Sabtu, 14 Desember 2013

Membendung Penetrasi Intel Barat

Kantor Pusat Badan Intelijen Keamanan Australia (APH.GOV.AU)
 Demi melindungi kepentingan nasionalnya, cara apa pun ditempuh oleh Badan Intelijen Keamanan Australia (ASIO). Selasa sore lalu, dua agen ASIO mengobrak-abrik kantor biro hukum tempat Bernard Collaery bekerja di Canberra, Australia. Sejumlah file kertas dan elektronik diambil paksa. Tidak cuma itu, seorang bekas intel ASIO yang menjadi whistle blower, menurut Collaery, kemungkinan besar juga telah diciduk dalam penggerebekan secara terpisah di ibu kota "negeri kanguru" itu. ASIO menabrak aturan hukum hanya untuk menghilangkan semua barang bukti yang bakal dibawa Collaery dalam sidang arbitrase di Den Haag, Belanda. 

Pertikaian antara Timor Leste dan Australia dipicu oleh penyadapan saat negosiasi yang membahas Perjanjian Pengaturan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) berlangsung tahun 2004 lalu. Perjanjian senilai US$ 40 milyar tersebut menyepakati pembagian 50:50 dari keuntungan eksplorasi minyak dan gas di kawasan Laut Timor. 

Awal tahun 2013, Pemerintah Timor Leste menuduh agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS) telah menyusup ke ruang perundingan dan kantor perdana menteri di Dili untuk menanam alat penyadapan. 

Collaery yang kini ada di Den Haag mengungkapkan dokumen yang diambil ASIO mencakup keterangan mengenai Australia yang memasang perangkat penyadap di dinding ruang Kabinet Pemerintah Timor Leste, sebelum negosiasi. Beruntung sekali, barang bukti yang diincar ASIO sudah ada bersamanya. ''Bukti itu ada di sini. Aku tidak bisa menilai apa yang pemerintah harapkan dari tindakan agresif itu,'' ujarnya. 

Sementara itu, pada Jumat pekan lalu presiden Dewan Menteri Timor Leste, Agio Pereira, yang juga menjadi penasihat Perdana Menteri Xanana Gusmao, mengatakan bahwa pihak Australia mengambil keuntungan dari penyadapan tersebut. 

''Tindakan itu bukan soal perkara tidak adil, namun hal itu menimbulkan kerugian besar bagi pihak lain. Dan sesuai dengan hukum internasional, Konvensi Wina dan hukum perjanjian, kita diharuskan bernegosiasi dengan niat baik,'' katanya seperti dikutip Australian ABC. 

Pereira, yang kecewa atas tindakan Australia itu, menegaskan bahwa Pemerintah Timor Leste akan serius membawa kasus tersebut ke panel arbitrase di Den Haag. ''Ini bukan soal uang, ini menyangkut kedaulatan, ini terkait dengan keyakinan, dan ini mengenai masa depan dari generasi muda. Ini sangat penting untuk Timor Leste,'' ia menandaskan. 

Agresivitas Australia merecoki Timor Leste, menurut bekas Atase Pertahanan (Athan) Kedubes Indonesia di Canberra tahun 1998-2001, Mayjend Purnawirawan Judimagio Jusuf, harus dibaca dalam konteks menjaga kepentingan nasionalnya, baik dari dalam maupun dari luar. 

''Dari kacamata saya, intelijen itu aksi akal-akalan. Kalau ketahuan, ya, bodoh. Semua negara pasti melakukan kegiatan intelijen. Yang bagus, ya, tidak ketahuan,'' kata alumnus Akabri tahun 1973 ini. 

Menantu mendiang Jenderal Achmad Yani dan anak Mayjend Achmad Jusuf itu mengatakan bahwa spionase dan intervensi Barat sudah muncul sejak Indonesia baru merdeka. Belanda yang berambisi menjajah lagi membuat permufakatan dengan Inggris dan mendompleng tentara sekutu (AFNEI).

Operasi intelijen agen-agen dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) juga dilakukan secara terbuka dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang ingin mendongkel Presiden Soekarno. 

Program Civic Mission dari CIA yang berlanjut pada Military Training Advisory Group (MILTAC) pada 1962, dan munculnya dokumen Gilchrist menjelang G-30-S/PKI, adalah secuil dari gempuran penetrasi kepentingan Barat. 

''Campur tangan intel-intel dinas rahasia asing juga tampak dalam sejumlah peristiwa politik, sengketa diplomatik dan konflik bersenjata dengan beberapa negeri jiran,'' Judimagio mengungkapkan. 

Gugurnya Komodor Yos Sudarso bersama tenggelamnya KRI Matjan Tutul karena operasi Trikora berhasil disadap radar dari Darwin dan dibocorkannya ke pihak Belanda, sehingga pesawat Neptune dengan leluasa melakukan pencegatan. 

Waktu itu, sikap Australia mendukung Papua di bawah Belanda. Cawe-cawe Australia dan CIA muncul lagi saat Indonesia masuk ke Timor Timor. Demikian pula saat Australia mengusulkan plebisit atau penentuan nasib sendiri warga Timor Timur pada 1999. 

Perubahan sikap politik luar negeri Australia, menurut Judimagio, semata karena didasarkan atas kepentingan nasionalnya serta siapa partai yang berkuasa. 


Di bawah traktat ANSUZ, sejak 1951 Australia menjadi sekutu resmi Amerika Serikat. Lalu Australia bersama Selandia Baru, Britania Raya, Malaysia, dan Singapura sepakat dalam Five Power Defence Arrangements. Untuk urusan militer, pertahanan dan aksi spionase sudah ada kesepakatan untuk saling membantu dan berbagi informasi. 

Namun, menurut Judimagio, kebijakan politik luar negeri sering bergeser ketika Partai Buruh berkuasa. Dukungan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945, misalnya, muncul dari Partai Buruh yang berkuasa. Demikian juga, penghapusan kebijakan Australia Putih tahun 1973 dan fokus pada penguatan hubungan dengan negara-negara lingkar Pasifik muncul saat pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh memimpin. 

Sikap Partai Buruh Australia yang ingin membina hubungan langgeng dengan Pemerintah Indonesia memang sudah menjadi pakem. Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI, Mayor Jenderal Purnawirawan Zacky Anwar Makarim, Perdana Menteri Gough Withlam pernah bertemu Pak Harto di Wonosobo, Jawa Tengah, pada September 1974 untuk urusan Timor Timur. 

Kudeta di Lisbon pada 1974 mengkhawatirkan Australia yang takut peristiwa itu merembet pada terjadinya perang sipil di Timor Timur. ''Withlam menawarkan diri sebagai penengah antara Portugal, Indonesia, dan kelompok-kelompok nasionalis di Timor Timur. Australia takut komunis berkuasa di Timor Timur dan mengganggu kestabilan kedua negara,'' ungkap Zacky. 

Dalam pertemuan itu. Withlam menawarkan konsep natural extention of the Republic of Indonesia. ''Intinya, Australia sangat setuju kalau Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia dengan cara elegan,'' ujar Zacky. 

Entah kenapa, tawaran itu tidak disambut dengan segera, terutama, oleh pihak-pihak yang bertikai. Pemerintahan Withlam berakhir pada 11 November 1977 dan digantikan Malcolm Fraser dari Partai Liberal. Sejak saat itu gaung tawaran Withlam pun menghilang. 

Penting dan tulusnya hubungan Australia-Indonesia, menurut Zacky, juga muncul saat Australia mendesak masalah Indonesia dibawa kepada Dewan Keamanan PBB pada 30 Juli 1947. Australia saat itu menyebut Belanda telah melakukan pelanggaran perdamaian. 

''Pemerintahan Partai Buruh di bawah Perdana Menteri J.B. Chifley mendesak Belanda mau berunding dan menyerahkan kedaulatan ke Indonesia. Melalui Konferensi Meja Bundar, barulah Belanda menyerahkan kedaultannya ke Indonesia,'' katanya. 

Rekam jejak perubahan sikap Australia terhadap Indonesia memang panas-dingin dan naik-turun. Pada 1995, hubungan Indonesia-Australia mencapai puncaknya dalam ikatan kerja sama yang didasarkan pada confidence building measures (CBM). 

''Saling percaya sampai muncul kerja sama Timor Gap,'' ungkap Judimagio. Namun, saat Australia menuduh TNI melakukan kekerasan di Timor Timur pada 1999, John Howard langsung me-review dan menunda kerja sama dengan TNI-AD. Sedangkan kerja sama Australia dengan TNI-AU dan TNI-AL dilanjutkan. 

Jenderal Wiranto menyikapinya dengan membekukan semua kerja sama antara TNI dan Australia. Toh, pada 2003, atase militer dari Kedubes Australia di Jakarta mencoba membuka kembali kerja sama itu. 

''Ketika saya menjadi Aspam KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, pihak Atase Militer Kedubes Australia datang ke saya dan meminta bantuan untuk mengembalikan kerja sama itu,'' ungkap Judimagio. 
[G.A. Guritno, Sandika Prihatnala, Asrori S. Karni dan Bernadetta Febriana]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 05 tahun ke 20, Beredar 5 Desember 2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar