Rabu, 19 Februari 2014

China Merupakan Ancaman Utama Australia

 
Australia sejak beberapa dekade lalu menyatakan bahwa musuh mereka akan datang dari Utara, oleh karena itu design pertahanan Australia lebih fokus diarahkan ke Utara. Australia membangun Over the Horizon Radar, yang mampu memonitor beberapa ribu kilometer kearah Utara, melewati batas wilayah Indonesia. Walaupun akurasi radar ini tidak tinggi, dalam sebuah sistem pertahanan udara, prinsip early warning merupakan kebutuhan mutlak. Kini Australia memutuskan akan membeli alutsista berupa pesawat tanpa awak MQ-4C Triton untuk intai maritim. Pada PD-II, akibat kegagalan sistem early warning, Amerika Serikat menderita kerugian yang besar,  sekitar 20 kapal-kapal perang dan 188 pesawat terbangnya rusak atau hancur, dan tercatat korban meninggal  2.403  jiwa saat Pearl Harbour diserang oleh AL Jepang.
Dalam peristiwa aktual yang terjadi akhir-akhir ini, Australia melakukan penyadapan dalam operasi pulbaket tertutup (spionase) terhadap beberapa sumber penting di Indonesia. Australia menurut mantan agen NSA/CIA Edward Snowden tergabung dalam kelompok 5-Eyes bersama AS, Inggris, NZ dan Canada. Pertanyaannya, apakah Indonesia merupakan ancaman hingga disadap? Ternyata bukan. Setelah diteliti secara ilmiah, ancaman utama Australia adalah China. Sebuah laporan dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI) yang dikeluarkan pada hari Kamis (13/2/2014) dan ditayangkan media Autralia Newscom, menyatakan bahwa risiko terbesar bagi keamanan Australia di masa depan adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang menakutkan dari China dan kemungkinan penarikan peran AS dari kawasan Asia Timur.
Skenario ASPI menyatakan bahwa dimasa mendatang, Australia akan lebih rentan terhadap agresi asing dibandingkan bentuk-bentuk  ancaman sejak tahun 1942. Laporan yang ditulis oleh ekonom AS David Hale dengan judul "China's New Dream," menggambarkan keajaiban perekonomian China. Hale tidak menyebutkan China sebagai agresor penyerang, tetapi memberikan gambaran kekhawatirannya dengan pertumbuhan luar biasa dari China dan adanya kemauan untuk menggunakan kekuatan militer yang tumbuh untuk mencapai tujuan-tujuannya. Ditegaskan oleh Hale, “The re-emergence of China as a great power will be Australia’s greatest foreign policy challenge during the 21st century."
Munculnya kembali China sebagai kekuatan besar di dunia akan menjadi tantangan kebijakan luar negeri terbesar Australia pada abad ke-21. Menurutnya, Canberra harus hati-hati menyeimbangkan pertumbuhan  hubungan ekonomi antara Australia dengan China disamping tetap berjalannya aliansi tradisional dengan AS . Ancaman utama terhadap tindakan penyeimbangan ini akan muncul  jika muncul masalah fiskal, dan Amerika dipaksa untuk memangkas pengeluaran bidang pertahanan sehingga  terpaksa  menarik diri dari kawasan Asia Timur.
Hale mengatakan, bahwa satu-satunya negara Asia yang mampu mengimbangi pertumbuhan China adalah India, karena itu disamping hubungannya dengan AS dan China, sebaiknya harus Australia menjaga serta  memelihara hubungannya dengan India.
Sebagai dampak pertumbuhan perekonomiannya, anggaran pertahanan China terus meningkat, terbesar kedua setelah AS. Tahun 2000, China (USD 22,2 milyar), dibandingkan AS (USD 166,2 milyar), tahun 2012, China (USD 166,2 milyar), AS (USD 660 milyar).
Laporan juga menyebutkan, bahwa China membutuhkan lebih dari setengah produksi semikonduktor dunia dan menghasilkan 75 persen dari output global ponsel , 87 persen dari komputer pribadi dan 52 persen dari televisi berwarna. China merupakan mitra dagang terkemuka bagi 124 negara , dibandingkan dengan 76 yang dimiliki oleh AS. Investasi asing langsung ke China telah meningkat menjadi USD 832 milyar. Hanya tiga negara yang mampu menyainginya, yaitu  Amerika Serikat, Perancis dan Inggris yang memiliki nilai lebih.
Cadangan devisa China merupakan yang terbesar di dunia, pada tahun 2013 sebesar USD 3,7 trilyun. Dengan kekuatan perekonomian yang berdampak semakin menguatnya kekuatan pertahanan, China semakin berani bertindak. China menyatakan penerapan ADIZ (Air Defence Identification Zone) dikawasan Laut China Timur (LCT) dan kini sedang mempersiapkan pernyataan ADIZ ke kawasan Laut China Selatan (LCS). China memprovokasi kawasan LCS, mengklaim kepulauan Spratly dan Paracel,  juga memprovokasi perselisihan batas wilayah dengan Vietnam dan Filipina. Menurut Hale, resiko terbesar dari agresi China adalah terjadinya kecelakaan militer. Tindakan China dimasa mendatang bisa memprovokasi ketegangan dan menciptakan kekhawatiran timbulnya perang.
Dari perkembangan China tersebut, maka Australia disarankan agar lebih menyeimbangkan pola hubungan politik, ekonomi dan pertahanan dengan negara India, dan tidak hanya tergantung hanya dengan AS. Hubungan tradisional Australia-AS telah dibangun dalam beberapa dekade, dan para ahli strategi AS dan Australia justru kini mulai menyarankan membangun hubungan yang lebih erat dengan India. Pada waktu lalu, hubungan dengan India kurang baik, sebagai contoh, kini disaat Australia menginginkan pesawat F-22 untuk pertahanan dalam negerinya, AS tidak mengijinkan. AS hanya akan memberikan ijin pembelian pesawat tempur F-35. Para ahli pertahanan di Australia beberapa waktu lalu justru menyarankan, dario sisi kekuatan udara saja, dibandingkan dengan negaranya saja saja, kemampuan AU Australia berada dibawah Indonesia yang menggunakan Flanker Family. Belum lagi apabila dibandingkan dengan AU  China.
Mereka menyarankan agar Australia meniru India mengadopsi Flanker untuk meningkatkan kekuatan udaranya. Dalam perbandingan kekuatan udara kini, Australia jauh dibawah China, dan kesempatan penyeimbangan kiranya hanya akan didapat apabila bekerja sama dan meniru India. Australia akan bisa mendapatkan SU-35 yang merupakan pesawat masa depan, disamping peluang mendapatkan pesawat tempur  T-50 PAK-FA generasi kelima, hanya inilah peluangnya untuk mengimbangi China.
Nah, fokus Australia kini kepada China, tetapi bagaimana menyeimbangkan, membangun balance of power di kawasan? Saat ini hanya AS yang mampu, karena itu memang Australia harus realistis, juga dalam membangun hubungan dengan Indonesia sebagai negara yang selama ini dianggap sebagai bumpernya. Yang jelas Australia akan menjumpai kesulitan apabila AS terpaksa mengundurkan diri dari kawasan. Inilah kesimpulan terpenting bagi Australia.
Selain itu ada hal penting yang harus dipikirkan oleh Australia. Akan lebih rumit lagi bagi Australia, apabila dari hasil pemilu 2014, pemerintah Indonesia mendatang sangat erat hubungannya dengan China. Karena itu sebaiknya kini Australia berbaik-baik dengan Indonesia. Harus disadari posisi geografisnya kurang baik. Terkunci di Selatan. Karena itu memang bisa dimengerti, apabila Australia  berusaha keras  terus menyadap para pejabat, elit dan juga para capres Indonesia, untuk mengetahui cara berfikir serta posisi para pengambil keputusan. Nah, dengan kesimpulan penelitian ASPI, dan dikaitkan dengan analisis, kini Australia akan lebih khawatir  apabila ada capres Indonesia yang pro atau dibina oleh China, maka akan semakin terancam dan gundahlah negara kanguru ini. Apakah begitu?
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar