Tak banyak perangkat militer yang sukses dijadikan sebagai ikon dalam
komik. Tapi ada satu yang dirasa sangat menarik, yaitu pesawat latih
T-33A Bird. Tidak tanggung-tanggung, T-33A menjadi ikon dalam komik
tahun 80-an asal Perancis, Tanguy dan Laverdure. Dimulai dari judul
“Pendidikan Para Elang”, kemudian berlanjut di sekuel kedua “Demi
Kehormatan.” T-33A menjadi pesawat andalan bagi para siswa pilot pemburu
Perancis.
Dengan mengambil latar cerita di Sekolah Pendidikan Pilot Pemburu di
kota Meknes, Maroko. Aksi Tanguy dan Laverdure digambarkan cukup
dramatis, termasuk dalam beberapa plot serangan udara di kawasan padang
pasir. Bagi penulis, T-33A adalah pesawat yang punya kesan tersendiri.
Alasannya sederhana, T-33A ternyata juga pernah digunakan oleh TNI AU.
Dan, keberadaan T-33A juga membawa dampak penting bagi kesiapan
pertahanan udara nasional.
Sejenak mengingat kebelakang, pasca berubahnya haluan politik RI dari
Blok Timur ke Blok Barat pasca revolusi 1965. Maka kesiapan alutista di
lini udara begitu melorot, yang tadinya Indonesia disebut sebagai
“Macan Asia,” akibat embargo dari Uni Soviet dan Pakta Warsawa, seolah
RI berubah menjadi “Macan Ompong Asia.” Begitu banyak pesawat modern
dari Uni Soviet yang tak berdaya akibat dihentikannya pasokan suku
cadang. TNI AU pun memasuki periode galau, banyak penerbang
tempur yang tak lagi bisa mengudara. Baru kemudian, lewat pendekatan
dengan pihak Barat, Indonesia mulai kedatangan pesawat tempur muka baru,
yaitu F-86 Avon Sabre dari Australia dan T-33A dari AS.
Bersamaan dengan kedatangan 23 unit F-86 Avon Sabre, pada tanggal 23
Agustus 1973, TNI AU menerima 19 pesawat latih Lockheed T-33A-10 Bird
(Shooting Star) dari Amerika Serikat . Ke-19 pesawat tersebut diserahkan
tanpa senjata. Pesawat yang didatangkan ke Indonesia diambilkan dari military stock
AS yang berada di Subic, Filipina. Kemudian menyongsong antisipasi
terhadap situasi di Timor Portugis yang kian memanas, kemudian dilakukan
upaya meningkatkan kekuatan pesawat bersenjata dalam operasi udara di
Timor Timur, maka pada bulan Mei 1978 Dinas Penelitian dan Pengembangan
TNI AU (Dislitbangau) melakukan upaya modifikasi dengan menambahkan
sistem senjata pada T-33A.
Modifikasi yang dimaksud adalah pemasangan senapan mesin, bom, dan
roket. Pelaksanaan modifikasi dilakukan dengan memasang dua senapan
mesin Browning AN-M3 kaliber 12,7mm
pada kedua sisi hidung bawah pesawat. Setiap pucuk senapan mesin
dipasok dengan rangkaian peluru berisi 250 peluru tajam yang diselingi
dengan peluru api dan peluru asap. Selain itu, T-33A juga dipersenjatai
dengan bom 100lbs dan dua peluncur roket LAU-68, masing-masing peluncur
terdiri dari 7 roket FFAR 70mm.
Yang menarik, alat bidiknya menggunakan jenis KB-13 yang dicomot dari
pesawat pembom taktis Ilyushin Il-28B buatan Uni Soviet. Uji coba
senjata dilakukan di AWR (air weapon range) Pulung, Ponorogo, Jawa Timur.
Langkah modifikasi T-33A dengan beragam racikan senjata, dinggap
sebuah langkah yang berani. Hal itu disebabkan senjata maupun pesawat
yang dipasang bukan asli untuk T-33.Bahkan antara senjata dan alat bidik
yang dipasang merupakan perpaduan antara Blok Barat dan Blok Timur.
Selain itu modifikasi tidak dilakukan melalui wind tunnel (terowongan
angin) untuk menguji weight and balance. Modifikasi T-33A bukan itu saja, Wing Logistik 30 di Lanud Abdulrachman Saleh memodifiksasi wing roof spar sehingga air frame pesawat ini yang semula hanya mampu menahan gaya gravitasi di level 3G force, setelah ditingkatkan kemampuannya, T-33A dapat menahan tekanan hingga 7G sampai 8G force. Tentu saja, kemampuan yang ditambahkan ini dapat berperan penting dalam manuver air to air.
Secara umum, TNI AU member dua warna pada bodi T-33A, untuk versi
yang telah dipersenjatai, warnanya adalah hijau – abu abu dengan corak
gigi hiu pada bagian hidungnya. Sementara untuk versi yang tidak
dipersenjatai, warnanya tetap putih dan digunakan sebagai pesawat latih
menggantikan L-29 Dolphins. Untuk versi latih, T-33A ditempatkan dalam
Skadron Pendidikan 017. Untuk T-33A yang dipersenjatai, atau disebut
TA-33A yang ditempatkan di Skadron Udara 11 Buru Sergap, bersama dengan
F-86 Avon Sabre. Skadron 11 kala itu ber-home base di lanud
Iswahjudi, Madiun – Jawa Timur. Dengan bergabungnya T-33 ke dalam unit
buru sergap, maka sejak itu pula kode registrasi pesawat menjadi TS
(tempur strategis).
Beraksi di Timor Timur
Selama operasi Seroja, T-33A Bird yang beroperasi di Timor Timur dibawah naungan Operasi Cakar Garuda. Dengan telah dipersenjatainya T-33, maka pesawat ini tampil dengan wajah baru, yakni bercat hijau tua dengan corak Moncong ikan Hiu Macan (Shark Teeth) hasil rancangan Lettu Pnb F. Djoko Poerwoko. Dengan corak Shark Teeth, menjadikan T-33A serupa dengan B-26B Invader, P-51D Mustang yang mengadopsi juga corak Shark Teeth. Bahkan, generasi terbaru, penempur propeller EMB-314 Super Tucano juga mengusung corak legendaris ini. TNI AU menempatkan satu flight pesawat T-33 yang ditempatkan di lanud Baucau sekitar enam bulan pada tahun 1978.
Selama operasi Seroja, T-33A Bird yang beroperasi di Timor Timur dibawah naungan Operasi Cakar Garuda. Dengan telah dipersenjatainya T-33, maka pesawat ini tampil dengan wajah baru, yakni bercat hijau tua dengan corak Moncong ikan Hiu Macan (Shark Teeth) hasil rancangan Lettu Pnb F. Djoko Poerwoko. Dengan corak Shark Teeth, menjadikan T-33A serupa dengan B-26B Invader, P-51D Mustang yang mengadopsi juga corak Shark Teeth. Bahkan, generasi terbaru, penempur propeller EMB-314 Super Tucano juga mengusung corak legendaris ini. TNI AU menempatkan satu flight pesawat T-33 yang ditempatkan di lanud Baucau sekitar enam bulan pada tahun 1978.
Sebelum pelaksanaan Operasi Cakar Garuda, para penerbang T-33A
berlatih penembakkan di AWR Pulung, Ponorogo, dengan berbagai
persenjataan dan metode pemboman. Dari teori dilanjutkan dengan praktek weapon delivery
yang hampir dilakukan setiap hari. Mengingat persenjataan yang
digunakan merupakan hasil rekayasa, maka baru beberapa minggu kemudian
ditemukan mile setting untuk tiap-tiap pesawat. Pasalnya antara satu
pesawat dengan pesawat lainnya berbeda, setiap pesawat punya
karakteristik masing-masing. Dengan demikian, setiap penerbang harus
tukar menukar informasi tentang data bila akan melakukan weapon
delivery. Latihan penembakkan dari T-33A yang akan dioperasikan di Timor
Timur cukup rumit dan memakan waktu, tetapi dalam persiapan suatu
operasi udara hal itu merupakan hal yang biasa.
Kendala yang digadapi oleh penerbang T-33 dalam memberikan BTU
(bantuan tembakan udara) kepada unit infanteri TNI AD dan Korps Marinir
TNI AL ada di masalah komunikasi radio. Kendala itu disebabkan T-33
tidak memiliki radio dengan frekuensi VHF-FM standar AD dan Marinir.
Kasus serupa juga terjadi pada pengoperasian B-26B Invader dan AC-47 Gunship
di Timor Timur. Selain itu, T-33 juga tidak memiliki cross gate yang
mampu merubah frekuensi VHF-AM menjadi VHF-FM atau sebaliknya. Untuk
mengatasi kendala diatas, penerbang T-33 melakukan rekayasa dengan
menempatkan radio taktis PRC-77
di kokpit bagian belakang. Dalam prakteknya, radio PRC-77 harus
dipangku oleh penerbang –II yang duduk di back seat. Dalam perkembangan
selanjutnya, radio ini ditempatkan disisi kiri back seat secara
permanen.
Dengan adopsi PRC-77 bukan
berarti masalah terpecahkan, sebab mutu pembicaraan radio darat ke
udara melalu PRC-77 yang diterima biasanya kurang jernih akibat berbaur
dengan suara kreseg-kreseg dan kadang-kang hilang timbul. Penyebabnya
ternyata karena T-33 yang berkecepatan tinggi (960 km/jam). Sehingga
dalam waktu singkat pesawat telah berada di luar jarak jangakauan
frekuensi radio VHF-FM di darat.
Kecepatan Tinggi Jadi Masalah Untuk COIN
Kecepatan tinggi bisa menjadi keunggulan dalam suatu kesempatan, tapi pada tugas-tugas seperti misi anti gerilya atau COIN (Counter Insurgency), maka pesawat dengan kecepatan tinggi menjadi tidak efektif. Dengan kecepatan tinggi, penerbang cenderung kesulitan untuk menemukan sasaran. Dalam prakteknya, penerbang T-33 baru mudah mengenali sasaran setelah infanteri AD atau Marinir memberika spotting dengan melemparkan mortir asap.
Kecepatan tinggi bisa menjadi keunggulan dalam suatu kesempatan, tapi pada tugas-tugas seperti misi anti gerilya atau COIN (Counter Insurgency), maka pesawat dengan kecepatan tinggi menjadi tidak efektif. Dengan kecepatan tinggi, penerbang cenderung kesulitan untuk menemukan sasaran. Dalam prakteknya, penerbang T-33 baru mudah mengenali sasaran setelah infanteri AD atau Marinir memberika spotting dengan melemparkan mortir asap.
Operasi udara T-33 dengan nama sandi Cakar Garuda berlangsung selama
enam bulan di Timor Timur, tidak ada kerugian baik personel maupun
material. T-33A resmi dioperasikan TNI AU dalam kurun waktu 7 tahun
(1973 – 1980). Selama periode tersebut, sudah enam pilot gugur dalam
tiga kecelakaan terpisah. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Lockheed T-33A Bird
Awak : 2
Sayap : 11,85 meter
Panjang : 11,40 meter
Mesin : 1 Allison J33-A-35 Tenaga 2.360 kg
Berat Kosong : 3.775 kg
Berat Take off Max : 6.865 kg
Kecepatan Max : 960 km/jam
Jarak Tempuh : 1.700 km
Ketinggian Terbang : 10.000 – 14.000 meter
Awak : 2
Sayap : 11,85 meter
Panjang : 11,40 meter
Mesin : 1 Allison J33-A-35 Tenaga 2.360 kg
Berat Kosong : 3.775 kg
Berat Take off Max : 6.865 kg
Kecepatan Max : 960 km/jam
Jarak Tempuh : 1.700 km
Ketinggian Terbang : 10.000 – 14.000 meter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar