Selasa, 24 Desember 2013

Surat Dewi Soekarno Kepada Soeharto


Memasuki bulan September, masyarakat Indonesia akan dikenangkan oleh peristiwa G-30-S/PKI atau Gestok (Gerakan Satu Oktober). Memperingati itu, menarik kiranya kita mengkaji ulang surat terbuka yang pernah dilayangkan Ratna Sari Dewi Sukarno kepada Presiden Soeharto. Surat itu ditulis dan dikirim dari Paris, Perancis pada April 1970. Surat Ratna Sari Dewi kepada Soeharto, secara jujur juga mengemukakan opini pribadinya terhadap segala kebijakan yang dibuat Sukarno, suaminya. Dia mengaku, ada kalanya tidak setuju dengan keputusan Sukarno. Akan tetapi, di luar itu semua, Dewi tahu betul, bahwa apa pun kebijakan dan keputusan Sukarno, semua semata dilakukan untuk cinta tunggalnya, Indonesia. Harap pula dicatat, surat ini ditulis Ratna Sari Dewi April 1970, dua bulan sebelum Bung Karno wafat, 21 Juni 1970.

Yang Mulia, Presiden Soeharto
Sekali-kali bukanlah maksud saya untuk mengingatkan Anda akan hal-hal yang rupanya ingin Anda lupakan. Tetapi karena saya mengikuti kejadian-kejadian di Indonesia  dari dekat, saya anggap tugaskulah untuk berbicara. Mungkin akan lebih bijaksana untuk tetap membisu seperti sphink. Pertanggungjawaban untuk melanggar tabu biasanya amat berat, karena itu saya juga sadar bahwa saya  akan dikucilkan. Barangkali lebih berat daripada yang saya pikirkan.
Baik di dunia maupun di Indonesia lambat-laun akan beredar cerita-cerita yang dipalsukan bahwa saatnya  sudah tiba saya membeberkan kejadian-kejadian dari sudut pandang saya. Saya telah memutuskan untuk menyampaikan surat kepada Anda sebagai warrga negara Indonesia. Selain itu saya mengharapkan agar tidak timbul keragu-raguan bahwa keputusan saya untuk mengirimkan surat terbuka kepada Anda, maupun isinya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Sukarno, mantan Presiden Indonesia.
Sekarang sudah terlambat untuk membicarakan para perwira yang telah dihukum mati sebagai “kontra-revolusioner” dan sebagai “pelaku maker terhadap negara”. Sudah sejak dahulu, sejak hari-hari Sukarno masih berkuasa, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa “kekuasaan selalu menang”. Saya juga tidak setuju bila kepala negara mengelilingi dirinya dengan yes-man. Saya masih saja berpendapat bahwa di sekitar Anda masih terlalu banyak orang berkumpul, yang selalu bungkam, yang pura-pura setuju dan menaati Anda, agar mendapatkan lebih banyak kekuasaan untuk dirinya.
Yang pertama-tama saya kutuk ialah yang disebut proses-proses, di mana orang dihukum mati untuk “kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara” tanpa mengindahkan norma-norma yang lazim dilakukan dalam suatu proses di pengadilan. Proses-proses itu berlangsung dalam suasana kekerasan dan terror.
Mereka, yang di bawah pimpinan Sukarno hampir tidak punya suara, kemudian melampiaskan diri dengan sangat tidak bertanggung-jawab dan membunuh serta menteror dari posisi kekuasaan yang baru mereka peroleh. Bila suatu waktu nanti tempat Anda kosong untuk diisi oleh orang lain, bisa saja terjadi, bahwa mereka yang menonjol dalam rezim Anda, termasuk di dalamnya tentu Anda sendiri, dan sejumlah  mitra militer Anda, akan  dihukum mati karena pengkhianatan terhadap negara dan kejahatan-kejahatan lain, misalnya korupsi yang telah menyebar luas kemana-mana.
Mengapa Anda memberikan contoh seburuk itu kepada negara semuda Indonesia? Dalam hal ini yang saya maksud tidak hanya proses-proses politik yang telah Anda selenggarakan. Tetapi yang teringat olehku adalah orang-orang yang terbunuh oleh yang dinamakan “pembersihan merah” menyusul peristiwa 30 September 1965. Berapa dari orang-orang ini hanyalah pengikut-pengikut Sukarno? Berita yang merebak menyebutkan bahwa tidak kurang dari 800.000 orang Indonesia, termasuk perempuan dan anak-anak, telah dibunuh karena mereka merupakan pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia).
Januari 1966, London Times menulis, “Setelah kejadian-kejadian di Indonesia, tiga bulan yang lalu, telah dibunuh seratus ribu komunis, angka itu menurut diplomat-diplomat Barat amat rendah. Laporan itu selanjutnya menyebutkan ‘Para usahawan dan turis Eropa, yang baru kembali dari Indonesia mengabarkan bahwa mereka melihat sebuah sungai penuh dengan mayat tanpa kepala, sedangkan di desa-desa anak-anak bermain sepakbola dengan kepala korban’. Tiga bulan setelah peristiwa 30 September merupakan mimpi buruk dengan kekejaman-kekejaman yang tak terlukiskan yang diwarnai darah – tanpa tandingan dalam sejarah Indonesia.
Seorang koresponden “Washington Post” menulis dari Jakarta, bahwa di Jawa Timur saja telah dibunuh 250.000 orang menurut juru bicara pihak Islam. Koran itu kemudian memberitahukan bahwa “pembunuhan mencapai puncaknya pada bulan November 1965. Kepala orang dipakai sebagai dekorasi di atas jembatan. Di tempat lain orang melihat jenazah-jenazah tanpa kepala berjajar di atas perahu-perahu di sungai. Apa yang terjadi di sini sungguh tak bisa dibayangkan. Rupanya seperti di neraka. Bengawan Solo yang didendangkan dengan begitu indah memuat demikian banyhaknya jenazah, sehingga arinya pun kadang-kadang tam tampak. Beberapa pengamat berbicara tentang dasar sungai yang berwarna merah karena darah”, demikian Washington Post. Koran Inggris “The Economist” memperkirakan korban pembunnuhan missal berjumlah satu juta.

Dan bolehkah saya bertanya, apa yang dimaksudkan Jenderal Nasution, dengan ucapannya, “fitnah dari para pengkhianat” dan “kami tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami?” Tujuan utama lima puluh orang yang berseragam pasukan pengawal Presiden Sukarno “dan bergerak menuju rumah dinas Jenderal Nasution adalah untuk membunuhnya karena dia seorang antikomunis yang terkenal. Atau bukankah begitu? Tetapi sebagai gantinya mereka melihat ajudannya jenderal, yakni Letnan Tendean sebagai Jenderal Nasution. Saya yakin bahwa tiap anggota pasukan pengawal Presiden Sukarno dengan segera akan mengenali Jenderal Nasution. Teori yang mengatakan bahwa para anggota PKI yang katanya mendapat tugas penting untuk membunuh jenderal, tidak mengenali wajahnya, rasanya tidak masuk akal.
Sadahkah Anda bahwa masyarakat di Indonesia mempersoalkan dan curiga bahwa Anda sebagai satu-satunya anggota staf tertinggi dari Angkatan Bersenjata pada malam naas itu tidak diserang, karena para pembunuh dalam perjalanan ke rumah Anda tidak dapat menemukan alamatnya yang tepat? Dan lebih hebat lagi. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 itu Anda mengambil alih komando Angkatan Bersenjata dan dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi Anda bisa membungkam Dewan Revolusi.
Setelah Sukarno kehilangan Menteri Pertahanannya, Jenderal Yani, beliau mengangkat Anda, yang pada saat itu masih berpangkat mayor jenderal, sebagai Menteri Pertahanan, sekaligus pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata. Itu terjadi pada tanggal 14 Oktober 1965. Pada kesempatan itu Sukarno berkata, “Tidak bisa dihindarkan ketertiban dan keamanan harus dikembalikan untuk menciptakan suasana damai, agar emosi baik dari pihak kiri maupun dari pihak kanan bisa mereda… dan untuk menemukan jalur keluar politik dari peristiwa 30 September ini sangat perlu untuk mengetahui dan mengenali fakta-fakta umum dan fakta-fakta yang menyangkut berbagai hal mengenai peristiwa itu. Fakta-fakta itu tidak akan meresahkan saya, dengan warna politik mana pun mereka menampakkan diri, merah hijau ataupun kuning”.
Menurut instruksinya, Presiden Sukarno memerintahkan agar Anda mengumpulkan “fakta-fakta” dan menyerahkannya kepadanya secara pribadi. Jadi, seharusnya Anda segera mulai mengadakan penyelidikan. Akan tetapi perintah Sukarno itu Anda interpretasikan sendiri dan Anda malah mengatakan, “Sekarang saya telah mendapatkan kepercayaan presiden. Sekarang saya akan melanjutkan mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang masih tersisa dari insiden itu”. Ini semua mempunyai arti. Presiden Sukarno menghendaki dan mengharapkan dari Anda bahwa Anda akan setia dan akan loyal menaati perintahnya.  Presiden telah bertekad untuk menemukan hukuman yang adil bagi pelaku-pelaku makar, siapa pun pelakunya, PKI atau militer.
Anda tidak menyampaikan fakta-fakta kepada presiden dan Anda juga tidak mendapatkan persetujuannya untuk menggerakkan Angkatan Bersenjata, dengan jenderal-jenderal seperti Sarwo Edhie. Dan segera setelah itu mulailah pembunuhan terhadap orang-orang yang tak bersalah, yakni yang disebut para komunis. Sudah menjadi fakta bahwa yang diketahui secara umum bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah khusus dari Anda mulai dengan menyiksa, membakar, merampok, dan memperkosa di seluruh negeri. Angkatan Bersenjata melakukan teror yang Anda lindungi. Dengan publikasi besar-besaran mengenai pembunuhan terhadap para jenderal, rakyat yang cinta damai terpicu sampai titik kemarahan yang memuncak. Rakyat mulai membenci PKI karena melakukan kekejian-kekejian tersebut dan sering Cina dianggap sebagai biang-keladi peristiwa ini.
Sebagian besar rakyat Indonesia tidak percaya bahwa pernah  ada “Dewan Jenderal”. Selanjutnya Sukarno dipaksa menempatkan PKI di luar hukum dan menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung-jawab atas peristiwa 30 September. Selama satu tahun penuh para mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang tidak puas berdemonstrasi dengan cara melakukan kekerasan-kekerasan terhadap Sukarno, justru karena ia menolak untuk menyatakan PKI sebagai partai yang ilegal tanpa adanya bukti bahwa PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung-jawab atas insiden itu.
Para pemimpin demonstrasi itu yang disebut para “mahasiswa”, yang usianya jauh di atas 30 tahun, yang menghadiahkan pada para pengikutnya perlengkapan-perlengkapan parasut yang bagus yang entah dari mana asalnya. Dan dari mana datangnya dana yang sungguh tidak sedikit untuk menyelenggarakan aksi-aksi para mahasiswa yang berdemonstrasi itu yang jelas-jelas dibiayai.
Dan mengapa para “pemimpin”, para pembuat kerusuhan itu sekarang menduduki jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahan Anda? Kerusuhan yang dengan sengaja dikobarkan ini berlangsung selama kira-kira setahun. Sementara itu dilakukan serangan propaganda terhadap PKI, yang digambarkan sebagai biang keladi semua kerusuhan yang terjadi. Saya ingin bertanya kepada Anda, berapa banyak kejahatan yang kecurangan yang telah dilakukan atas nama PKI? Dan ini masih tetap berlangsung, sampai sekarang, empat tahun setelah gerakan 30 September.

Bisa dimengerti dan merupakan realitas politik, bahwa warga negara yang ramah, yang selalu hidup dalam ketakutan dan ketidak-amanan, harus bersahabat dengan mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi, 2 Januari 1966, pada suatu rapat kabinet di Bogor, Sukarno telah memperingatkan Anda, “Situasi yang tidak menentu ini harus diakhiri tanpa saudara-saudara sebangsa saling membunuh. Bila pembunuhan massal terhadap sesama warga negara tetap berlangsung, akan timbul kekuatan-kekuatan balik yang buruk”.
Tetapi dengan cara yang “menakjubkan” Anda memecahkan persoalan situasi yang tidak aman ini dengan cara Anda sendiri. Saya sama sekali tidak membenarkan aksi 30 September 1965 itu. Saya tidak menyalahkan siapa pun, dan saya tidak mengadili. Apalagi bila saya seorang komunis. Saya sama sekali tidak berharap seolah-olah saya seorang “simpatisan komunis”, yang secara pribadi menarik perhatian saya adalah apa yang sebenarnya terjadi.
Bila memang terbukti bahwa penyulut gerakan 30 September adalah mereka yang termasuk PKI, kita hanya bisa bertanya-tanya mengapa partai berkuasa yang terorganisasikan dengan ketat ini melakukan langkah-langkah yang tak berguna dan kurang terarah seperti itu dan untuk tujuan apa? Mengapa tentara mengabaikan kebakaran besar yang terjadi di markas besar PKI, yang disulut oleh pembuat onar itu. Bukankah yang bisa terjadi adalah bahwa di markas besar tersebut Anda bisa menemukan bukti-bukti campur tangan tentara yang bila ditemukan tidak akan menyenangkan pihak tentara?
Bila biang keladi pencetus gerakan 30 September benar-benar anggota PKI, sudah sepantasnya bila pelaku-pelakunya diadili secara terbuka di depan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa tentara menghilangkan nyawa Ketua PKI, DN Aidit, secara rahasia? (Baru berbulan-bulan kemudian pembunuhan itu Anda laporkan kepada Sukarno). Dan mengapa wakil ketua pertama dan kedua PKI, Njoto dan Lukman, juga dibunuh dengan cara yang sama?
Orang mengatakan bahwa Partai Nahdlatul Ulama beranggotakan 6.000.000 orang. Tetapi mengapa di lingkungan ini orang begitu takut terhadap PKI, yang hanya beranggotakan 3.000.000 orang. Terlalu banyak hal yang tetap tidak dapat dijelaskan. Komunisme, yang sangat Anda takuti itu, akan hilang dengan sendirinya, bila kemiskinan teratasi. Ideologi PKI di bawah pimpinan Aidit (Ketua Kongres Partai) didasarkan atas Pancasila (Sukarnoisme). PKI memegang peranan penting saat bangsa ini dilahirkan dan mereka memperjuangkan sosialisme Indonesia.
Nasution, Ketua MPR-Sementara, menuduh PKI melakukan aksi-aksi yang telah merugikan negara, terutama di bidang ekonomi. Penyebab utama inflasi saat ini adalah hutang kepada luar negeri sebesar 2,5 miliar dolar AS. Di antaranya adalah utang kepada Uni Sovyet untuk impor senjata seharga satu miliar dolar. Orang yang menandatangani kontrak-kontrak itu adalah Jenderal Nasution sendiri, yang untuk tujuan itu dua kali pergi ke Moskow. Dan sekarang dia mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab?
Bapak Soeharto, saya ingin melihat sejumlah fakta yang Anda sendiri laksanakan sebagai barang bukti untuk menuduh PKI. Mengapa Anda tidak membuka kembali penyelidikan tentang kejadian-kejadian pada 30 September 1965 dengan mengumpulkan fakta-fakta yang sebenarnya dan bukan kesaksian-kesaksian dan barang-barang bukti sepihak. Seluruh negeri mempunyai hak untuk mengetahui. Juga pemberitahuan mengenai pengalaman-pengalaman Anda sendiri.
Cerita yang beredar malah mengatakan bahwa PKI tidak bekerja sendiri, tetapi bahwa Sukarno sendiri telah dicurigai bersekongkol dengan Dewan Revolusioner. Ada pula dikatakan bahwa beberapa ribu anggota PKI menjelang gerakan 30 September mendapatkan pendidikan militer di suatu daerah sekitar Halim, di  mana Sukarno pada pagi insiden itu terjadi, diselamatkan. Orang hanya bisa bertanya-tanya, bagaimana mungkin ribuan orang mendapatkan latihan militer secara rahasia tanpa diketahui orang. Dan mengapa Sukarno mencari perlindungan di tempat yang akan melibatkan dirinya?
Berita-berita yang kami terima pada hari itu di Halim, bisa disimpulkan sebagai berikut, “Telah timbul konflik dalam tubuh tentara. Pribadi presiden tidak boleh dibahayakan oleh suatu kecelakaan mendadak”. Saya sendiri secara rahasia pergi ke Halim untuk berada di samping suamiku pada saat-saat keresahan dan ketakutan yang mencekam itu. Kami tidak menyadari bahwa Jenderal Yani telah dibunuh. Kami tidak yakin apakah Bapak termasuk kawan atau lawan kita. Tetapi saya masih tetap berpendapat bahwa bila Jenderal Yani tidak meninggal dalam insiden ini, keadaan di Indonesia akan lain sama sekali saat itu. Sukarno sangat mengkhawatirkan keberadaan Yani.

Bapak Soeharto, untuk pertanyaan yang berikut ini saya mohon perhatian khusus Anda. Keberadaan “Dewan Jenderal” yang Anda sangkal dengan sengit, diketahui Jenderal Yani (lepas dari fakta bahwa orang megatakan Dewan ini dibentuk oleh jenderal-jenderal yang terbunuh). Hanya dua minggu sebelum insiden ini presiden menanyakan padanya berita-berita yang lebih lanjut mengenai hal itu. Yani menjawab, “Biarkanlah saya bertanggung jawab mengenai bawahan saya. Janganlah Anda memikirkan hal ini lagi”.
Bagi saya belum dapat dipercaya bahwa Jenderal Yani pada hari naas itu terbunuh juga. Apabila Anda, yang mendapat tugas untuk menyelidiki gerakan 30 September, tidak mengadakan penyelidikan sepihak, maka Anda juga akan mengetahui bahwa sebenarnya Sukarno tidak terlibat perkara itu.
Bapak Soeharto, bolehkah saya mengajukan pertanyaan berikut: Jawaban apa yang akan Anda berikan kepada rakyat Indonesia yang menduga bahwa Anda sendiri yang melaksanakan rencana-rencana busuk “Dewan Jenderal” setelah melihat betapa lihainya Anda mengembalikan ketertiban dari suatu situasi yang amat membingungkan (segera setelah insiden itu terjadi). Kekacauan yang amat sempurna yang terjadi di Indonesia saat itu, dimanfaatkan oleh Angkatan Bersenjata yang berorientasi kanan, bersama para mahasiswa yang pada gilirannya juga didorong pemimpin-pemimpin Islam dan politisi beraliran kanan, untuk menindas PKI.
Untuk tujuan itu dibuat suatu skema yang jelas tentang pembunuhan dan pertumpahan darah. Mungkinkah wajah Angkatan Bersenjata yang berpaling ke Pentagon, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang jadi pusat militer dari persekongkolan militer di dunia. Bukankah mereka menginginkan agar di sudut (dunia) ini PKI ditumpas dan hubungan dengan Cina diputuskan?
Berulang kali Sukarno memperingatkan bahwa menuduh PKI bertentangan dengan kebenaran. Sukarno mengatakan, “Jangan meletakkan seluruh tanggung jawab itu pada PKI. Kebenarannya ada di tempat lain”. Saya akan selalu menghormati dan respek pada Sukarno, yang menjalani nasibnya. Yang menolak tunduk pada tekanan Angkatan Bersenjata, yang melakukan segala upaya untuk menyatakan PKI tidak layak hukum.
Dia tidak goyah dalam kepercayaan dan cita-citanya di bawah tekanan seberat apa pun. Bila saat itu ia menyerah dan mengadakan kompromi, maka posisi Sukarno saat ini akan lain sama sekali. Tetapi Sukarno melambangkan keadilan.
Menteri Luar Negeri Adam Malik, pada tahun 1966 memberikan pidato penjelasan yang amat bodoh pada para mahasiswa Indonesia di Tokyo. Dia menjelaskan bahwa Sukarno yang bertanggung jawab atas pembunuhan “massal” terhadap anggota-anggota “komunis”, yang menurutnya tidak akan terjadi bila saja Sukarno segera mengadili PKI. Kita hanya bisa bergidik bila membayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia, bila Sukarno juga muncul di depan umum untuk menghujat PKI. Itu akan berarti bahwa presiden melegalisasi pengejaran terhadap para komunis yang memang sudah dimulai dan akan berakibat pembantaian yang lebih hebat. Ungkapan Latin berbunyi “cui bono” (siapa yang beruntung!).
Dalam penyelidikan mencari fakta-fakta yang sebenarnya, yang penting tidak hanya apa yang sebenarnya teradi. Yang tidak kalah penting adalah mencari fakta, siapa yang paling beruntung dalam kejadian ini. Bukankah Amerika Serikat yang jelas memperoleh kemenangan dalam insiden 30 September ini? Jakarta yang sekarang dibanjiri oleh orang-orang Amerika yang akan ber-“investasi”. Sebetulnya hal itu tidak akan menyebabkan keberatan, bila ini berarti bahwa aktivitas ekonomi ini terutama akan mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama hidupnya Sukarno selalu menolak bila ada yang ingin membuat patung dirinya. Setelah 22 tahun memimpin revolusi Indonesia, dengan amat segan ia menyetujui untuk mempublikasikan otobiografinya. Tetapi, Anda, Bapak Soeharto, baru saja Anda memperoleh kekuasaan dan Anda telah mengeluarkan buku yang berjudul “The Smiling General”. Setelah itu telah terjadi rahasia umum bahwa Anda berkeinginan untuk mencetak potret Anda pada uang kertas, yang berhasil dicegah oleh para penasihat Anda.
Pada umumnya, di kedutaan-kedutaan di luar negeri dipasang potret-potret dari tokoh-tokoh sejarah negara yang bersangkutan. Sukarno adalah Bapak Indonesia. Tetapi mengapa di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri tidak ada sama sekali potret Sukarno sekecil apa pun? Anda, yang mengkritik diktator Sukarno, dengan khidmat berjanji untuk membimbing Indonesia ke arah demokrasi yang mewakili suara dan hati nurani rakyat.
Sementara itu Anda telah merenggut hak-hak yang lebih besar daripada Sukarno. Langkah pertama ke arah demokrasi, yakni pemilihan presiden, selalu ditunda-tunda. Anda malah mengizinkan diadakannya diskusi-diskusi menggelikan tentang apakah nama Sukarno layak ditulis di dalam buku-buku sejarah negara ini. Sementara Anda menjelaskan secara umum bahwa Anda melindungi Sukarno, Anda malah mengisolasinya dari dunia luar. Pengasingan yang tidak adil ini dengan dalih bahwa dia sedang sakit, jutru akan membuatnya sakit.
Bila ia membutuhkan perawatan medis, Anda malah menolak untuk memberikannya. Alat-alat medis yang tak dapat digunakan menghiasi kamar-kamarnya. Perawatan gigi yang dibutuhkannya, tidak diberikan. Orang telah menganjurkan agar tidak memberikan lagi suntikan-suntikan, karena tidak diketahui lagi, apakah ia menerima obat-obatan yang benar-benar dibutuhkannya. Saya hanya bisa berharap agar makanan yang disiapkan anak-anaknya, benar-benar sampai ke tangannya. 

Sukarno sekarang menjalani hidup yang amat sulit. Hak-hak manusia yang paling minim pun tidak  diberikan kepadanya. Satu-satunya saat ia bisa meninggalkan pengasingannya ialah untuk menghadiri upacara perkawinan anak-anaknya. Mobilnya kemudian dikawal oleh kendaraan panser dan siapa pun dicegah untuk mendekatinya. Ketika Sukarno pada upacara seperti itu, berdiri untuk mencium mempelai, yakni putrinya, dengan kasar ia ditarik kembali duduk di sofa oleh polisi militer yang mengawalnya, sementara matanya ditutup agar orang tidak bisa membuat foto.
Bila saya mengalami perlakuan seperti itu, saya sudah lama musnah. Tetapi justru, oleh karena Sukarno memiliki kekuatan rohani yang amat dalam dan kemauan yang amat kuat, siksaan semacam ini masih bisa ditanggulanginya. Saya hanya sangat khawatir: bila di depan umum saja ia telah diperlakukan seperti itu, bagaimana dia diperlakukan bila dia sendiri? Secara fisik ia bisa dihancurkan, tetapi mereka tidak akan bisa memusnahkan jiwanya. Dalam hal ini, ia tetap hidup.
Sukarno telah membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda selama 350 tahun. Dia adalah Bapak bangsa. Setelah menderita selama tiga belas tahun dalam tahanan dan penjara oleh orang Belanda, dia berhasil membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan setelah perang kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949. Tanpa pimpinan dan bimbingan Sukarno, pada saat ini Anda tidak akan berada pada posisi Anda sekarang.
Sukarno menciptakan Undang-undang Dasar yang demokratis dan mendirikan suatu lingua franka bagi Indonesia. Orang yang mengorbankan jiwa raganya untuk bangsanya, tidak layak diperlakukan seperti itu. Dia pantas dihormati sesuai dengan jasa-jasanya.
Sukarno tidak akan pernah mengizinkan dilakukan pengkhianatan, atau direncanakannya pembunuhan sesama saudara secara besar-besaran. Saya tidak bisa bungkam dan membisu, sementara suami saya menjadi pelampiasan kekerasan. Bagi saya nilai yang tertinggi adalah: kesucian.
Saya sangat yakin bahwa tindakan yang paling rendah yang dilakukan seseorang terhadap sesamanya adalah membiarkan korbannya itu mati tersiksa. Kami ingat kepada pepatah Jepang yang bunyinya, “Mencekik seseorang dengan kain sutera”. Dan, Anda, Tuan Soeharto membiarkan Sukarno disiksa secara rohani dan jasmani.
Tidak pernah saya memperdengarkan suara saya, baik langsung maupun tidak langsung, karena saya sadar betul betapa banyak dan beratnya problema yang harus Anda tangani. Tetapi sekarang saya berbicara secara umum dan terbuka, pertama-tama demi keselamatan jiwa Sukarno. Ketika Sukarno mengalih-tugaskan jabatannya dan mengangkat Anda sebagai penggantinya 7 Maret 1967, dia  melakukannya dengan tiga syarat. Salah satunya adalah agar Anda melindunginya dan keluarganya. Anda tidak menepati syarat itu dan mengingkari janji Anda.
Dalam suatu wawancara dengan pers Jepang mengenai korupsi di Indonesia, Anda antara lain mengatakan, “Mengenai pertanyaan tentang korupsi, orang mengatakan bahwa itu masih tetap terjadi. Tetapi itu adalah akibat dari sisa-sisa rezim Sukarno. Dan untuk sementara masih tetap akan berlangsung, karena hal itu sejak dulu sudah terjadi”.
Apabila kata-kata yang Anda ucapkan itu benar-benar datang dari lubuk hati Anda, maka itu merupakan suatu pembelaan. Hanya seorang pengecut dan seorang yang berjiwa rendah yang berlindung di belakang Sukarno saat menjelaskan korupsi yang terjadi sekarang. Ketika Anda melakukan itu, hilanglah sudah rasa hormat saya yang terakhir kepada Anda.
Selama ada manusia, wajar bahwa mereka yang menang otomatis berada di pihak yang benar dan mereka yang kalah bisa dituduh melakukan apa saja. Apabila Anda secara jujur benar-benar mau menyelidiki korupsi, sebagai warga negara Indonesia, saya bersedia dengan sungguh-sungguh untuk membantu Anda dalam tugas itu. Saya bersedia menghadiri pengadilan terbuka, apalagi saya bisa bertindak sebagai penuntut. Tetapi proses seperti ini harus disalurkan lewat undang-undang dan norma-norma yang berlaku dan tidak diatur secara tertutup dalam suasana ketakutan, kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Itu akan menjadi syarat mutlak bagiku.
Sukarno adalah pahhlawan Revolusi Indonesia. Tetapi menurut pendapatku yang sederhana, hal ini tidak perlu berarti bahwa orang ini juga akan menjadi pemimpin nasional yang baik dalam waktu damai. Saya kira, bila Sukarno melewatkan masa remaja dan masa mahasiswanya di luar negeri, dia pasti akan lebih berhasil mendapatkan perasaan dan kesadaran ekonomi dan menambahkannya pada kapasitas kepemimpinannya yang istimewa itu. Menurutku, rupanya suatu kesalahan bahwa dia menyuruh menasionalisasikan sarana produksi.
Tambahan pula, Sukarno tidak pernah merasakan mempunyai “rumah” dalam arti yang sebenarnya. Andaikata dia pernah mengalami kehidupan berkeluarga dalam arti moral dan etis yang sebenarnya, seperti yang lazimnya dianggap masyarakat, maka ia barangkali akan menjadi seorang presiden yang lebih baik dari sebuah negara yang dipimpin secara sosialis. Tetapi keadaanlah yang mengubahnya menjadi seorang figur kaisar. Dan dengan demikian dia akan menjadi korban dari kekuasaannya sendiri yang mahadahsyat itu.
Sukarno selalu saya kagumi dan hormati sebagai seorang tokoh yang besar, tetapi seperti juga Anda ketahui benar, Bapak Soeharto, saya tidak selalu setuju dengan pendapatnya. Misalnya saja pendapat saya bahwa Pancasila, ciptaan Sukarno (agama, kemanusiaan, demokrasi, nasionalisme dan keadilan sosial) adalah suatu bentuk idealisme murni. Walaupun idealism barangkali sangat diharapkan, namun belum tentu dapat dipraktekkan dalam abad ke-20 ini. Indonesia jelas belum matang untuk bentuk demokrasi Barat. Dengan alasan itulah Sukarno menganjurkan “demokrasi terpimpin”, terutama juga karena sebagian besar penduduk belum mencapai tingkat pendidikan dan tingkat sosial yang sama.
Dalam hal ini saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi di  pihak lain, Sukarno mengarahkan politiknya ke cita-cita yang lebih tinggi. Maka tak dapat dihindarkan bahwa dia kemudian mendapatkan kritik tajam, terutama mengenai pandangannya dalam memperbaiki nasib masyarakat secara keseluruhan. Sukarno seharusnya berpikir lebih realistis. Di dalam suatu kurun waktu, di mana dia bisa menjadi penguasa tunggal dia tentu bisa memaksa orang untuk menuruti cita-citanya. Tetapi sebagian besar rakyat lebih peduli untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari daripada mengikuti idealismenya. Orang harus akan kenikmatan-kenikmatan materialistis, dan orang makin tidak tertarik untuk mendengarkan pidato-pidato, yang tidak mengisi perut.

 Sukarno berpendapat bahwa dunia dikuasai oleh dua blok kekuasaan besar. Dia mencoba menghidupkan kekuatan ketiga yang akan memperbaiki keseimbangan. Di dalam pertikaian ini Indonesia mempengaruhi Dunia Ketiga: Asia, Afrika, Amerika Latin. Sementara itu permainan diplomatik ini berarti bahwa Indonesia lambat laun dikucilkan. Dan itu sama sekali tidak dimaksudkannya.
Dia berpendapat bahwa perdamaian dunia baru bisa dicapai bila kebebasan yang mutlak telah dicapai oleh tiap ras dan tiap bangsa. Tetapi keadaan terisolasi dari negara ini menyebabkannya mundur dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia dan misalnya ketidakhadiran kita di Olimpiade Tokyo. Indonesia meninggalkan PBB setelah terjadinya konflik mengenai pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Sukarno berpendapat bahwa PBB tidak bertindak adil terhadap tiap-tiap negara anggotanya. Karena Indonesia tidak akan pernah mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia tanpa tunduk terhadap syarat-syarat tertentu dan tekanan politik, Indonesia kehilangan perhatian terhadap pemberian bantuan.
Sebelum kegiatan Olimpiade di Tokyo saat berlangsungnya Asian Games di Jakarta, Indonesia dituduh dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik di bidang olahraga. Karenanya Indonesia tidak diperbolehkan mengikutinya. Terhadap perlakuan ini Sukarno menandaskan bahwa Olimpiade sendiri tidak luput dari pengaruh politik, karena buktinya negara-negara komunis tertentu tidak diizinkan mengikutinya.
Bapak Soeharto, bila Anda pada hari-hari itu sungguh-sungguh berpikir secara mendalam mengenai hari depan negara ini, Anda pasti mempunyai pendapat lain daripada cita-cita Sukarno, yang akhirnya sering mempunyai dampak seperti angin puyuh. Saya sendiri, setidaknya, menyaksikan dengan hati berdebar bagaimana diplomasi Indonesia makin mengarah ke kiri.
Tidak ada seorang pun yang sempurna. Tanpa kecuali Sukarno. Namun saya berpendapat bahwa Sukarno tidak pernah melakukan sesuatu untuk memperbaiki dirinya, tetapi selalu melakukan sesuatu dengan jujur dan keyakinan penuh untuk kepentingan cinta tunggalnya, yakni Indonesia. Selama hidupnya ia sedapat mungkin mencegah rekan-rekan senegaranya saling membunuh. Dibandingkan dengan Sukarno, Anda dan sejumlah rekan Anda memerintah negara dengan jalan membakar emosi dan pertumpahan darah. Anda dan antek-antek Anda yang seharusnya dituntut atas tuduhan membunuh orang-orang tak bersalah dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya atas nama perburuan PKI.
Siapa lagi yang masih percaya kepada Tuhan? Dalam hal ini Indonesia seharusnya tidak layak memiliki seorang presiden yang tangannya berlumuran darah.
Bapak Soeharto, Sukarno sungguh-sungguh mencintai negara dan rakyatnya. Termasuk pula mereka yang berniat untuk membunuhnya, bisa dia dekati dengan lembut bila mereka minta maaf. Dibandingkan dengan beliau, Anda menyimpan hati yang kejam di balik senyum Anda. Anda telah menyuruh membunuh ratusan ribu orang. Bolehkah saya bertanya sekali lagi, “Apakah Anda tidak mampu mempertahankan posisi dan kekuasaan Anda kecuali dengan kelicikan dan pertumpahan darah?”
Barangkali kesalahan Anda terbesar adalah tidak segera menuruh membunuh Sukarno tahun 1965 itu. Dengan mudah Anda bisa menuduh para komunis melakukan pembunuhan itu. Bila Anda mau, dengan cara itu Anda bisa mencegah dilakukannya pembunuhan massal pada rakyat. Dan sementara itu pula, Anda bisa mempertahankan kedamaian jiwa jutaan pengagum Sukarno. Para pengagum yang sekarang hanya bisa memandang tanpa daya nasib yang menimpa pemimpin mereka.
Selanjutnya akan sia-sia saja melampiaskan rasa rendah diri Anda terhadap Sukarno. Itu akan merupakan kematian yang lebih terhormat bagi Pemimpin Besar Revolusi, daripada seperti sekarang disiksa sampai dijemput maut. Merupakan aib nasional untuk Indonesia bahwa Sukarno tidak diperlakukan dengan lebih terhormat yang patut diterimanya setelah mengabdikan seluruh hidupnya bagi nusa dan bansanya.
Izinkan saya mengakhiri surat ini dengan menyatakan sekali lagi kesetiaan saya yang mendalam untuk Bapak kita. Hidup Bung Karno!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar