Rabu, 14 Mei 2014

MENGENAL PESAWAT CUKIU PADA MASA KEJAYAANNYA



Pesawat Cukiu termasuk pesawat berukuran kecil  bersayap satu, bermesin tunggal dibuat oleh Pabrik Tachikawa, Jepang tahun 1938.  Bermotor radial dingin angin “Hitachi”  mempunyai kekuatan  450 dayakuda.   Kecepatan jelajah  210 km/h, Kecepatan mendarat 95 km/h, Jarak Tempuh Terbang 950 km, batas ketinggian 5000 m. 
Pesawat Cukiu buatan Jepang itu tergolong dalam jenis pesawat latih lanjut walaupun awalnya dimaksudkan  sebagai pesawat  pengintai darat yang dilengkapi dengan satu senjata kaliber 7,7 mm. Pesawat tersebut pernah menjadi kekuatan udara Jepang ketika mengalahkan Belanda dan menduduki Indonesia sejak tahun 1942.
Pesawat tersebut di­kenal dengan memiliki tiga nama yaitu Ki-55, Cukiu dan Ida.  Ki-55 adalah nama yang populer di lingkungan militer Jepang. Sedang­kan Cukiu nama yang popular di Indonesia, sementara itu Ida adalah nama yang diberikan oleh tentara sekutu pada masa Perang Pasifik.
Oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)  Cukiu dioperasikan dari tahun 1946 sampai dengan 1948 diperuntukkan sebagai pesawat latih lanjut, pengintai dan pengangkut.   Sebagai identitas pesawat ini,  pada body bagian belakang terdapat tanda lingkaran berwarna Merah Putih yang melambangkan bendera Indonesia sekaligus mengandung arti bahwa pesawat tersebut adalah pesawat milik Indonesia.   Pada awal mulanya sebelum lingkaran tersebut, hanya berwarna putih ditengahnya ada lingkaran berwarna merah yang melambangkan bendera Negara Jepang.
      Pada bagian “vertical elevator”  tertulis huruf TK yang merupakan singkatan kata Tjukiu.
Ketika terjadi pengambilalihan beberapa pangkalan udara dari tangan Jepang, beberapa pesawat Cukiu berhasil disita dan dikuasai  di Pangkalan Udara Bugis Malang dan Pangkalan Udara Cibeureum Tasikmalaya.   Di Pangkalan Udara Bugis Malang  tercatat 25 pesawat cukiu,  namun tidak diketahui jumlah pasti di Pangkalan Udara Cibeureum.           Dari beberapa pesawat yang berhasil di kuasai,  tetapi tidak semua pesawat dapat digunakan, karena kondisi yang ada tidak terpelihara dan dalam keadaran rusak,  mengingat untuk menghidupkan kembali membutuhkan suku cadang yang diperlukan namun tidak ada dan bahkan untuk mencarinya harus kemana, karena negara masih dalam kodisi Negara serba darurat.

Pesawat Cukiu kode TK dan nomor seri 105
Pada waktu itu bulan September 1945, pesawat-pesawat Cukiu yang ada di Lanud Bugis Malang mulai diperbaiki.   Tahap awal para teknisi-teknisi Bangsa Indonesia berhasil memperbaiki empat pesawat, setelah dinyatakan bisa hidup kemudian pesawat-pesawat itu diberi nomor registrasi Cukiu  001, Cukiu 002, Cukiu 003 dan Cukiu 004.
Setelah pesawat-pesawat itu selesai diperbaiki oleh para teknisi bangsa Indonesia muncul masalah baru, masalah tersebut karena saat itu di Pangkalan Udara Bugis tidak ada pilot yang bisa menerbangkan pesawat tersebut untuk melaksanakan uji terbang (test flight).
Untuk keperluan test flight tersebut didatangkanlah Dr. Soegiri  bersama dua orang pilot dan seorang montir warga negara Jepang dari Surabaya.   Ketiga orang Jepang tersebut sudah memakai nama Indonesia  yaitu Ali dan Atmo adalah pilot serta Amat seorang montir.   Awalnya dua orang pilot tersebut menolak untuk melakukan test flight karena sesuai dengan perjanjian  yang diadakan dengan Sekutu orang Jepang tidak diperbolehkan terbang di Indonesia.   Namun setelah didesak dan diyakinkan bahwa mereka adalah penerbang Indonesia, akhirnya mereka dengan senang hati mau menerimanya.

Pesawat Cukiu T-108 berdampingan dengan Pesawat Angkut C-47 Dakota. Pada bodi bagian belakang Cukiu terlihat bulatan berwarna merah putih. Begitu juga pada vertikal elevator terlihat persegi merah putih sebagai lambang bendera RI

Dari hasil pengecekan  yang dilaksana­kan oleh para penerbang dan teknisi pada pemerintahan Jepang, ternyata hanya dua Pesawat Cukiu yang benar-benar  siap untuk dilaksanakan test flight yaitu Cukiu 003 dan Cukiu 004. Akhirnya kedua pesawat tersebut pada tanggal 17 Oktober 1945 diterbangkan, yang pertama take off adalah Pesawat Cukiu 003 dengan penerbang Atmo didampingi seorang montir bernama Amat.   Setelah 15 menit di udara kemudian pesawat mendarat dalam keadaan selamat namun mesin masih dirasa belum sempurna.   Setelah penerbangan pertama berhasil mendarat dengan baik, kemudian menyusul test flight kedua pesawat Cukiu 004 dengan penerbang Ali didampingi montir AS Hananjudin.   Selama limabelas menit pesawat mengudara di atas kota Malang kemudian  mendarat kembali dengan selamat.
Dalam test flight tersebut AS Hanandjudin diberi pelajaran cara-cara mengemudikan pesawat  udara dan tentu saja hal tersebut tidak disia-siakannya.   Kemudian penerbang Jepang tersebut juga sempat mencoba keberanian  bangsa Indonesia  yang sedang bersamanya, dengan mengadakan terbang akrobatik dan seakan-akan menyambar-nyambar di sekitar kota Malang.   Penerbangan yang cukup lama itu tentu saja menarik perhatian beribu-ribu rakyat dan sambil bersorak-sorak kegirangan mereka melambaikan tangan.  Cukiu 003 juga sempat diterbangkan oleh seorang teknisi yang bernama Sukarman setelah mendapat pelajaran singkat dari Atmo.  Sukarman sempat menerbangkan Cukiu 003 selama 2 jam mengitari kota Malang.
Pada awal tahun 1946 satu pesawat Cukiu yang berada di Malang, diserahkan ke Sekolah Penerbang Yogyakarta.   Pesawat Cukiu tersebut diterbangkan sendiri oleh Agustinus Adisutjipto.  Penyerahan pesawat Cukiu tersebut merupakan realisasi dari permintaan Agustinus Adisutjipto untuk para kadet Sekolah Penerbang Yogyakarta.  Permintaan pesawat tersebut berawal dari kunjungan Agustinus Adisutjipto pada bulan Desember 1945  ke Pangkalan Udara Bugis Malang dan melihat banyaknya pesawat-pesawat peninggalan Jepang.
Karena wilayah Malang, dibawah kendali Divisi VIII maka Agustinus  Adisutjipto menghubungi pihak Divisi VIII, hanya hasilnya tidak menggembirakan dan keberatan mengijinkan pesawat-pesawat terbang dari Bugis dibawa ke Yogyakarta.  Karena tidak puas atas jawaban dari Divisi III serta keinginannya untuk memiliki pesawat tersebut, kemudian Agustinus Adisutjipto pergi ke Pangkalan Udara Bugis dan menemui pimpinannya.
Akhirnya usahanya menampakkan hasil dan tidak sia-sia, bahkan hal ini mendapat tanggapan yang baik dari pimpinan Pangkalan Udara Bugis.   Kemudian Tanggal 17 Februari 1946 merupakan hari yang berarti buat Agustinus  Adisutjipto, karena telah berhasil menerbangkan sebuah pesawat Cukiu dari Pangkalan Udara Bugis menuju Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebagai sumbangan pesawat udara pertama dari TKR Udara Malang kepada Sekolah Penerbang Yogyakarta.
Pada tanggal 5 Maret 1946, satu lagi pesawat Cukiu yang ada di Bugis Malang dibawa ke Pangkalan Udara Solo.   Perpindahan satu pesawat Cukiu tersebut atas permintaan Opsir Udara II Soejono (Komandan BKR Udara Solo).   Adapun pesawat yang diberikan ke Solo tersebut sudah diberi nomor registrasi yaitu Cukiu 007 dalam keadaan flegklaar (siap terbang).

Pesawat Cukiu di Lanud Bugis pada awal Perang Kemerdekaan
Satu Pesawat Cukiu yang berada di Pangkalan Udara Cibeureum juga berhasil diperbaiki oleh 18 orang teknisi pesawat dari Bandung.   Kedelapan belas teknisi yang dikoordnir oleh Toeloes Martoadmodjo adalah M Jacoeb, Agoes Rasidi, Abdoel Gaffur, Karmoes S., Tatang Endi, Hasan, Asep Rosadi, Wirajat, Machmoed, Abdoel Tocman, Endang Adjesan, Sanoesi, Samsoe, Didi Samsoedin, Soedarso, Maskanan, dan Soedarman.   Perbaikan pesawat Cukiu di Lanud Tasik ini atas permintaan ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Tasikmalaya.  Pesawat ini kemudian diberi identitas merah putih untuk menunjukkan bahwa pesawat-pesawat tersebut sudah menjadi milik Indonesia.  Walaupun Pesawat Cukiu berhasil diperbaiki tetapi tidak dilakukan uji atau percobaan terbang.
Salah satu pesawat cukiu mengalami kecelakaan pada saat penerbangan dari Yogyakarta menuju Malang pada saat melakukan pendaratan darurat di Sundeng Pacitan.  Waktu itu pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Soejono dengan seorang teknisi Oemar Slamet.   Ketika pendaratan darurat, masyarakat setempat mengepung pesawat tersebut dan hampir terjadi salah pengertian sehingga penerbangnya hampir terbunuh, karena belum tahu kalau pesawat tersebut adalah milik bangsa Indonesia dan mereka memperkirakan pesawat tersebut pesawat musuh.
Pada tanggal 14 September 1945, pesawat Cukiu mendarat di Kediri (Nirbojo) yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Patah.  Pada tanggal 1 April 1946, dilaksanakan penerbangan solo oleh Abd. Saleh, Mantiri, Soenarjo.  Penerbangan itu merupakan permulaan latihan dengan pesawat Tjukiu.
Disamping latihan terbang hal itu sekaligus mengemban tugas negara, pada tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Cukiu yaitu TK-04, TK-05 dan TK-06 tinggal landas dari Maguwo menuju Lapangan Udara Kemayoran Jakarta.  Penerbangan tiga cukiu tersebut dalam rangka  membawa rombongan Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Mayor Jenderal Sudibyo untuk melaksanakan perundingn dengan Sekutu tentang pemulangan RAPWI (Repatriation Allied Prisoners of War and Internees).  Jarak dari Maguwo ke Kemayoran ditempuh dalam waktu kurang dari 105 menit.

Tiga buah pesawat Cukiu  di Lapangan Udara Kemayoran tanggal 23 April 1946  membawa pimpinan TRI ke perundingan APWI
Sehari kemudian (24 April 1946) setelah perunding­an selesai dua pesawat Cukiu berhasil mengudara dengan tujuan yang berbeda. Cukiu dengan registrasi TK 06  diterbangkan oleh Opsir Udara II Iswahjudi dan Opsir Udara II A. Rasjid bertolak dari  Pangkalan Udara Kemayoran menuju Gorda Banten mengantarkan Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Udara Surjadi Suryadarma.   Penerbangan itu ditempuh dalam waktu 20 menit.  Setelah menginap semalam, esok harinya pesawat cukiu kembali mengudara meninggalkan Gorda menuju ke  Selat Sunda melintas ke Teluk Betung selanjutnya ke Branti (Sumsel).  Karena keadaan yang tidak mengijinkan  mereka tidak dapat mendarat di lapangan terbang Branti dan harus kembali ke Banten.  Mereka terbang 2 jam 15 menit terus menerus.
Cukiu TK-05 mengudara  menuju Kalijati terus ke Yogyakarta dengan  Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto sebagai penerbangnya.  Misi mengantarkan Mayjen Sudibyo.  Sedangkan Cukiu TK 04 rusak tinggal di Kemayoran. Crew Opsir Udara II Imam Suwongso dan  Opsir Muda Udara II Kaswan Sumohardjono ditangkap Belanda  di Jatinegara.
Pada tanggal 21-26 Mei 1946, dilakukan penerbangan formasi yang terdiri atas 4 pesawat ke Jawa Barat, Sumatera dan Madura.  Dua pesawat ke Serang dengan penerbang Husein Sastranegara dan Santoso.   Satu pesawat terbang melalui Malang dengan Opsir Udara Sunarjo dan Soeparman.  Pesawat keempat dengan penerbang Opsir Udara Soejono beserta Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.
Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama tanggal 17 Agustus 1946, para anggota teknik udara Pangkalan Udara Bugis bermaksud membuat suatu acara, yaitu menerbangkan “Pesawat Merah Putih” di atas Kota Malang. Tetapi muncul permasalahan, “Siapa yang akan menerbangkannya”, sedangkan penerbang-penerbang Jepang telah kembali ke negerinya dan anggota teknik yang pernah mendapat kesempatan  belajar terbang dari Jepang, belum berani menerbangkannya yaitu Soekarman, Moedjiman, Idung Soekotjo, Djauhari dan AS Hanandjudin.   Tetapi mereka telah bertekad pada hari itu pesawat Merah Putih harus berada di Angkasa Indonesia.  Kalau Sulistijo adalah seorang penerbang, tidak demikian halnya dengan Soekarman.  Soekarman adalah seorang teknisi pesawat.   Penunjukan Soekarman sebagai salah satu penerbang pesawat Cukiu berbendera merah putih pertama tersebut cukup menggelikan.
Setelah mereka berunding, ternyata Soekarnan dan Sutarmadji bersedia untuk menjadi sukarelawan (bisa disamakan dengan bunuh diri) untuk menerbangkan pesawat yang sama sekali belum mereka kuasai.    Alasan lain dia mempunyai kelainan di mata serta belum mempunyai keluarga, sehingga tidak akan merepotkan teman-teman jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.  Waktu itu teman-temannya pun telah bersedia untuk menyiapkan semacam dana “pensiun” yang diambilkan dari gaji masing-masing dengan cara di potong sebesar Rp 2,5,- setiap bulan selama masih berdinas di penerbangan.
Pada waktu itu tanggal 17 Agustus 1946 dipagi hari seluruh anggota Pangkalan Udara Bugis telah siap di tempat yang telah di tentukan.   Kemudian waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB menderulah dua pesawat Cukiu dengan nomor registrasi 001 dan 003 yang diawaki Penerbang Sulistijo dengan juru teknik Supardi dan  Sukarnan dengan saudaranya (Sudarmadji)  yang hendak melakukan demonstrasi terbang.   Tak lama kemudian  pesawat take off meninggalkan pangkalan Udara Bugis  tanpa mengalami kesulitan, selanjutnya melakukan “mission” untuk mengobarkan semangat rakyat Jawa Timur umumnya dan Malang khususnya serta menanamkan rasa cinta dirgantara.
Apa yang telah dilakukan oleh pesawat-pesawat Cukiu ini sangat mendebarkan hati yang melihatnya, karena mereka melakukan demonstrasi terbang rendah di atas alun-alun dan pasar Malang, bahkan karena begitu rendahnya  seakan-akan hampir saja menyambar terutama pucuk atap gereja yang tergolong gedungnya tinggi.   Setelah pesawat kembali ke Lapangan Udara Bugis dan waktu akan mendarat tampaknya penerbang mengalami kendala di pesawat, hal itu terbukti bahwa pesawat lama berputar-putar saja di atas serta belum ada tanda-tanda akan mendarat.   Hal ini menimbulkan kekhawatiran anggota yang berada di bawah, barangkali dikarenakan kehabisan bahan bakar pesawat akhirnya terpaksa mendarat.   Pendaratan salah satu dari dua pesawat tersebut tidak berjalan mulus, pesawat terjungkir di landasan sehingga pesawat terpotong jadi tiga bagian dan motornya terlepas.   Sementara penerbang dalam keadaan selamat namun sedikit mengalami luka-luka ringan.
Hal ini sangat menggembirakan dan mengharukan teman-temannya setelah mendarat dan penerbang terlihat aman dan selamat, kemudian segera secara bersama-sama teman-teman yang berada di bawah segera mengeluarkan kedua pilot dari dalam pesawat, dan mereka berdua dianggap sebagai “Pahlawan Teknik Udara Malang”.
Salah satu pesawat Cukiu bersama pesawat  Cureng  dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Udara Bugis Malang di kirim ke Pangkalan Udara Panasan Solo.  Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Soejono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik.    Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta api.  Sesampai di Solo ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946.   Setelah berhasil diperbaiki, dilakukan test flight yang dilakukan oleh seorang penerbang RAF (Tan Gie Gan) yang kebetulan ada di sana. Test flight dilakukan dua kali.  Test flight pertama di atas kota Solo tidak berjalan dengan baik, tetapi setelah diadakan perbaikan test flight kedua berhasil dengan baik.
Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng, Cukiu dan Cureng menuju pangkalan  Udara Cibeureum Tasikmalaya.   Kemudian melanjutkan  penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten, setelah mendarat di Gorda Pesawat Cureng ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin.   Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung.  Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda.  Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin.   Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
Pada tanggal 26 September 1946, sebuah pesawat Cukiu jatuh di Gowongan Utara (Yogyakarta) yang mengakhibatkan meninggalnya Penerbang Opsir Udara Husein Sastranegara beserta Juru Teknik Rukidi.   Pada saat itu, Pesawat Cukiu yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara mengemban misi test flight di kota Yogyakarta.   Rencana awal bahwa Pesawat tersebut akan digunakan untuk  mengangkut Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Syahrir menuju Malang.   Namun beberapa saat setelah take off dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, pesawat  mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Utara Yogyakarta. 
Pada tanggal 3 Oktober 1946 peristiwa tidak terelakkan kembali, terjadi sebuah Pesawat Cukiu jatuh di Ambarawa yang menyebabkan meninggalnya Kadet Udara I Wim Prajitno dan Kadet Udara I Soeharto.
Pada tanggal 5 oktober 1946, pada hari Angkatan Perang tiga buah pesawat Cukiu mengudara untuk menyebarkan pamflet dan mengadakan pemoteran udara.  Adapun awak pesawat yang menerbangkan pesawat tersebut adalah Dr. Abdulrachman Saleh dengan  seorang anggota pemotret, Soejono dan Arjono, Iswahjudi.   Pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Soejono jatuh di Sagau, akan tetapi dengan peristiwa itu tidak memakan korban karena penerbang dan pemotret keduanya selamat.
Salah satu pesawat cukiu yang sudah menjadi milik RI yang berlambangkan merah putih, pernah berubah identitas seperti bendera Jerman. Waktu itu sekitar  tahun 1946/1947 sebuah pesawat cukiu terbang ke Sumatera dan mendarat disebuah lapangan terbang Sungai Buah dekat Palembang.  Pesawat itu diterbangkan oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma. Karena bahan bakarnya habis dan persediaan bensin udara tidak ada, terpaksa nongkrong untuk beberapa waktu di Palembang.  Kesempatan itu oleh Yacoeb dipergunakan untuk overhaul  terhadap pesawat yang kehabisan bahan bakar  tersebut. Setelah itu M. Jacoeb mendapat ilham untuk merubah tanda pengenal  merah putih bulat menjadi gambar garuda hitam, mirip dengan symbol Negara Jerman.  Tujuannya adalah untuk mengelabui lawan agar dapat menembus blokade udara pihak Belanda yang sangat ketat.  Kita mengelabui Belanda dengan membuat identitas gambar mirip dengan negara lain di Eropa, yaitu Jerman.   Kalau melihat pesawat terbang Jerman,  Belanda diperkirakan tidak akan menyerang.  Kemudian setelah ada bahan bakar, pesawat tersebut diterbangkan kembali oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma untuk kembali ke Yogyakarta.

TNI-AU. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar