Minggu, 22 Desember 2013

Sukarno, Duta Besar AS, dan Majalah `Playboy`

Sukarno, Duta Besar AS, dan Majalah `Playboy`
Bung Karno (Istimewa)

Marshall Green menyerahkan surat kepercayaan sebagai Duta Besar Amerika Serikat kepada Presiden Sukarno, 26 Juli 1965, di Istana Merdeka, Jakarta. Hanya 5 hari sejak kedatangannya di Indonesia. Para duta besar lain harus menunggu beberapa minggu untuk tiba di momen tersebut.
Hubungan AS dan Indonesia buruk sejak akhir 1950-an. Pemicunya beberapa: konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, ancaman nasionalisasi perusahaan AS di Indonesia, serangan ke kantor perwakilan AS di Indonesia, juga dugaan keterlibatan AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Dalam suasana politik semacam itu, Green menyampaikan pidato. Datar dan normatif. Lalu, giliran Sukarno diberi kesempatan bicara.
Setelah memberikan jawaban atas surat kepercayaan itu, Sukarno menyerang kebijakan luar negeri AS. Green pun 'terbakar' tapi bisa menahan diri.
"Meski kebiasaan diplomatik akan membenarkan jika saya meninggalkan ruangan, saya tidak punya pilihan kecuali tetap di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata..." tulis Green dalam memoarnya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Dari Sukarno ke Soeharto: G30S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar.
Kemudian, Sukarno memperkenalkan Green kepada para pejabat Indonesia yang hadir. Salah satunya, Supeni, petinggi di Departemen Luar Negeri.
Green berkata ke Supeni, "Nyonya Supeni senang sekali saya berkenalan dengan Anda. Tahukah Anda, dengan kebaya hijau dan selendang keemasan, saya menjadi terpaku saat Presiden berpidato tadi. Saya tak menangkap semua kata-kata yang diucapkannya. Bisakah Anda menceritakan kepada saya apa yang diucapkannya?"


Sukarno bersama John F Kennedy di Amerika Serikat.

Suasana menjadi tegang. Semua menutup mulut. Tiba-tiba, Sukarno menepuk paha dan tawanya meledak. Suasana mencair. Hadirin lega.
Pada 31 Agustus 1965, Green mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Sukarno. Berdua saja. Percakapan berlangsung hangat kentai Sukarno tetap menunjukkan ketidaksenangannya kepada politik luar negeri AS. 10 hari sebelumnya, ribuan demonstran menyerbu dan menduduki Konsulat AS di Surabaya.
Sebelum berpisah, Sukarno berbisik. Ia minta dibawakan majalah Playboy dengan alasan menyukai ulasan tentang film dan teaternya. Selain foto-foto telanjang, majalah itu sejatinya memang sarat dengan esai berkualitas dan reportase keren.
Istri Green, yang sedang berada di Washington DC, mengirim majalah itu dalam kantung diplomatik.
Sebelum mengirim ke Sukarno. Green berpikir, "Segera saya sadar bahwa ini mungkin sebuah jebakan. Pasti Sukarno punya cara yang lebih mudah untuk mendapatkannya..."
Boleh jadi, dalam imajinasi Green, dalam sebuah pertemuan, Sukarno bakal berujar,"Jawablah Duta Besar Green, ya atau tidak. Benarkah Tuan telah mengirimi saya, Bung Karno yang murni dan polos, majalah-majalah Playboy yang kotor?"
Green tak pernah mengirim majalah tersebut ke Sukarno.


Marshall Green bersama Sukarno.

Pada 28 September 1965, Green bertemu lagi dengan Sukarno. Green tak sendiri, ia bersama Duta Besar Meksiko Albaran. Mereka bertemu dalam acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Universitas Indonesia.
Green yakin ia dijebak. Sukarno tahu dirinya sangat tak suka durian. Bau buah itu, kata Green, seperti keju busuk. Tapi, di hadapan ribuan orang, Sukarno mendesak Green untuk mencicipinya.
"...saya terpaksa menelan makanan yang menjijikkan itu demi kehormatan negara saya," tulis Green. Itulah pertemuan terakhirnya dengan Sukarno.
2 hari kemudian, peristiwa G30S meletus. Pada 30 September malam itu, Green menonton wayang di pinggiran Jakarta, atas undangan diplomat Selandia Baru. "Ketika saya pulang naik becak dini hari, jalan-jalan di ibukota terasa sunyi," katanya.
Keesokan harinya, pada pukul 08.00, baru Green tahu telah terjadi pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Di RRI, ia mendengar, Gerakan 30 September telah menyelamatkan Sukarno dari kudeta CIA yang melibatkan Dewan Jenderal.
Keterlibatan CIA hanya satu versi cerita dari G30S. Versi resmi menyatakan PKI adalah dalang semua kekacauan ini. Yang pasti, peristiwa itu merupakan prolog dari kejatuhan Sukarno.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar