Sabtu, 02 November 2013

Jejak Soeharto : Peristiwa Malari “The Shadow of an Unseen Hand”

 
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.
Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Peristiwa Malari itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam.
Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. “Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. “Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!” teriaknya. “Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas….”
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa “dialog diganti dengan dialog jalanan….”
Tetapi Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta ratusan bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari sejumlah toko perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.
“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman ketika ditemui, Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, setelah itu Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid. “Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap,” Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud meredam aksi mahasiswa.
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Malari sebagai Wacana
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru. Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu–antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola–dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992:166).
Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.
Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.
Pintu tertutup untuk PSI
Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik “pluralis modern”. Kelompok ini-seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)-meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.
Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.
Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.
Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.
Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.
Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan “bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. “PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.”
Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. “Banyak juga anak muda yang tertarik.”
Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.
Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.
Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.
Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.
Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. “Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman Tolleng.
Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.
Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.
Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? “Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.
Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.
Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, “Independent group sudah mati sebelum lahir.”
Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.
Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. “Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.
Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah “markas” independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.
Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini “mati” setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.
Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.
Rahman Tolleng-di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969-berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.
Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.
Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.
Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. “Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar