Operasi pembebasan sandera di Provinsi Basilan memakan korban, 18 tentara Filipina tewas di tangan pemberontak Abu Sayyaf, empat di antaranya digorok. Sedangkan 50 orang lainnya terluka, alhasil 1 Peleton pasukan babak belur dalam penyergapan yang dilakukan 100 militan.
Kekalahan telak yang dialami pasukan Filipina tersebut menjadi pelajaran berharga bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan, mereka terus mengasah kemampuan agar bisa menghadapi Abu Sayyaf yang dikenal ahli perang gerilya.
Soal perang gerilya, Indonesia cukup kenyang pengalaman dalam menghadapi pertempuran hutan. Bahkan, Jenderal (Purn) AH Nasution disebut-sebut sebagai mastermind perang gerilya.
Salah satu kunci sukses tersebut dilakukan oleh prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI Angkatan Darat ini tak sekadar berhasil menemukan basis persembunyian kelompok militan, tapi juga menyusup sampai jauh ke dalam markas musuh.
Kisah ini ditulis Jenderal (Purn) AM Hendropriyono dalam bukunya ‘Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin’, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Ketika itu, pasukan yang dipimpinnya diterjunkan melawan gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sekitar tahun 1968-1974.
Bersama 11 prajurit Halilintar Prayudha Kopasandha (kini Kopassus), ditugaskan untuk meringkus Sekretaris Wilayah III Mempawah Siauw Ah San. Berbeda dengan pasukan reguler, mereka hanya membawa pisau komando serta handy talky (HT), hanya Hendro yang membawa pistol untuk berjaga-jaga.
Pasukan bergerak pada 3 Desember 1973, sekitar pukul 16.00, tim sudah merayap ke sasaran yang jauhnya mencapau 4,5 km melewati hutan rimba. Kecepatan merayap ditentukan. Kode hijau artinya merayap 10 meter per menit, kuning berarti lima meter per menit dan merah berhenti merayap. Di tengah kegelapan malam, anak buah Hendro berhasil melumpuhkan beberapa penjaga secara senyap.
Pukul 22.25 WIB, tim sampai di lokasi yang ditentukan. Kabar mengejutkan terdengar dari HT, di mana Intelijen melaporkan Ah San tak ada di pondok tersebut. Seluruh tim sangat kecewa, mereka pun harus menunggu lagi hingga siang hari.
Baru pukul 14.00 Siat Moy dan perwira intelijen Kodim Mempawah memastikan Ah San ada di pondok. Maka kembali kegembiraan melingkupi seluruh anggota tim. Dengan kecepatan kuning, mereka merayap mendekati sasaran, hingga dari jarak 200 meter terlihat pondok kayu rumah persembunyian Ah San.
Tiba-tiba anjing-anjing penjaga pondok tersebut berloncatan ke arah tim Halilintar sambil mengonggong keras. Hendro segera meneriakkan komando “Serbuuuuu,” katanya sambil lari sekencang-kencangnya ke arah pondok.
“Abdullah alias Pelda Kongsenlani mendahului saya lima detik untuk tiba di sasaran. Dia mendobrak pintu dengan tendangan mae-geri dan langsung masuk. Saya mendobrak jendela dan meloncat masuk,” beber Hendro.
Hendro berteriak pada Ah San. “Menyerahlah Siauw Ah San, kami bukan mau membunuhmu.”
Tapi Ah San enggan menyerah. Dia menyabet perut Kongsenlani dengan bayonet hingga usus prajurit itu terburai. Hendro menyuruh anak buahnya keluar pondok. Dia sendiri bertarung satu lawan satu dengan Ah San.
“Dengan sigap saya lemparkan pisau komando ke tubuh Ah San. Tapi tidak menancap telak, hanya mengena ringan di dada kanannya,” Hendro menggambarkan peristiwa menegangkan itu.
Kini Hendro tanpa senjata harus menghadapi Ah San yang bersenjatakan bayonet. Memang ada senjata yang ditaruh di belakang tubuh Hendro, tapi mengambil senjata dalam keadaan duel seperti ini butuh beberapa detik. Hendro takut Ah San keburu menusuknya.
Hendro lalu melompat dan menendang dada Ah San. Berhasil, tetapi sebelum jatuh Ah San sempat menusuk paha kiri Hendro hingga sampai tulang, darah langsung mengucur. Ah San berusaha menusuk dada kiri Hendro yang kemudian ditangkis dengan tangan. Akibatnya lengannya terluka parah dan jari-jari kanannya nyaris putus.
Celakanya pistol di pinggang belakang Hendro melorot masuk ke dalam celananya. Butuh perjuangan baginya untuk meraih pistol itu dengan jari-jari yang nyaris putus. Akhirnya Hendro berhasil meraihnya. Perwira baret merah ini menembak dua kali. Tapi hanya sekali pistol meletus, satunya lagi macet. Pistol segera jatuh karena Hendro tak mampu lagi memegangnya.
Peluru itu mengenai perut Ah San. Membuatnya limbung, Hendro yang juga kehabisan tenaga membantingnya dengan teknik o-goshi. Kemudian Hendro menjatuhkan tubuhnya keras-keras di atas tubuh Ah San.
Duel maut itu selesai. Ah San tewas, tetapi Hendro pun terluka parah. Beruntung anak buahnya segera datang menyelamatkan Hendro. Rupanya saat diserang tadi Ah San sudah membakar gubuknya sendiri. Tujuannya agar pasukan penyerang sama-sama mati terbakar.
Luka-luka Hendro dan Kongsenlani berhasil disembuhkan. Hendro
mendapat Satya Lencana Bhakti, tanda jasa khusus bagi tentara yang
terluka dalam pertempuran.
(Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar