Kamis, 20 Februari 2014

Tidak Mungkin Mengandalkan Mesin Tempur Itu Itu Saja


PT Pindad Bandung mengerjakan Panser Anoa pesanan TNI AD (photo: viva.co.id)
PT Pindad Bandung mengerjakan Panser Anoa pesanan TNI AD (photo: viva.co.id)

Pemerintah berpikir keras guna mempercepat peningkatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk keperluan pertahanan Indonesia. Kementerian Pertahanan telah membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) demi menggenjot produksi alutsista mutakhir buat mengganti mesin tempur uzur.
Menurut staf ahli kelembagaan bidang kerjasama Kementerian Pertahanan, Zilmi Karim, pemerintah telah membidik sepuluh pengadaan alutsista dari berbagai jenis. Antara lain kapal selam, program pesawat tempur KXF-IXF bekerjasama dengan Korea Selatan, tank kelas menengah, panser amfibi, propelan atau bahan bakar roket dan rudal, radar, amunisi kaliber besar, satelit pertahanan, dan pesawat tempur tanpa awak (unmanned combat air vehicle-UCAV) atau kerap disebut drone.
“Tapi, fokus Komite Kebijakan Industri Pertahanan yaitu kapal selam, propelan, program KFX-EFX, medium tank, radar, dan alat komunikasi,” kata Zilmi dalam jumpa pers di kantor Kementerian Pertahanan, Rabu (19/2/2014).
Guna memenuhi kebutuhan itu, Kementerian Pertahanan menunjuk lima Badan Usaha Milik Negara yang bakal menjadi pimpinan pengadaan alutsista buat tiap-tiap angkatan. BUMN yang digandeng itu adalah PT PAL buat melayani pengadaan alutsista matra (medan) laut, PT Pindad buat menyediakan alutsista matra darat, serta PT Dirgantara Indonesia diminta menjadi pimpinan proyek alutsista matra udara.
Sementara dua lainnya, yakni PT LEN Industri akan menyediakan perangkat elektronik dan PT Dahana akan menyiapkan bahan dan hulu ledak. Meski begitu, dalam pengadaan alat tempur matra darat, laut, dan udara masih dilakukan dengan cara kerjasama operasi dengan pihak luar.
Zilmi menegaskan, semua pengadaan alutsista harus melewati persetujuan lima BUMN. Hal itu harus dilakukan karena dalam undang-undang dan peraturan presiden tercantum tiga syarat pengadaan alutsista. Yaitu imbal dagang, transfer teknologi, dan penggunaan kandungan atau komponen lokal dalam tiap mesin perang.
Kopassus dengan MP5
Kopassus dengan MP5
Jika mampu membuat mesin tempur secara mandiri, Indonesia tidak lagi dipandang hanya sebagai pengguna. Syarat keharusan penggunaan komponen lokal juga akan memacu pertumbuhan industri dalam negeri.
Untuk urusan peswat tempur KFX/IFX, Kementerian Pertahanan menargetkan jika tak ada halangan purwa rupa jet tempur kolaborasi dua negara itu bakal selesai dalam waktu 10 tahun. Seementara kapal selam produksi dalam negeri ditargetkan meluncur tahun 2018.
Sementara itu, Ketua Harian KKIP, Laksamana (Purnawirawan) Sumarjono, menyatakan memberdayakan industri pertahanan dalam negeri adalah amanat undang-undang. Dia mengakui, kondisi saat ini mendesak Indonesia melakukan peningkatan mesin tempur guna menjaga kedaulatan wilayah negara yang amat besar.
Luas wilayah Indonesia yang membentan hingga lima juta kilometer persegi, dengan garis pantai lebih dari 81 ribu kilometer sangat sulit diawasi jika hanya mengandalkan mesin tempur yang itu-itu saja. Itulah alasan mengapa negara lain gemar mengintimidasi Indonesia dengan sesekali melanggar batas negara.
“Kita juga harus mengelola zona ekonomi eksklusif. Kalau diambil negara lain kita cuma bisa gigit jari. Makanya kita harus punya kemampuan alutsista yang besar,” kata Sumarjono.
Dari sembilan titik strategis di dunia, lima di antaranya terletak di wilayah Indonesia. Maka dari itu, guna mempertahankan kedaulatan wilayah, tak bisa dipungkiri penguatan mesin tempur menjadi faktor penting. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar