Sabtu, 15 Agustus 2015

Tangis Saidi, Pahlawan Perakit Bom

Saat Ketua Sahabat Veteran Bogor, Amanati Prasodjo pertama kali bertemu dengan Said, kondisinya sangat memprihatinkan.

Said bin Isnan menghuni di pojok kontrakan seluas 3x6 meter. Sangat sempit untuk disebut rumah, yang dihuni lima orang.
Wajahnya sangat layu. Katup matanya sudah menempel dengan mata. Kulit tubuhnya juga sudah merekat dengan tulang. Tak punya daging. 

Said lebih banyak mengisi hari-harinya dengan tiduran. Sesekali duduk di matras kumal. Tangannya gemetar mendekap peci kuning kebanggannya.

Udara di Kota Bogor masih sejuk. Apalagi ini di bantaran kali. Suara air jadi mengiringi waktu, termasuk saat kemarau ini.

Sesekali laki-laki tua itu terbangun. Bicara sendiri tentang perjuangannya semasa muda. Melawan tentara Belanda yang ingin kembali merebut Indonesia. Tak ada yang mendengarkan.

Said bin Isnan
Said bin Isnan, veteran pembuat bom saat perang Bojong Kokosan.

Ya, kakek yang sudah 89 tahun ini dulunya seorang gagah pemberani. Tak takut mati.
Walau tubuh sudah lemah ditelan usia, ingatan Said masih tajam. Dia bangga menjadi pejuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat republik ini waktu itu masih sangat belia dan sangat rapuh direbut kembali oleh Belanda tak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Said berjuang dengan keahlian dan keberanian yang, bisa jadi, melebihi rekan-rekannya. Dia seorang pembuat bom bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Siliwangi.

 “Ayah saya seorang tentara Hindia Belanda,” katanya laki-laki kelahiran 1926 ini dengan semangat. Sesekali tersendak riak. Lalu mengusap mulut.

“Saya sudah tidak suka dengan sikap ayah saya. Makanya saya lari dari rumah.”

Sejak usia belasan, Said sudah meninggalkan orangtuanya yang kaya raya di Cibonong, Kabupaten Bogor.  Dia bekerja di satu bengkel mobil Ford di Batavia, dan akhirnya pada 1942 Jepang masuk dan dia ditawan, dijadikan juru masak. “Saya terpaksa pura-pura bersahabat dengan tentara Jepang,” katanya.

Kemampuan mesin dan kelistrikan yang dia punya, diasah. Selain jadi juru masak, dia mempelajari pembuatan bom. Keterampilannya pun bertambah: meramu bumbu dan merakit mesiu.

Hingga akhirnya pada 1945 Indonesia merdeka. Usianya baru 19 tahun. Said muda bergabung dengan TKR di bawah pimpinan Letnan Kolonel RH Eddie Soekardi, yang kelak dikenal sebagai pemimpin Perang Bojong Kokosan.

Pada suatu pagi di pada awal Desember 1945, terdengar Sekutu yang ditunggangi Belanda akan mengirim makanan dari Jakarta ke Bandung, lokasi pertahanan terakhir Sekutu. Tapi, Eddie yakin, ini tak cuma makanan. Ada amunisi.

Maka itu, pasukan disiapkan. Said dan kawan-kawan bertugas merakit bom dan memasang ranjau. Benar saja, tentara Sekutu yang membawa truk dan tank melewati wilayah tebing-tebing Bojongkokosan, Parungkuda, Sukabumi.  Perang pun meletus pada 9 Desember.

Dua jam perang tanpa henti. Amunisi habis. Tapi, pasukan TKR tertolong kabut dan hujan lebat. Peralatan canggih Sekutu pun tak bisa apa-apa.

Belakangan perang berlanjut hingga empat hari. Sekutu yang marah membombardir beberapa desa di Sukabumi. Baik Sekutu maupun TKR yang dibantu relawan Hizbullah babak belur. Banyak korban berjatuhan.

 “Kami pernah terdesak. Senjata satu-satunya tinggal bom. Tapi setelah dinyalakan bom tak meledak-meledak. Rupanya mesiunya tak bereaksi karena dibungkus bambu muda, bukan paralon. Kami pun lari terbirit-birit,” katanya, mengenang. “Kami hampir mati,” ujarnya, melanjutkan.

Perang Bojong Kokosan inilah yang kemudian meletupkan Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946.

Ironi Nasib
Perjuangan Said ada buktinya. Indonesia kini benar-benar merdeka secara fisik. Sayangnya, kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia tak bisa dirasakannya. Meski sudah merdeka 70 tahun, veteran ini tetap mengontrak. “Saya tak mampu beli rumah,” katanya, lirih.

Mencari rumah dia juga lumayan sulit. VIVA.co.id dibantu oleh Sahabat Veteran menelusuri gang kecil di pinggir kali di Kota Bogor, tepatnya di Kelurahan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. “Kami pernah ke sini akhir tahun lalu,” kata Amanati Prasodjo, Ketua Sababat Veteran Kota Bogor, Selasa 11 Agustus.

Jangan dibayangkan seperti gang kecil di Jakarta, gang di Bogor naik turun. Mirip menyusuri lembah dari atas bukit dengan undak-undakan semen berlumut. Sangat licin.

tangga menuju rumah said bin isnan
Tangga untuk menuju rumah veteran Said bin Isnan.

Di tangga curam ini, Said pernah jatuh, dua tahun lalu. Sejak jatuh itulah nasib mengubahnya. Kaki tak bisa digerakkan dan tubuh bagian bawah lemas. “Sepertinya, tulang ekornya patah,” kata Ati, panggilan adik kandung sosiolog kondang Imam B Prasodjo itu.

Sepekan dua pekan, dia hanya tinggal di tempat tidur. Tak bisa ke mana-mana. Malah, pandangannya mulai buram. Tak sampai sebulan, Said benar-benar buta. Jadi lengkap: buta dan lumpuh.

“Seperti kucing, kalau sakit tak diobati,” kata Ati. “Ini nasib para perebut kemerdekaan Indonesia.”

Sejak saat itu, seluruh kebutuhannya disiapkan istri. Tapi, jangan dikira istrinya sehat. Istrinya juga buta. Sesekali kalau butuh ke Kantor Pos untuk ambil uang pensiun diantarkan  anak angkatnya. Mereka tak punya anak kandung.

Ati mengatakan, saat pertama kali bertemu dengan Said pada akhir 2014, kondisinya sangat memprihatinkan. “Ibu Said sibuk cari minum, tapi nabrak-nabrak tembok.”

Sedangkan Said hanya bisa ngesot mendekati. Tak ada kursi roda di rumahnya. Jangankan kursi roda, buat buat makan saja sulit. Uang jasa veteran Rp1,2 juta hanya cukup untuk bayar kontrakan rumah dan, sebisa mungkin, membeli sedikit kebutuhan lain.

“Rumahnya jauh dari layak huni. Gelap. Lantai dan temboknya  sudah retak-retak,” ujar Ati.

Akhirnya, Sahabat Veteran yang berisi perkumpulan  pecinta veteran memberi donasi, membedah rumah Said. Sayang, saat malam menjelang renovasi,  istri Said meninggal. Serangan jantung.

Said merasa kehilangan. Teman hidup satu-satunya sudah tiada. Tinggal sebatang kara. “Rumah sudah bagus, tapi istri tidak ada. Pilih istri  atau rumah bagus ya…” kata Ati menirukan Said. Begitu, Said sering termenung di kontrakan yang sudah direnovasi itu.

Sayang, nasib mujur belum memihak Said. Baru beberapa bulan menempati rumah kontrakan baru itu,  dia terkena longsor. Rumah dan gerabahnya hancur.  Dia tambah miskin.

Entah di mana kesalahannya, Presiden Joko Widodo pernah mengkaim kesejahteraan veteran tak perlu dipersoalkan lagi. Sebab, segala aturan telah dibuat dan tinggal melaksanakan saja saja. "UU sudah ada. Keppresnya sudah ada, PP juga sudah ada," ujarnya.

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 2014. PP ini yang menjadi aturan pelaksana UU No. 15 Tahun 2012 tentang Veteran RI.

PP tersebut mengatur, setiap bulan negara memberikan dana kehormatan sebesar Rp1,4-1,6 juta kepada legiun veteran, sesuai dengan golongan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla saat perayaan Hari Veteran pada Selasa 11 Agustus juga mengatakan bahwa sudah sepantasnya generasi muda menghargai  para veteran. "Kalau dulu taruhannya jiwa raga, sekarang taruhannya cuma kerja keras," kata JK. Karenanya, pemuda harus meniru perjuangannya.

Terlepas dari aturan kesejahteraan veteran itu, hujan deras yang menyebabkan tebing longsor dan menimbun rumah sudah membuat trauma berat Said. Horor, tebing longsor, buta, dan lumpuh. Tak bisa lari. Tangis meledak, tapi pita suaranya sudah tak mendukung. Lirih.

“Lalu, malam itu juga saya ajak ke kontrakan saya,” kata Cucu Herawati, anak angkat Said. “Bapak digendong tentara.”

Sejak saat itu dia dipindah ke rumah kontrakan Cucu juga yang masih di Ciwaringin, 1 km dari kontrakan Said.


said bin isnan dan cucu herawati
Kini Said tinggal bersama anak angkatnya, Cucu Herawati.

Tapi, lagi-lagi kontrakan ini di pinggir kali, butuh jalan kaki beberapa ratus meter menyusuri gang dengan tangga curam. Dia tinggal berenam. Bersama Cucu, suami Cucu, dan dua anak Cucu di kontrakan mungil itu.

Gemuruh air Sungai Cibalok, yang bermuara di Ciliwung, masih setia menemani Said. Sesekali jadi penyegar di tengah perkampungan kumuh di Kota Hujan. (ren)

Viva. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar