerti masyarakat sebagai "stay behind of intelligence", bersikap kondusif bagi kinerja intelijen. Selama ini tulisan-tulisan berbahasa Indonesia tentang intelijen masih sulit ditemukan. Dilain pihak, banyak terdapat cukup banyak film tentang intelijen yang umumnya justru mudah memberi gambaran keliru. Apabila persepsi masyarakat tentang profesi intelijen dapat proporsional, maka akan dapat meringankan sebagian tugas-tugas intelijen.
Respon publik terhadap tulisan-tulisan saya tentang intelijen cukup konstruktif.  Komentar langsung dalam seminar, pertemuan maupun pertanyaan tertulis melalui media sosial, meskipun disampaikan dalam kalimat-kalimat pendek, menumbuhkan harapan bahwa pembaca bersedia memberikan pemahaman terhadap profesi intelijen sebagaimana semestinya. Sejauh ini buku-buku tentang intelijen yang memadai dalam arti mampu mengobati rasa dahaga masyarakat tanpa harus mengumbar rahasia negara, sekaligus bermanfaat untuk kepentingan literatur pendidikan maupun konsumsi masyarakat luas dirasa masih kurang. Munculnya buku-buku tentang intelijen yang mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut tentu akan membawa banyak manfaat.
Bagaimana pendapat Anda tentang intelijen masa kini dan konsep smart intelligence?
Smart Intelligence merupakan sebuah terminologi yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan bagaimana seharusnya postur intelijen ideal dalam menyikapi paradigma baru era keterbukaan. Seperti diketahui, era keterbukaan diwarnai dengan kemajuan teknologi komunikasi, telah menjadikan informasi, termasuk klasifikasinya terbatas, bahkan tertutup, sebagai komoditi yang mudah diakses oleh siapa saja, bukan lagi monopoli intelijen. Berbagai media sosial seperti internet, termasuk google, yahoo, bahkan face book, twitter, menyediakan beragam informasi berharga yang bisa diolah menjadi sebuah produk analisis bernilai tinggi. Akan tetapi, perlu diingat, tidak selamanya data yang tersedia di media sosial tersebut akurat. Bisa saja data-data tersebut merupakan "desepsi", penyesatan, atau mungkin data yang belum teruji kesahihan dan validitasnya.
Intelijen masa kini dan konsep smart inteligence ideal bagi BIN, harus sesuai tantangan yang dihadapi kedepan, setidaknya perlu memenuhi beberapa kriteria, yakni responsif, simpatik, kreatif, dan nasionalis. Responsif dalam arti cepat memberikan reaksi terhadap setiap situasi yang berkembang cepat. Intelijen tidak boleh ketinggalan informasi yang tersedia di media-media sosial, terlebih kalah cepat dengan unsur-unsur masyarakat biasa. Intelijen perlu bereaksi cepat, tetapi harus akurat sebagaimana moto "velox et excatus". Intelijen harus simpatik, menghadapi paradigma keterbukaan menghendaki model "penggalangan" halus, tidak memberikan kesan menakutkan. Intelijen harus kreatif, banyak akal, banyak ide terutama ketika menganalisis sesuatu masalah. Sedangkan nasionalisme harus tetap merupakan dasar pijak intelijen, dalam rangka menghadapi ancaman kedepan terhadap eksistensi, integritas dan kedaulatan NKRI. Dalam nasionalisme tentu terkandung sifat keberanian, semangat berkorban dan semangat pengabdian.
Apa pendapat Anda tentang ancaman intelijen masa kini?
Intelijen masa kini dengan prestasi intelijen masa lalu, tentu tidak bisa dibandingkan, karena situasi dan tantangan yang dihahapi berbeda. Perubahan lingkungan strategis saat ini dibanding dengan masa lalu juga berbeda. Pada masa lalu, interaksi negara-negara di dunia ditandai rivalitas antara blok Barat dan blok Timur. Blok Barat yang anti komunis dipimpin Amerika Serikat. Sedangkan blok Timur yang berhaluan komunis - sosialis dipimpin oleh Uni Soviet. Berhubung Indonesia baru saja terhindar dari malapetaka pemberontakan-kudeta G30S-PKI, maka seakan Indonesia berada dalam orbit blok Barat. Kondisi ini tidak mudah bagi intelijen, sebab pada dasarnya kepentingan nasional RI tidak selamanya otomatis sejalan dengan blok Barat, dan tidak otomatis selamanya berseberangan dengan blok Timur.
Dalam pengabdian pada kepentingan nasional, intelijen senantiasa berpegang pada adagium "tidak ada kawan atau lawan yang abadi, kecuali kepentingan". Sekedar contoh, semula musuh AS adalah komunis. Setelah Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur runtuh, komunis bukan lagi dirasakan sebagai musuh utama, dan saat ini teroris menjadi musuh terbesarnya.  Bagi RI, kejahatan luar biasa yang harus dihadapi adalah korupsi dan teroris, selanjutnya paham liberal dan radikal lain yang dapat menggerus ideologi Pancasila, juga perlu diwaspadai. Sejarah membuktikan sesuai perkembangan dan dinamika situasi, telah terjadi perubahan paradigma, sehingga spektrum ancaman juga berubah. Apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata bentuk ancaman dimasa mendatang juga berubah. Ancaman dan perang yang semula bersifat fisik militer, bergeser pada bentuk-bentuk ancaman dan perang bersifat non fisik, multi-dimensi mencakup banyak bidang, termasuk perang masa depan di dunia maya/cyber war. Oleh karena itu, intelijen Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman - perang baru tersebut.
Intelijen Indonesia yang dikomandani oleh BIN, tampaknya sangat antisipatif. Beberapa diantaranya adalah penyempurnaan organisasi dengan dibentuknya sebuah Deputi yang menyediakan sarana dan infrastruktur untuk perang cyber. Selain itu juga telah dibentuk sebuah Deputi yang menghimpun pasukan perang cyber. Dengan perkuatan dua deputi tersebut, intelijen Indonesia diharapkan bukan hanya akan mampu menangkal ekses negatif dampak serangan cyber pihak asing yang mengarah pada pembentukan opini sesat, namun jika diperlukan juga diharapkan mampu melakukan "specified mission" lainnya.
Apa pendapat Anda tentang ancaman perang cyber bagi intelijen?
Ancaman perang cyber yang harus dihadapi Intelijen Indonesia, utamanya BIN cukup berat. Sebagaimana perang fisik yang memerlukan dukungan keunggulan teknologi, perang cyber sangat dipengaruhi kecanggihan teknologi. Di bidang kecanggihan teknologi inilah Indonesia harus mengakui ketinggalan terutama bila dihadapkan dengan negara-negara Barat. Celakanya, masyarakat Indonesia sedang gandrung menikmati kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi ciptaan negara-negara lain, tanpa menyadari akan mudah menjadi sasaran pembentukan opini pihak lain yang belum tentu sejalan dengan kepentingan nasional RI. Sekedar contoh, Indonesia merupakan negara terbanyak kelima dalam hal penggunaan perangkat "dunia maya". Sebagai ilustrasi, pada akhir 2012 pengguna internet tercatat sekitar 62 juta, dan pengguna twitter mencapai sekitar 32 juta, demikian pula pemanfaatan media sosial lainnya cukup berkembang.
Tentu saja, semua media sosial memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.  Bagi intelijen Indonesia, kemajuan teknologi yang dimiliki oleh negara-negara barat sekalipun, harus dilihat sebagai peluang untuk pencapaian tujuan dan kepentingan nasional. Itu sebabnya ketika menyadari kekurangan yang dimiliki yakni bidang teknologi komunikasi, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengintensifkan pengembangan SDM intelijen, baik kecerdasannya maupun nasionalismenya. Kecanggihan SDM yang terdukung oleh nasionalisme tinggi akan mampu menyiasati kelebihan peralatan teknologi pihak lain, agar menjadi sesuatu yang kondusif bagi kepentingan nasional RI.
Bagaimana Anda melihat peran penting SDM intelijen?
Peran SDM dalam pelaksanaan tugas intelijen sangat penting. SDM intelijen populer dengan istilah "human intelligence" atau “humint”, sebagaimana perumpamaan yang berbunyi "the man behind the gun". Secanggih apapun teknologi yang digunakan, kalau humint-nya tidak punya semangat pengabdian, apalagi tidak cerdas, maka "senjata" yang ada ditangannya akan menjadi senjata makan tuan. Perlu dijaga keyakinannya bahwa apa yang dilakukan petugas intelijen akan bermanfaat bagi negara dan masyarakat banyak. Selanjutnya berbagai pendidikan dan refreshing course kepada humint amat perlu dilakukan, terutama untuk meningkatkan kemampuan, memelihara dan menyegarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya agar tetap menjaga dan meningkatkan profesionalitasnya sebagai petugas intelijen. Sementara itu, yang berdimensi keluar, keunggulan humint terkait upaya membangun jaringan agen di dalam negeri maupun diluar negeri, perlu terus dikembangkan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa operasi tertutup menggunakan jaringan agen memerlukan dana dan resiko besar. Bagi intelijen Indonesia yang perlu dipupuk terus adalah patriotisme dan semangat pengabdian kepada tanah air.
BIN. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar