MISTERI PETRUS / (mysterious assassins) - Indonesia
Pada tahun 1980 an, suasana kota Yogyakarta tiba-tiba berubah jadi mencekam. Para preman yang selama itu dikenal sebagai gabungan anak liar (gali) dan menguasai beberapa wilayah, tiba-tiba diburu oleh tim Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), yang kemudian dikenal sebagai Petrus (Penembak misterius). Ketika melakukan aksinya, tak jarang suara letusan senjata para penembak terdengat oleh masyarakat sehingga suasana jadi makin mencekam. Mayat-mayat para korban penembakan atau pembunuhan misterius itu pada umumnya mengalami luka tembak di bagian kepala, dan leher, lalu kemudian dibuang di lokasi yang mudah ditemukan oleh penduduk sekitar. Ketika ditemukan, mayat biasanya langsung dikerumuni warga dan menjadi tontonan masyarakat, esok harinya, lalu menjadi headline di media massa yang terbit di Yogyakarta.
Aksi OPK melalui modus Petrus tersebut dengan
cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi para pelaku kejahatan,
karena korban-korban OPK di kota-kota lainnya pun mulai berjatuhan.
Operasi OPK yang berlangsung secara rahasia tersebut justru mampu
menekan dan meminimalisir angka kriminalitas yang terjadi di berbagai
wilayah dan kota.
Pada tahun 1982, Presiden Soeharto memberikan
penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya saat itu, Mayjen Pol. Anton
Soedjarwo, atas kesuksesannya membongkar aksi perampokan yang banyak
meresahkan masyarakat. Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton
juga dinilai sukses dalam melancarkan aksi OPK.
Pada bulan Maret di tahun yang sama, pada acara
khusus yang membahas masalah pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI,
Presiden Soeharto bahkan meminta kepada Polri (yang saat ini masih
menjadi bagian dari ABRI), untuk mengambil langkah pemberantasan yang
efektif dalam upaya menekan angka kejahatan. Keseriusan Soeharto agar
Polri/ABRI segera mengambil tindakan untuk menekan angka kejahatan,
bahkan kembali dinyatakan Soeharto dalam pidato kenegaraan yang
berlangsung pada 16 Agustus 1982. karena perintah Soeharto disampaikan
pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan atau respon yang
dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat istimewa, dan
ditanggapi secara serius.
Permintaan atau perintah Soeharto dengan cepat
disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat kordinasi
bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta
yang berlangsung di markas Kodam Metro Jaya 19 januari 1983. Dalam
rapat tersebut, kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk
menumpas aksi-aksi kejahatan yang bersandi ‘Operasi Celurit’ di daerah
jakarta, dan sekitarnya. Operasi celurit tersebut kemudian diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta dengan cepat merambat ke
kota-kota lainnya. Korban-korban dari Operasi celurit pun berjatuhan.
OPERASI DI YOGYAKARTA
Selama sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam
tokoh penjahat tewas terbunuh. Para korban tewas yang ditemukan
rata-rata mengalami luka tembak parah di kepala dan lehernya. Dua
diantara korban OPK yang berhasil diidentifikasi adalah mayat Budi alias
Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Mayat Budi yang
dulu ditakuti dan dikenal lewat geng mawar Ireng-nya, kini menjadi
korban tak berdaya yang terkapar di parit di tepi jalan daerah Bantul,
Selatan Yogyakarta, kejadian itu terjadi di awal tahun 1985. Sedangkan
mayat Samudi alias Black Sam, ditemukan tergeletak di semak belukar di
kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta.
Dari cara membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ingin disampaikan kepada para bromocorah di Yogyakarta, yaitu agar segera menyerahkan diri, atau menemui ajal seperti rekan-rekan mereka yang telah tewas. Selama OPK berlangsung, paling tidak ada 60 bromocorah Yogyakarta yang menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas ditembak dan beberapa yang lainnya tewas terbunuh akibat senjata tajam. Sejumlah korban bahkan diumumkan oleh aparat keamanan, bahwa penyebab tewasnya mereka adalah akibat pengeroyokan massa. Salah satu korban yang diklaim aparat keamanan sebagai korban yang tewas akibat pengeroyokan massa adalah bromocorah bernama Ismoyo.
Selama hidupnya, Ismoyo dikenal sebagai gali
elite karena merupakan lulusan Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus
PNS. Sebagai ketua kelompok preman yang sering memalak
angkutan-angkutan kota di wilayahnya, gali elite tersebut kemudian
diciduk oleh aparat keamanan untuk diinterogasi. Namun menurut versi
aparat, Ismoyo mencoba melarikan diri dan kemudian tewas akibat
dikeroyok massa. Modus menyuruh bromocorah lari kemudian sengaja
diteriaki maling atau malah ditembak saat sedang lari, merupakan cara
standar yang dilakukan tim OPK untuk membereskan buruannya. Cara lain
untuk memberikan shock therapy kepada bromocorah adalah dengan menembak
korbannya puluhan kali. Cara ini diterapkan OPK saat menghabisi pentolan
gali di Yogyakarta, yaitu Slamet Gaplek. Berdasarkan info, Slamet konon
kebal peluru. Slamet Gaplek sempat melarikan diri dengan cara
mematahkan borgol, namun akhirnya tersungkur mengenaskan setelah
dihujani tembakan, dan lebih dari 20 peluru bersarang di sekujur
tubuhnya.
Korban yang tewas dengan cara yang sadis dan
mengenaskan tersebut lalu dibuang ke tempat-tempat yang mudah ditemukan
oleh warga sehingga esoknya langsung menjadi berita yang heboh.
Surat-surat kabar tentang mayat-mayat yang berjatuhan pun menghiasi
kolom-kolom depan koran dan dengan cepat jadi pembicaraan publik. Cara
seperti itu memang sangat efektif sebagai efek shock theraphy yang sangat ampuh untuk membasmi pelaku-pelaku tindak kejahatan meminimalisir angka kejahatan di kota-kota besar.
Disadur dari; majalah Angkasa Edisi Koleksi –
The World’s Most Shocking Covert Operations (Delapan operasi
terselubung paling menggegerkan) / Koleksi No.75 / September / Tahun
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar