Sabtu, 15 Agustus 2015

Elyas Pical, Legenda Tanpa Tanda Jasa

Pertengahan 1980an, publik Tanah Air begitu terhipnotis oleh Elly. Semua dilanda euforia dan demam Elly Pical.

Elly… Elly… Elly! Teriakan itu begitu membahana di pertengahan 1980an. Dari orang tua sampai anak-anak mengidolakan sosok Elyas ‘Elly’ Pical, juara dunia tinju pertama dari Bumi Pertiwi.

Ya, saat itu, publik Tanah Air begitu terhipnotis oleh Elly. Semua dilanda euforia dan demam Elly Pical. Bahkan, anak-anak banyak yang ingin menjadi petinju.

Tiap kali Elly manggung di ring, denyut nadi kehidupan di Tanah Air seolah berhenti. Pusat perhatian beralih ke layar kaca di rumah-rumah, dari tingkat RT sampai kelurahan. Meski kadang 'kotak ajaib' bernama tivi itu masih berlayar kaca hitam putih.

Itulah fenomena Elyas Pical, pahlawan tinju nasional yang masih terngiang sampai kini. Pesonanya masih hidup di relung sanubari pecinta olahraga tanah air.

Berbakat
Lahir di sebuah desa bernama Ullath, Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, 24 Maret 1960, bakat Elly sebenarnya sudah terendus sejak kecil. Ia sudah memulai aksinya di pentas tinju sejak usia 13 tahun.

Dengan kekuatan pukulan hook dan uppercut kiri, Elly berhasil mencengangkan dunia. Lewat dua senjata andalannya tersebut, Elly berhasil menjadi yang terbaik di dunia dalam perebutan juara IBF kelas bantam junior tahun 1985. Petinju tangguh Korea Selatan, Ju-do Chun, jadi korban keganasan Elly saat itu.

Padahal, Ju-do Chun saat itu datang dan sempat bilang, "Elly Pical adalah anak kecil buat saya." Tapi, ternyata justru sebaliknya, pukulan Elly membulan-bulani jagoan Negeri Ginseng ini. Ju-do Chun pun terkapar di ronde 8.

Sah lah sabuk juara dunia Kelas Bantam versi IBF melingkar di pinggang Elly. Pria 25 tahun itu juga mencatatkan tinta emas dan mencetak sejarah sebagai juara dunia tinju pertama dari Indonesia.

Elly kemudian berhasil mempertahankan gelarnya kala menundukkan petinju Australia, Wayne Mulholland di tahun yang sama. Sempat kalah dari petinju asal Republik Dominika, Cesar Polanco, Elly mampu membuktikan kapasitasnya sebagai petarung sejati.

Dalam pertemuan ulang di Jakarta pada 1986, Elly berhasil merobohkan Polanco dengan kemenangan KO.

Pada 1987, Elly kembali menelan kekalahan setelah dirobohkan petinju tangguh asal Thailand, Khaosai Galaxy, dalam pertarungan unifikasi. Jagoan Thailand itu adalah juara dunia Kelas Bantam WBA.

Padahal, sebelumnya ia mampu mempertahankan gelarnya kala mengalahkan petinju Korea Selatan lainnya, Dong-Chun Lee.
Sempat mengalami depresi akibat kekalahannya dari Galaxy, Elly tak menyerah. Ia kembali merebut gelar yang pernah terikat di pinggangnya, kala mengalahkan kembali petinju Korea Selatan, yang juga berstatus juara bertahan, Tae-Ill Chang.

Kemunduran kariernya dimulai usai ia kalah dari petinju Kolombia, Juan Polo Perez, pada 1989. Dalam pertarungan yang digelar di Virginia, Amerika Serikat, itu, Elly harus rela menyerahkan gelarnya kepada petinju Kolombia tersebut.

 Babak Suram Kehidupan
Usai kekalahan dari Juan Polo, kehidupan suram legenda tinju Indonesia itu dimulai. Tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi, membuat Elly kesulitan mencari pekerjaan layak. Berbagai profesi pernah ia jalani demi menyambung hidup, salah satunya menjadi tenaga keamanan di salah satu diskotek di Jakarta kala itu.

Namanya semakin tenggelam dan jadi cibiran, kala ia divonis 7 bulan penjara akibat tersandung kasus transaksi narkoba pada 2005. Beruntung baginya, Agum Gumelar yang kala itu menjabat Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), menjadi 'penyelamat' dengan menerima Elly bekerja sebagai stafnya.

Hingga saat ini, Elly masih menekuni profesi sebagai staf di KONI. Tiap hari, ia datang ke kantor di kawasan elite itu hanya dengan naik bus.

Di usia yang sudah tak muda lagi, legenda tinju Indonesia ini hanya mampu hidup pas-pasan. Namanya seakan tenggelam ditelan zaman. Ia pun bahkan sudah sulit untuk mengingat apa yang sudah pernah diraih, saat masih berada di masa emasnya.

"Saya ingat sedikit, tapi tahunnya saya tidak ingat. Saya ingat saya pernah ke Amerika (Serikat). Ya, saya pernah jadi petinju," katanya saat ditemui VIVA.co.id.

Tanpa Penghargaan
Melihat sosoknya sebagai juara dunia tinju yang dimiliki Indonesia pertama kali, pengamat tinju Indonesia, Mahfudin Nigara, berkomentar tentang sosok seorang Elyas Pical. Nigara memandang sosok seorang Elly sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Bahkan, menurutnya, andai Elly lahir dan besar di era sekarang, mungkin kualitasnya jauh di atas Chris John. "Dia itu punya masalah dengan pendengaran. Karena dulunya ia seorang penyelam mutiara. Tapi, dia punya potensi sangat besar, bahkan melebihi Chris John sekarang. Dia punya killing punch, dan itu tak semua petinju punya,” kata Nigara saat dihubungi VIVA.co.id.

Nigara juga merasa prihatin melihat kehidupan Elly saat ini. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa menjadikannya sebagai ikon tinju Indonesia dan bisa lebih menghargai apa yang pernah dicapainya di masa lalu.

“Kala itu, jika ada atlet profesional bertanding, pemerintah pasti ikut membantu. Karena, nama Indonesia dan bendera merah putih harus menyertai sang atlet ketika bertanding. Ini seharusnya yang sekarang diberikan oleh pemerintah kepadanya. Harusnya ia dijadikan ikon tinju Indonesia, karena dia adalah juara dunia pertama yang dimiliki oleh Indonesia,” Nigara melanjutkan.

“Ya, seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenpora bisa memperjuangkan kesejahteraannya. Karena soal itu tadi, dia itu pernah membawa nama Indonesia berjaya di dunia. Jadi  dia layak untuk disebut pahlawan,” imbuhnya.

Ellyas Pical adalah salah satu mantan atlet yang pernah membawa harum nama Indonesia di kancah internasional, tapi tersingkirkan di masa tuanya. Nama mantan atlet lainnya masih banyak yang punya nasib memprihatinkan seperti Elly.



Viva.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar